Seorang petugas Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengamati posisi hilal menggunakan teleskop semi auto saat Rukyatul Hilal di Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Minggu (1/5/2022). Tim pemantau dari Kementerian Agama Kalbar bersama BRI | ANTARA FOTO

Kabar Utama

Sulitnya Indonesia Punya Kalender Hijriyah Tunggal

Upaya menyatukan kriteria dalam proses unifikasi kalender Hijriyah memang panjang.

JAKARTA -- Peneliti astronomi dan astrofisika pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (Lapan-BRIN) yang juga anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriah Kementerian Agama, Prof Thomas Djamaluddin, menyampaikan bahwa proses unifikasi kalender Hijriyah Indonesia masih terus diupayakan.

"Terkait upaya unifikasi kalender Hijriyah di tingkat nasional, dulu itu sudah diupayakan untuk menyatukan kriteria. Dan kriteria ini adalah salah satu, atau sebetulnya dapat disebut sebagai satu-satunya, cara untuk mempertemukan antara pengamal hisab dan rukyat yang secara fikih itu berbeda, tetapi keputusannya bisa satu jika kriterianya sama," kata dia di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Kamis (16/3/2023).

Thomas mengakui, upaya menyatukan kriteria ini memang proses yang panjang. Dari penggunaan kriteria ijtima qablal ghurub, lalu kriteria wujudul hilal, hingga berkembang menjadi kriteria imkan rukyat yang juga disebut sebagai kriteria visibilitas hilal. Kriteria terakhir itu yaitu tinggi bulan minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 6 jam.

photo
Tim falakiyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Gresik mengamati posisi hilal menggunakan theodolit dan teropong di Bukit Condrodipo, Gresik, Jawa Timur, Jumat (1/4/2022). Tim falakiyah PCNU Gresik tidak berhasil melihat hilal saat pemantauan rukyatul hilal. - (ANTARA FOTO/Rizal Hanafi)

Dengan kriteria itu saja, menurut Thomas, masih sering terjadi perbedaan. Ini karena masih ada ormas Islam yang berkukuh menggunakan kriteria wujudul hilal. Sedangkan, ormas-ormas lain sudah bersepakat untuk menggunakan kriteria imkan rukyat.

Menteri-menteri agama dari sejumlah negara, yang tergabung dalam Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), pun telah mengkritisi kriteria 2 derajat atau yang biasa disebut kriteria 238. Sebab, kriteria 238 ini terlalu rendah.

"Tidak mungkin hilal bisa teramati kalau posisinya rendah. Sehingga, mulai dari tahun 2014 itu sudah mulai dikritisi, kemudian dikaji dan akhirnya pada 2015 tim teknis MABIMS menyetujui kriteria baru, yaitu tinggi (bulan) minimal 3 derajat, elongasi 6,4 derajat. Sedangkan, implementasinya di tingkat pemerintah dan menteri agama itu baru pada Desember 2021. Jadi, ini sudah progres di tingkat regional, sudah ada kesepakatan itu," kata dia.

Selanjutnya, pada tahun 2022, pemerintah menerapkan kriteria tersebut di Indonesia. Kemudian, Nahdlatul Ulama (NU) juga telah mengubah kriterianya dan menggunakan kriteria yang sama dengan kriteria MABIMS. NU menyebutnya Imkan Rukyat Nahdlatul Ulama (IRNU).

Thomas juga menekankan, metode hisab dengan kriteria apa pun sebetulnya bisa memberikan kepastian, misalnya, untuk 1.000 tahun lamanya maupun 100 tahun. Meski dalam perkembangannya tentu akan ada perubahan, secara prinsip itu bisa dihitung.

 
Model kriteria yang baru ini mau untuk 10 tahun ke depan itu bisa. Kriteria itu kan soal batas minimum.
THOMAS DJAMALUDDIN
 

"Jadi, bukan hanya wujudul hilal yang bisa memberi kepastian. Model kriteria yang baru ini mau untuk 10 tahun ke depan itu bisa. Kriteria itu kan soal batas minimum. Kalau tinggi bulan, elongasi bulan, kan sudah bisa dihitung sampai dengan sekian lama ke depan juga bisa. Hanya masalah kriterianya itulah yang membedakan," kata dia.

Hingga saat ini, upaya penyatuan kalender hijriah Indonesia masih terus dilakukan. Thomas melihat Kementerian Agama selalu mengupayakan dialog. Setiap tahun pun ada pertemuan untuk melakukan sinkronisasi. "Jadi, terus dilakukan (upaya unifikasi ini)," tuturnya.

Untuk diketahui, dalam kriteria MABIMS ini, ketinggian bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat. Elongasi minimal 6,4 derajat didasarkan pada rekor bulan terdekat sebagaimana yang dilaporkan dalam makalah Mohammad Shawkat Odeh, salah seorang tokoh falak internasional.

Menurut Thomas, penyebab utama terjadinya perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang terus berulang adalah karena belum ada kesepakatan soal kriteria awal bulan Hijriyah. Dia mengungkapkan, prasyarat utama untuk terwujudnya unifikasi kalender Hijriyah tersebut adalah harus adanya otoritas tunggal, yakni pemerintah, sehingga semua pihak di Indonesia dapat berpatokan pada otoritas tunggal tersebut.

