Pekerja mengumpulkan rajungan hasil tangkapan nelayan di Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. | ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/rwa.

Ekonomi

Tiga Aturan Penangkapan Terukur Dinilai Sulitkan Nelayan

Asosiasi nelayan mengeluhkan aturan penggunaan ABK hingga terbatasnya area penangkapan.

INDRAMAYU – Kalangan nelayan mengeluhkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dua pekan lalu. Setidaknya, ada tiga poin dalam peraturan itu yang dinilai memberatkan para nelayan.

Sekretaris Front Nelayan Bersatu (FNB) Robani Hendra Permana menyebutkan, ketiga poin yang dinilai memberatkan nelayan adalah terkait penggunaan anak buah kapal (ABK) dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) setempat, terbatasnya area WPP, dan aturan bongkar ikan di WPP setempat.

Robani memerinci, terkait ABK, dalam PP Nomor 11/2023 Pasal 21 ayat (4) disebutkan bahwa anak buah kapal diutamakan yang berdomisili di wilayah administratif, sesuai dengan zona penangkapan ikan terukur berdasarkan kartu tanda penduduk.

Robani mencontohkan, sejumlah kapal dari Karangsong, Kabupaten Indramayu, selama ini mencari ikan di perairan Papua (WPP 718). Jika ketentuan mengenai ABK itu diterapkan, nakhoda kapal dari Karangsong akan kesulitan mencari ABK dari Papua.

"Meski memang kalimatnya ‘diutamakan’ dan berarti bisa jadi tidak wajib, akan sulit bagi nakhoda jika mempekerjakan ABK yang tidak dikenalnya dengan baik. Bekerja di atas kapal itu harus kompak. Kalau tidak saling kenal, ya, akan susah,’’ kata Robani kepada Republika, Selasa (21/3).

photo
Nelayan memindahkan hasil tangkapannya dari perahu ke dermaga di Pelabuhan Donggala, Donggala, Sulawesi Tengah, Ahad (16/10/2022). - ( ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

Mengenai terbatasnya area WPP, Robani mengatakan, kapal dari Karangsong yang WPP-nya di Laut Jawa selama ini sering kali terkendala cuaca buruk dan gelombang tinggi. Karena itu, mereka harus "menyeberang" ke WPP lain, seperti misalnya perairan Natuna, untuk bisa memperoleh ikan.

Bekerja di atas kapal itu harus kompak. Kalau tidak saling kenal akan susah.

ROBANI HENDRA PERMANA, Sekretaris Front Nelayan Bersatu. 
   

 

Namun, upaya nelayan untuk mendapatkan ikan dengan menyeberang ke WPP lain itu tak bisa dilakukan karena adanya PP Nomor 11/2023. Pasal 15 ayat (1) a aturan itu menyebutkan, kapal penangkap ikan diberikan daerah penangkapan ikan pada satu zona penangkapan ikan terukur di atas 12 mil laut bagi kapal penangkap ikan yang perizinan berusahanya diterbitkan oleh menteri.

"Jadi, satu kapal yang izinnya diterbitkan oleh menteri hanya boleh bekerja di satu WPP. Makanya kita minta pemerintah tidak hanya memberikan satu WPP untuk yang di Jawa, melainkan dua WPP," ujar Robani.

Jika tidak, kapal nelayan yang terkendala cuaca buruk tidak bisa memperoleh hasil tangkapan. Pemilik maupun nelayan yang menjadi awak kapal pun akan mengalami kerugian.

Sedangkan, mengenai aturan bongkar ikan di WPP setempat, hal itu tertuang dalam pasal 18 ayat (1) yang menyatakan bahwa kapal penangkap ikan yang melakukan penangkapan ikan pada zona penangkapan ikan terukur wajib mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang ditentukan dalam zona penangkapan ikan terukur.

Robani mengakui, isi dari pasal 18 ayat 1 itu masih multitafsir karena tertulis "pelabuhan pangkalan yang ditentukan". "Pelabuhan pangkalan yang ditentukan itu apakah di WPP setempat atau bagaimana?’’ kata Robani.

photo
Nelayan membongkar ikan dari perahu setelah kembali dari melaut, di pasar ikan tradisional Lampulo di Banda Aceh, Indonesia, Salasa (31/1/2023).- (EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK)

Robani mengungkapkan, jika memang bongkar ikan harus dilakukan di pelabuhan pangkalan WPP setempat, dia pun mempertanyakan fasilitas pelabuhan di WPP tersebut. Seperti misalnya sarana cold storage-nya, bakul pembeli ikannya, penetapan harga ikannya, ataupun soal keamanannya.

