
Ekonomi
Menjaga Seni Kerajinan Bordir dari Kepunahan
Perajin bordir manual di Kota Tasikmalaya rata-rata sudah berusia di atas 40 tahun.
Oleh BAYU ADJI PRIHAMMANDA
Seni bordir merupakan salah satu warisan budaya tak benda yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Bukan sekadar seni, saat ini bordir telah menjadi industri. Namun, alih-alih kehilangan pasar, bordir manual Tasikmalaya belakangan mulai kekurangan perajin.
Pemilik Rumah Kayu Bordir & Fashion, Epi Siti Mudrikah, menilai peminat bordir manual makin hari makin banyak. Pasalnya, produk yang dihasilkannya itu dikerjakan secara manual. Artinya, seni bordir dalam setiap produknya tetap dipertahankan.
"Kalau bordir komputer itu kan untuk produksi massal. Sementara bordir manual, kami bukan menjual pakaiannya, tapi seninya," kata Epi saat ditemui Republika di Galeri Kiwari, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Selasa (21/3/2023).
Di tempatnya itu terdapat berbagai produk bordir yang dijual. Bukan hanya pakaian, melainkan juga sepatu, payung, tas, mukena, hingga lukisan. Baginya, bordir tak sebatas seni yang hanya bisa dituangkan dalam media pakaian.

Terlebih, bordir merupakan seni rupa dengan media kain dan benang. Epi mengungkapkan salah satu alasan produk bordir manual masih banyak dicari di pasaran karena produknya terbatas atau limited edition. "Pembeli juga bisa memesan sesuai keinginannya sendiri," kata dia.
Ia menyebutkan, dalam satu bulan rata-rata produknya dapat terjual hingga 50 item. Angka itu bukan berarti pesanan ke tempatnya sedikit, melainkan karana kapasitas produksi tidak banyak.
"Soalnya untuk membuat satu potong itu sekitar butuh 10 hari. Sementara pekerja hanya sekitar 10 orang. Dalam sebulan maksimal hanya bisa memproduksi 10 potong. Sementara pesanan terus ada," kata dia.
Puluhan item itu dijual bukan dengan harga yang murah. Satu item produk dari Rumah Kayu Bordir & Fashion itu dihargai mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 8 juta.
Menurut Epi, harga itu dinilai wajar. Sebab, produk bordir manual adalah barang eksklusif. Pasar yang disasar pun kalangan menengah ke atas. "Jadi, kami yang bekerja secara manual hingga saat ini tidak terpengaruh dengan produk impor massal atau barang thrifting. Karena barang kami eksklusif," ujar dia.

Meski begitu, Epi juga memiliki kekhawatiran. Salah satunya berkurangnya sumber daya manusia yang mumpuni. Sebab, ia menilai, generasi muda saat ini jarang ada yang mau belajar bordir manual.
Padahal, menurut dia, perajin bordir manual sangat dibutuhkan dan dibayar mahal. Namun, karena ketidakpahaman, banyak yang menyangka kesenian bordir tidak berkelas.
"Padahal penghasilannya sangat besar. Satu blazer full bordir, kami bayar yang bekerja saja Rp 700 ribu. Jadi, satu bulan itu bisa sampai Rp 5 juta hingga Rp 5 juta," kata Epi.

Ia mengungkapkan, saat ini perajin bordir manual yang ada di Kota Tasikmalaya rata-rata sudah berusia di atas 40 tahun. Ia mengakui, ada beberapa anak muda yang belajar bordir, tapi jumlahnya tidak banyak.
"Kami terus berupaya untuk bekerja sama dengan para perajin. Agar bordir manual ini tidak punah. Karana Tasikmalaya adalah pionir bordir. Ini harus tetap eksis," kata dia.
Epi mengatakan, Pemerintah Kota Tasikmalaya sebenarnya telah banyak membuat pelatihan kepada anak muda untuk belajar membuat bordir manual. Pihaknya pun juga kerap memfasilitasi anak muda yang hendak belajar bordir manual.
Namun, menurut Epi, kenyataannya minat anak muda untuk belajar bordir manual makin berkurang. "Pemerintah juga sudah banyak usaha untuk membina generasi muda untuk membuat bordir. Kami juga sama, tidak hanya menunggu pemerintah bergerak. Namun, memang peminat untuk jadi perajin itu masih sedikit," kata dia.
Misteri Rp 300 Triliun Mulai Terkuak
Ada transaksi mencurigakan penegak hukum sebesar Rp 74 triliun.
SELENGKAPNYA