
Khazanah
Shamsi Ali: Pemahaman Umat terhadap Masjid Masih Parsial
Jika merujuk sejarah, masjid menjadi pusat peradaban
Oleh MABRUROH
JAKARTA — Imam Shamsi Ali menyebutkan ada kekeliruan fatal yang sedang dihadapi umat Islam, yakni terjadinya pemahaman Islam yang sangat parsial. Dia menjelaskan, semua ini akan berdampak kepada pemahaman kehidupan secara umum, tetapi secara spesifik kepada masjid.
“Kita melihat islam ini seolah-olah agama parsial, agama ritual khusus, seolah menjadi religius, harus kita kurangi untuk kita bisa memahami agama secara kaffah kemudian akan berpengaruh kepada bagaimana kita mendefinikan masjid itu,” ujar dia saat memberikan paparan dalam Seminar Internasional ‘Masjid As A Center of Islamic Education’ yang diselenggarakan oleh Program S3 Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (15/3/2023)..
Ketika datang bulan Ramadhan, orang Islam secara serentak seolah menjadi orang-orang yang sangat religius. “Saya kira pemahaman agama seperti ini harus kita break, harus kita kurangi untuk kita bisa memahami agama ini secara paripurna secara kaffah, ini kemudian akan berpengaruh kepada bagaimana kemudian kita mendefinisikan masjid itu,” ujar dia.

Jika terus memahami Islam secara parsial padahal Alqur’an sendiri sudah menggaris bawahi afatu’minuna biba’dil-kitabi wa takfuruna biba’d, famaa jazaa u may yaf’alu zalika mingkum illaa khizyun fil hayaatid-dun-ya.(Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia)
“Nah khizyun ini salah satu akibat yang fatal dari kesalahpahaman kita terhadap Islam. Maka pelecehan-pelecehan, penghinaan-penghinaan, degradasi yang dialami oleh umat kita sekarang ini juga tidak lepas dari kesalahan kita dalam memahami ajaran agama secara parsial, maka masjid harus kita pahami secara totalitas,” paparnya.

Shamsi menjelaskan bahwa Masjid berasal dari kata sajada, yasjudu, sujudan dari isim makan menjadi tempat untuk kita bersujud. Apabila dipahami secara parsial artinya meletakkan dahi di atas tanah atau lantai. Akan tetapi, dalam pemahaman komprehensif, sujud itu berarti ketaatan.
“Lillahi maa fis-samawati wa maa fil-ard, kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Di langit taat kepada Allah, di bumi juga taat kepada Allah. Jadi (makna) sujud itu ketaatan, maka masjid itu tempat di mana kita taat kepada Allah,” ujar Direktur Jamaika Muslim Center New York itu.
Jadi (makna) sujud itu ketaatan, maka masjid itu tempat di mana kita taat kepada Allah.IMAM SHAMSI ALI
Shamsi Ali melanjutkan, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya bumi ini secara totalitas bagiku telah dijadikan sebagai masjid. Dimanapun Muslim berada dianggap sebagai masjid. "Ketika kita berada di pasar, maka kita taat kepada Allah, pun ketika kita berada di sekolah, di universitas, istana, kementerian, kita taat kepada Allah,"ujar dia
Jika merujuk pada sejarah, ujar Shamsi Ali, masjid memang menjadi pusat peradaban, bukan hanya keilmuwan tetapi juga sumber kehidupan. Itulah kenapa pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah, yang dibangun pertama kali adalah Masjid.
“Ini sebagai simbol bahwa kita memulai kehidupan kolektif, membangun peradaban itu dimulai darj masjid, dan masjid sebagai pusat dari sana bermuara sumbernya segala lini kehudupan. Maka dibangunlah masjid Quba,di afirmasi dengan berdirinya Masjid Nabawi,” jelas dia.
Pada fase selanjutnya, Rasulullah menjadikan masjid sebagai pusat transfer keilmuan. Masjid pun menjadi pusat pendidikan itulah esensi dari ajaran agama Islam. Saat memasuki kehidupan yang berbeda, akan terjadi ekspansi. Meski demikian, kalau pun ada tempat pendidikan, ujar dia, masjid harus punya peranan.
"Jangan sampai kekufuran ke maksyiatab, tapi justru kepada ketaatan kepada Allah. Maka masjid ini harus kita ekspansi, maka masjid ada di istanah, masjid ada ke kegubernuran, masjid ada di mall, maka di manapun kita ada di sanalah masjid menuntun kita kepada Allah,” tutur dia.
“Jadi seperti pak JK (Jusuf Kalla) bilang, tidak bisa memaksakan belajar matematika di masjid, tapi bagaimana nilai-nilai di universitas itu ada nilai masjid ada unsur ketatan kepada Allah,” tambahnya.