"Misalkan dari Karangsong saja ada sekitar 100 kapal yang mencari ikan di Papua, kemudian dari daerah-daerah lainnya di Jawa, mulai dari Banten sampai Jawa Timur yang jumlahnya sekitar seribu kapal, juga mencari ikan di perairan Papua, apakah di sananya sudah siap?’’ kata Robani.

Jika berbagai infrastruktur maupun pendukung lainnya di pelabuhan pangkalan WPP setempat belum siap maka nelayan akan seperti membuang ikan. Pasalnya, ikan yang sudah ditangkap tidak bisa dibongkar.

Ketua FNB, Kajidin, menambahkan, jika ketiga poin dalam PP 11/2023 itu dipaksakan untuk diterapkan, nelayan akan sangat kesulitan. Padahal, nelayan selama ini sudah mengalami berbagai kesulitan lainnya.

"Seperti harga BBM yang mahal, harga ikan yang tidak stabil, kondisi cuaca buruk di lautan. Nelayan juga harus menghadapi aturan yang membuat mereka tidak semangat bekerja. Kasarnya, susah tidurlah,’’ kata Kajidin.

Kajidin mengungkapkan, berbagai kesulitan itu selama ini membuat banyak juragan kapal di Karangsong, Kabupaten Indramayu, menjadi bangkrut dan membuat nelayan menganggur. Mereka pun memilih untuk menjual kapalnya. "Banyak kapal yang ingin dijual. Tapi, masalahnya, susah jualnya karena tidak ada yang mau beli,’’ kata Kajidin.

Kajidin menyebutkan, kebanyakan kapal yang ingin dijual itu berbobot 30-50 gross ton (GT). Adapun jumlahnya mencapai puluhan kapal. Selain kehilangan sumber pendapatan, juragan kapal yang bangkrut juga harus menghadapi kejaran pihak bank hingga rumah mereka disegel karena tak bisa membayar utang.

Kajidin berharap pemerintah bisa berpihak pada nasib nelayan. Dia menyatakan, FNB pun siap mendukung program dan kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan nelayan demi menciptakan situasi kamtibmas yang kondusif.

photo
Nelayan mengangkut ikan tangkapannya di Pantai Desa Tanjung, Pamekasan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. - (SAIFUL BAHRI/ANTARA FOTO)

Peraturan turunan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan sedang menyiapkan peraturan turunan dari PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur yang telah diundangkan pada 6 Maret 2023. Salah satunya pengaturan teknis mengenai kuota penangkapan ikan dan tata cara penghitungannya.

Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono saat membuka Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) pada akhir pekan lalu.

"Kita harus memikirkan turunannya seperti apa, masukannya seperti apa, bagaimana sosialisasinya kepada para pelaku di daerah agar dapat bersinergi dengan pusat, inilah yang menjadi hal penting dari berlangsungnya Rakernis DJPT ini," ujar Sakti dalam keterangannya, seperti dikutip pada Selasa (20/3).

Sakti menyampaikan, perjalanan dari PP ini cukup panjang, sekitar dua tahun hingga akhirnya dapat diundangkan. "Selanjutnya, kita perlu mengumpulkan masukan dan dukungan dari para stakeholder terkait agar segera dapat memberikan dampak manfaat untuk masyarakat," ucap Sakti.

Sakti berharap dengan pengelolaan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengelolaan perikanan di Indonesia semakin baik. "Tidak ada lagi keluhan, misal soal BBM subsidi, solar subsidi, saya berharap di satu wilayah, di satu WPP kita sudah punya data, berapa banyak jumlah nelayan, sarana dan prasarananya, nanti di sana hanya ada kaya sekali atau sejahtera, miskin tidak ada," kata Sakti.

Ramadhan dan Hilal

Mengapa Rasulullah SAW mengajarkan agar melihat hilal dalam memulai puasa Ramadhan?

SELENGKAPNYA

Solusi Islam untuk Gangguan Mental 

Melalui karyanya ini, al-Balkhi membahas solusi untuk gangguan mental.

SELENGKAPNYA

Mencari Istana Khalifah Umar

Suatu ketika, seorang utusan Romawi datang ke Madinah guna mencari Umar.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya