Opini
Moralitas Gelar Honoris Causa
Pemberian gelar Dr HC tanpa mempertimbangkan moralita mencederai akuntabilitas publik.
INDRI CHAIRUNNISA; Dosen Sekolah Pascasarjana FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
Akhir-akhir ini, pembahasan terkait pemberian gelar honoris causa bagi sejumlah tokoh politik menjadi isu menarik. Setidaknya, ini mewarnai berita di beberapa media arus utama dan media sosial. Seperti diungkap pengamat, itu jadi pemulus karier rektor (Tempo, 5/3/2023).
Pemberian gelar Doktor (Dr) Honoris Causa (HC) bukan sembarangan sehingga perlu alasan jelas. Biasanya sosok yang mendapatkannya punya kontribusi bagi masyarakat, bisa juga pada bidang ilmu tertentu yang menjadi perhatian kampus tersebut.
Jika kita merujuk aturan, pada Peraturan Pemerintah (PP) No 43 Tahun 1980, Pasal 2 ayat 1 dan 2, sangat jelas aturan mainnya.
Gelar Dr HC sebagaimana dimaksud ayat (1), selanjutnya dalam peraturan pemerintah ini disebut gelar, diberikan sebagai tanda penghormatan bagi jasa dan atau karya: a. yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, dan pengajaran; b. yang sangat berarti bagi pengembangan pendidikan dan pengajaran dalam satu atau sekelompok bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial budaya;
c. yang sangat bermanfaat bagi kemajuan atau kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia pada khususnya serta umat manusia pada umumnya; d. yang secara luar biasa mengembangkan hubungan baik dan bermanfaat antara bangsa dan negara Indonesia dengan bangsa dan negara lain di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya; e. yang secara luar biasa menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perkembangan perguruan tinggi.
Gelar Dr HC bisa dilihat sebagai gelar kehormatan yang hanya bisa diberikan kepada insan luar biasa jasanya bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari sini saja, semestinya Dr HC bisa dilihat sebagai gelar kehormatan yang hanya bisa diberikan kepada insan luar biasa jasanya bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Belum lagi, kita bicara soal scoring objektif terhadap penerima gelar tersebut.
Tentu, tidak serta-merta dianggap sebagai penilaian subjektif yang memuluskan sang calon penerima. Apalagi, jika ini dibiarkan, akan mengancam kebebasan kampus dalam membangun dan mengembangkan kejujuran ilmu pengetahuan.
Kalau lihat gambaran hal ini di perguruan tinggi luar negeri, kita menemukan fakta pemberian gelar Dr HC sebagai model diplomasi politik.
Tradisi pemberian gelar Dr HC muncul pada abad ke-15 dari dua universitas tertua di Inggris: Oxford dan Cambridge. Gelar ini bahkan ada sebelum gelar doktor filsafat (PhD) melalui penelitian, yang pertama berkembang di Jerman abad ke-17.
Tradisi pemberian gelar Dr HC muncul pada abad ke-15 dari dua universitas tertua di Inggris: Oxford dan Cambridge.
Awalnya, pemberian Dr HC di Inggris lebih banyak memakai prinsip “jure dignitatis”, yaitu pengakuan atas jabatan, status, dan kelas sosial, ketimbang prestasi. Banyak disematkan pada tokoh terkemuka, seperti anggota keluarga kerajaan, pimpinan negara lain, hingga pendeta.
Kini universitas di Inggris, terutama sejak reformasi pendidikan pada 1920-an dan seluruh dunia meninggalkan "jure dignitatis". Pemberian gelar kepada individu yang belum tentu unggul dalam keilmuan dianggap tak adil bagi yang meraihnya dengan kerja keras intelektual.
Banyak perguruan tinggi kemudian mengembalikan proses pemberian gelar kehormatan kepada tujuan awalnya, yakni pengakuan kepada individu yang dianggap berkontribusi di berbagai bidang. Dan, sebagai alat efektif diplomasi politik. Tapi benarkah yang terjadi demikian?
Instrumen politik dan kekuasaan
Dalam riset peneliti Inggris, Michael Heffernan dan Heike Jons, selama 1999-2000, Oxbridge sebagai aktor non-negara dalam hubungan internasional menggunakan gelar doktor kehormatan sebagai instrumen politik secara global.
Baik membangun aliansi maupun diplomasi nilai dan budaya. Pada 1941 ketika Perang Dunia II, misalnya, Oxford memberi gelar Dr HC pada PM Portugal Oliveira Salazar, mencegah aliansi antara negaranya dan kekuatan poros (Jerman-Italia-Jepang) yang mengancam Inggris.
Di sisi lain, sejak 2013-2020, banyak universitas di Australia menganugerahkan gelar kehormatan kepada Aung San Suu Kyi. Ia dianggap ikon demokrasi dan advokat perlawanan tanpa kekerasan dalam menghadapi rezim militer di Myanmar.
Selain bentuk dukungan, gelar Dr HC digunakan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan hingga menghalau ideologi, yang dianggap bertentangan dengan kepentingan negara.