Islam bukan agama pendatang
Shamsi Ali mengatakan, Islam bukanlah agama pendatang di Amerika Serikat (AS). Islam merupakan pemikiran yang berkembang di dunia barat selalu diarahkan bahwa Islam adalah agama pendatang, baru, tamu, sehingga tidak memiliki hak atas apapun.
“Jadi Islam sudah lama di sini (AS) tapi selalu ditampilkan sebagai agama baru, kenapa? Karena ingin selalu dikatakan bahwa Islam itu tamu, tidak punya hak, kalau dikasih air ya minum kalau tidak dikasih air ya tidak minum. Kira-kira begitu,” kata dia
Menurut Syamsi Ali, banyak upaya yang dilakukan barat untuk memarginalkan Islam. Salah satunya dengan selalu menampilkan bahwa Islam itu adalah agama baru, agama pendatang. Padahal fakta membuktikan bahwa Islam sudah hadir di AS jauh sebelum colombus menemukan AS. Satu contoh, di daerah-daerah yang disebut California saat ini, diperintah oleh seorang ratu dengan gelar Calafia yang dalam bahasa arab Khalifah berarti pemimpin, kemudian menjadi California.
“Jadi Islam sudah hadir di bumi AS, jauh sebelum protestan berdiri, kerena Islam sudah hadir di bumi AS ini sekitar tahun 1400, sementara protestan berdiri 1600an,” kata dia.
Dia menjelaskan, dengan izin Allah dengan segala upaya-upaya pelemahan tersebut, yang dimaksud islamofobia tersebut Islam justru berkembang. Saat ini, di Amerika Serikat, berdasarkan data 2021 terdapat 4000 masjid dan di New York saja ada lebih dari 300 masjid. Penduduknya, dari 11 juta penduduk di kota New York, ada sekitar 1 juta orang Islam. “Jadi kalau bapak ibu jalan-jalan di New York pasti di pinggir-pinggir jalan ada banyak makanan halal, masjid-masjid kita juga banyak,” kata dia.
Sementara, Ketua Program Doktor Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Prof Abdul Mu’ti menegaskan bahwa peran masjid sangat penting dalam membangun peradaban. Ia mengingatkan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat bukan hanya untuk beribadah tapi juga untuk syiar pengetahuan.

Abdul Mu’ti yang juga menjabat sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu berharap seminar ini dapat memberikan perspektif beragam mengenai peran masjid sebagai pusat pendidikan Islam seiring dengan beragamnya latar belakang para pembicara.
Sebagai pembicara kunci dalam acara itu, hadir juga mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia. “Kalau dulu masjid-masjid yang menciptakan madrasah, sekolah dan universitas, seperti Al Azhar di Mesir, sekarang justru kampus-kampus yang membangun masjid di dalamnya,” ujar Jusuf Kalla.
Sedangkan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin mengatakan masjid dan mushola di seluruh Indonesia menjadi sumber literasi keagamaan yang sangat fundamental. Bahkan menurut penelitian Litbang Kemenag, bahwa sumber literasi keagamaan tertinggi itu adanya di masjid, sebanyak 27 persen.
Kemudian yang menjadi sumber literasi keagamaan selanjutnya adalah majelis taklim sebanyak 13 persen, pesantren sebanyak 7,3 persen dan sekolah atau universitas sebanyak 14 persen.
"Masjid ini tertinggi menjadi sumber-sumber literasi keagamaan umat. Ini sesuatu yang saya kira harus menjadi perhatian bersama," kata Kamaruddin dalam acara yang sama.
Masjid ini tertinggi menjadi sumber-sumber literasi keagamaan umat.
"Jadi kita bisa melihat betapa signifikan dan fundamentalnya masjid sebagai literasi keagamaan umat Islam di Indonesia, tentu ada media cetak, radio, dan media online dan sebagainya tapi tidak sebesar masjid," sambungnya.
Kita juga bisa melihat betapa banyaknya fungsi masjid kita ini. Mulai dari tempat ibadah, tempat pendidikan, musyawaroh, akad nikah, tempat perlindungan, tempat filantropi. Jadi masjid ini adalah tempat yang sangat penting sekali di masyarakat.
"Kita melihat betapa variasi fungsi masjid ini sangat luar biasa sehingga kita punya kesadaran kolektif untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama di Indonesia," jelasnya.
Lalu bagaimana cara meningkatkannya? Salah satu caranya dengan penguatan regulasi masjid dan peningkatan profesionalitas atau skill.
Peningkatan profesionalisme dan skill ini, kata dia, seperti yang diketahui bersama, ekosistem dalam kemasjidan ini banyak sekali mata rantai yang saling mendukung. Misalnya takmir-takmir masjid adalah ekosistem paling penting dalam kemasjidan.
“Jadi kita harus meningkatkan kapasitas dan profesionalitas mereka, meningkatkan literasi keagamaan mereka dan pemahaman mereka. Karena peran takmir masjid ini sangat sentral dalam mengatur lalu lintas atau aktivitas yang ada di mushola atau masjid. Mereka yang menentukan siapa penceramah, kegiatannya apa. Jadi kemenag memberikan afirmasi peningkatan profesionalitas masjid mulai dari takmirnya, remaja masjid dan para imamnya,” kata Kamaruddin.