"Otoritas tunggal akan menentukan kriteria dan batas tanggalnya yang dapat diikuti bersama. Sedangkan, di kondisi saat ini, otoritas tunggal mungkin bisa diwujudkan dulu di tingkat nasional atau regional. Penentuan ini mengacu pada batas wilayah sebagai satu wilayah hukum sesuai batas kedaulatan negara. Kriteria diupayakan untuk disepakati bersama," kata Thomas.

 
Otoritas tunggal akan menentukan kriteria dan batas tanggalnya yang dapat diikuti bersama.
THOMAS DJAMALUDDIN
 

Penyusunan unifikasi kalender Hijriyah Indonesia (KHI) memang bak berjalan di tempat. Meski menyandang status sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia masih terbelah soal penetapan kalender Hijriyah. Upaya penunggalan kalender Hijriyah masih menemui halang rintang. Pembahasan naskah akademis oleh sejumlah pemangku kepentingan umat tak juga menghasilkan kesimpulan.

Kepala Subdirektorat Hisab Rukyat dan Syariah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Ismail Fahmi sebelumnya menjelaskan, unifikasi kalender Hijriyah Indonesia terus dilakukan. Meski demikian, ia tidak dapat memastikan target waktu KHI bisa terwujud. Dia menjelaskan, Kemenag sebagai fasilitator ormas Islam terus mengusahakan rencana dan strategi yang dapat mempercepat unifikasi KHI.

 

Dia mengatakan, kendala yang dihadapi dalam unifikasi KHI sehingga belum bisa terwujud adalah karena ormas-ormas Islam belum bisa menyatukan pandangan dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Mereka pun belum menyerahkan pandangan-pandangan secara tertulis yang diminta sejak lama oleh Kementerian Agama (Kemenag). "Kendalanya, masing-masing ormas masih sulit untuk melepas kriteria yang dimiliki dalam menentukan awal bulan Qamariyah," kata Ismail kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Ismail mengungkapkan, agenda yang tengah dilakukan untuk mewujudkan KHI adalah dengan membuat naskah akademis. Kemenag pun melakukan seminar dan sosialisasi kepada seluruh ormas Islam dan masyarakat. Menurut Ismail, jika nantinya unifikasi KHI tidak dapat terwujud karena pandangan masing-masing ormas yang belum bisa dipersatukan, Kemenag tetap akan membuat pedoman kalender Hijriyah.

Kembali berbeda

Sulitnya penyatuan KHI membuat umat Islam kerap terbelah saat merayakan hari besar keagamaan. Hari besar yang paling dekat yakni Idul Fitri 1444 H yang diprediksi akan berbeda. 

Thomas sebelumnya menjelaskan, perbedaan ini bukan muncul karena perbedaan metode rukyat dan hisab, melainkan karena perbedaan kriteria. Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal, menetapkan Idul Fitri jatuh pada 21 April 2023. Pemerintah dan beberapa ormas Islam, seperti NU dan Persis, menggunakan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal), menetapkan jatuhnya pada 22 April 2023.

Meski demikian, Thomas menjelaskan, awal Ramadhan 1444 H akan seragam pada 23 Maret 2023. Menurut dia, solusi terhadap potensi perbedaan Idul Fitri 1444 H adalah mengupayakan kesepakatan kriteria dan otoritas antara pemerintah dan ormas-ormas Islam.

Kesepakatan penggunaan kriteria yang dimaksud ialah kriteria MABIMS. Kriteria itu sudah diterima oleh empat negara tersebut dan beberapa ormas Islam, yakni NU dan Persis. "Kriteria MABIMS yaitu tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat," kata dia.

Menurut Thomas, ada sejumlah faktor yang membuat kriteria MABIMS perlu diterima dalam penentuan awal bulan Hijriyah. Pertama, kriteria MABIMS dibangun atas dasar data rukyat atau pengamatan global jangka panjang. Kedua, parameter yang digunakan dalam kriteria MABIMS adalah parameter yang biasa digunakan oleh para ahli hisab Indonesia, yaitu ketinggian hilal dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari).

"(Ketiga), parameter yang digunakan menjelaskan aspek fisis rukyatul hilal. Elongasi menggambarkan ketebalan fisis hilal. Semakin besar nilai elongasi, berarti hilal semakin tebal," ujar anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kemenag itu.

 

Semua Ada Harganya

Semua ada harganya, tak ada satu perbuatan tanpa ganjaran di hadapan manusia maupun Allah SWT.

SELENGKAPNYA

Produk Pasar Thrifting Ganggu Produksi Dalam Negeri

Lemahnya penegakan hukum membuat thrifting ini bangkit dari kubur.

SELENGKAPNYA

Shalat dalam Bahasa Ajam, Sah atau Tidak?

Bagi mereka yang belum bisa melafalkan Arab solusi nya ialah bertahmid, bertakbir, dan bertahlil.

SELENGKAPNYA