Selain bentuk dukungan, gelar Dr HC digunakan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan hingga menghalau ideologi, yang dianggap bertentangan dengan kepentingan negara.
Misalnya, Anglia Ruskin University di Inggris mencabut gelar kehormatan yang diberikan kepada anggota parlemen Hong Kong, Junius Ho Kwan-Yiu, karena haluan politiknya yang pro-Beijing dan seksisme (The Conversation, 21/12/2022).
Banyak akademisi mengkritik gelar kehormatan yang tak sepenuhnya berbasis prestasi. Bahkan, justru menjadi alat pemasaran dan publisitas universitas.
Di Indonesia, pemberian gelar Dr HC terlihat transaksional. Beberapa universitas memberi gelar kehormatan untuk menyenangkan yang berkuasa, dan membuka pintu masuk dana atau proyek dari kantor penerima gelar.
Dasar hukum HC di Indonesia, yakni PP No 43 Tahun 1980 dan Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi No 65 Tahun 2016, memiliki kriteria pasal karet. Seperti bunyi: “Berjasa dan berkarya pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan umat manusia/kemanusiaan”.
Regulasi ini tidak mengatur hubungan afiliasi politik dari calon penerima. Satu-satunya rujukan netralitas universitas hanya asas netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam UU Nomor 5 Tahun 2014.
Celah hukum ini dimanfaatkan untuk memberikan gelar honoris causa kepada politikus, tokoh masyarakat, dan menteri. Selain itu, dalam Permenristekdikti No 65 Tahun 2016, universitas yang bisa memberi gelar Dr HC hanya yang berakreditasi A.
Sayangnya, banyak universitas malah membuat aturan internal sendiri agar tetap bisa memberi gelar kehormatan kepada politikus berpengaruh. Ini disayangkan karena universitas adalah mimbar akademik yang seharusnya tak terjebak kepentingan politik golongan.
Banyak universitas besar di luar negeri termasuk Inggris, juga tampak memberi gelar kehormatan secara transaksional.
Banyak universitas besar di luar negeri termasuk Inggris, juga tampak memberi gelar kehormatan secara transaksional. Oxford secara tradisional dipandang universitas yang sibuk secara politik, didominasi seni dan humaniora, serta dekat kekuatan politik dan dana pemerintah.
Mereka masih banyak memberikan gelar kehormatan pada pemimpin negara dan politikus dalam upacara tahunan “Enceania”. Selain itu, Cambridge sering dianggap didominasi sains dan terpisah dari dunia kotor politik.
Mereka membatasi pemberian gelar Dr HC hanya untuk individu dengan prestasi luar biasa di bidangnya, memperkuat otoritas budaya dan intelektual, serta menegaskan kemandirian politik.
Namun, keduanya sama-sama turut menggunakan gelar kehormatan untuk mengapresiasi orang yang berkontribusi secara signifikan terhadap kegiatan universitas. Termasuk para dermawan dan pendonor (benefactor).
Penyangkalan adanya motif citra, uang, dan publisitas di balik pemberian gelar Dr HC menutup percakapan tentang batas-batas etis dari penggunaannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari sinilah artikel ini ingin menyampaikan pesan penting dan utama bagi pemangku kebijakan di perguruan tinggi yang berakreditasi A.
Pertama, PP Nomor 43 Tahun 1980 perlu ditransformasi. Pasal-pasal yang dicurigai memuat unsur pasal karet harus dipertegas agar ke depan "isu negatif" ini tidak menjadi bola salju, yang mampu mengancam independensi perguruan tinggi.
Keputusan pemberian gelar Dr HC harus dikembalikan kepada penilaian, yang sifatnya objektif dan berintegritas melibatkan banyak pakar di bidangnya.
Kedua, keputusan pemberian gelar Dr HC harus dikembalikan kepada penilaian, yang sifatnya objektif dan berintegritas melibatkan banyak pakar di bidangnya. Sehingga, yang berhak menerima benar-benar yang sesuai kriteria dan jauh dari unsur politik kepentingan.
Ketiga, mengajak semua rektor dan ilmuwan di Tanah Air agar berani mengembalikan kampus pada tujuan semula. Yakni, mendidik, meneliti, dan mengabdi dengan semangat kejujuran, transparansi, dan integritas tinggi.
Apa pun alasannya, pemberian gelar Dr HC tanpa mempertimbangkan moralitas berupa kejujuran, etika, dan transparansi sangat mencederai akuntabilitas publik. Termasuk melukai nurani para dosen yang berjuang mati-matian agar bisa meraih gelar doktor ataupun profesor.
Kriteria Pemberlakuan Pajak Menurut Fikih
Bagaimana aturan main pemberlakuan pajak menurut fikih?
SELENGKAPNYA‘Amerika Serikat Eksportir Islamofobia Global’
Profesor dari University of Arkansas ini soroti peran Amerika Serikat terkait Islamofobia.
SELENGKAPNYA