Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. | ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa.

Nasional

Sistem Distrik Mengemuka dalam Sidang MK

Sistem distrik dinilai juga tak luput dari beberapa kelemahan.

JAKARTA – Usulan agar pemilu di Tanah Air menggunakan sistem distrik mengemuka dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). Gagasan tersebut dilontarkan Wasekjen Partai Demokrat, Jansen Sitindaon, ketika membacakan keterangannya sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi sistem proporsional terbuka di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Jansen menilai, sistem distrik merupakan solusi atas persoalan politik berbiaya tinggi yang terjadi selama ini. Menurut dia, masalah politik berbiaya tinggi bukan karena penerapan sistem proporsional terbuka. Dalam sistem proporsional tertutup sekali pun, akan tetap terjadi politik berbiaya tinggi.

Dia mengatakan, penyebab politik berbiaya tinggi adalah karena daerah pemilihan (dapil) terlalu luas. Caleg harus mengeluarkan biaya besar untuk mengunjungi calon pemilihnya yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota. Bahkan, kata dia, saat ini terdapat satu dapil yang mencakup wilayah satu provinsi.

Evolusi Sistem Pemilu Indonesia - (Republika)

Sebagai solusi atas persoalan politik berbiaya tinggi itu, Jansen mengusulkan agar pileg menggunakan sistem distrik. Sebuah sistem yang kini digunakan di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, India, dan Malaysia. Dalam sistem distrik, kata dia, luas dapil jadi sangat kecil. Pasalnya, jumlah dapil disamakan dengan jumlah kursi yang tersedia. Jadi, para caleg pada satu dapil hanya memperebutkan satu kursi anggota dewan.

“Kalau mengikuti jumlah kursi DPR kita untuk Pemilu 2024 sebanyak 580 kursi. Kalau sistem distrik ini diterapkan, ya jumlah dapilnya 580 juga,” kata Jansen.

Untuk diketahui, dengan sistem proporsional terbuka yang masih berlaku sekarang, jumlah dapil hanya 84 di seluruh Indonesia. Di setiap dapil terdapat tiga atau lebih kursi yang diperebutkan.

Dengan sistem distrik, menurut Jansen, tak hanya luas dapil menjadi kecil, tapi jumlah caleg juga berkurang. Pada satu dapil hanya terdapat satu caleg dari satu partai. Misalnya, kata dia, ada 14 partai peserta pemilu, maka jumlah caleg di satu dapil juga 14 orang. Nantinya hanya satu caleg yang akan memenangkan kursi anggota dewan.

“Kalau teman-teman (penggugat) mendalilkan rakyat bingung memilih karena banyak sekali caleg dalam sistem proporsional terbuka, sistem distrik ini lebih simpel. Satu partai hanya mengirimkan satu caleg,” katanya.

photo
Delapan pimpinan partai politik bertemu untuk menolak sistem proporsional tertutup dalam pelaksanaan Pemilu 2024. - (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha)

Jansen mengakui sistem distrik ini memiliki kekurangan, tak ubahnya sistem lain. Kekurangannya adalah sistem ini membuat banyak suara hangus karena ‘winner take all’. “Misalnya, ada lima orang yang bertarung sebagai caleg. Saya dapat 50 ribu suara pemilih, caleg nomor 2 dapat suara 40 ribu, nomor 3 suaranya 30 ribu, nomor 4 suaranya 20 ribu, dan nomor 5 suaranya 10 ribu. Karena winner take all, dengan 50 ribu suara, saya yang mewakili dapil itu. 100 ribu suara ini (yang diperoleh caleg nomor urut 2 sampai 5) menjadi hilang. Memang ini problemnya sistem distrik, suara hilangnya paling banyak,” ujarnya.

Menurut Jansen, sistem distrik bisa diterapkan di Indonesia asalkan DPR menyetujuinya dalam proses revisi UU Pemilu. Dalam kesempatan itu, Jansen juga mengusulkan agar pemilihan presiden dan pileg tidak serentak.

Merespons usulan Jansen tersebut, hakim konstitusi Saldi Isra menyampaikan nasihat. Saldi mengingatkan bahwa sidang kali ini menyoal sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup.

“Harus diingat juga, dari banyak gagasan tadi yang mana yang kewenangan MK, mana yang jadi kewenangan Pak Jansen dengan partai politik di DPR. Itu harus diperhatikan juga. Kalau didengar semuanya, macam banyak sekali yang harus dibahas tadi. Padahal sidang ini fokusnya soal sistem proporsional terbuka,” kata guru besar hukum tata negara dari Universitas Andalas itu.

 
Padahal sidang ini fokusnya soal sistem proporsional terbuka.
SALDI ISRA, Hakim Konstitusi
 

Gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini diajukan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP. Mereka menggugat sejumlah pasal dalam UU Pemilu yang menjadi landasan penerapan sistem proporsional terbuka. Mereka meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup sehingga bisa diterapkan dalam Pemilu 2024.

Dalam sidang hari ini, MK baru selesai mendengar keterangan dari seluruh pihak. Sidang selanjutnya diagendakan untuk mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh penggugat.

Bung Karno Kontra Amerika

Presiden Sukarno kala itu sering dikecam sebagai trouble maker.

SELENGKAPNYA

Kala Paman Nabi Meminta Hujan

Paman Nabi Muhammad SAW, Abbas, berdoa meminta hujan kala paceklik melanda era Khalifah Umar.

SELENGKAPNYA

Umrah untuk 10 Hari Terakhir Ramadhan Sudah Sold Out

Izin umrah selama Ramadhan diperoleh melalui Nusuk.

SELENGKAPNYA