ILUSTRASI Nabi Muhammad SAW lebih menyukai nama Madinah daripada Yastrib. | DOK MAXPIXEL

Dunia Islam

Alasan Rasulullah tidak Menyukai Nama Yastrib untuk Madinah

Rasulullah SAW tidak menyukai nama Yastrib untuk merujuk pada kota ini.

Nabi Muhammad SAW sangat mencintai Madinah, termasuk nama kota itu. Dalam hadis mengenai Kota Nabi, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah, beliau bersabda, “Aku diperintahkan pada sebuah desa yang memakan desa yang lain. Mereka menamakannya Yastrib, yaitu Madinah. Ia memakan manusia sebagaimana dapur pembakaran memakan besi.”

Dikutip dari Ensiklopedia Alquran, maksud dari sabda Nabi SAW, “aku diperintahkan dengan sebuah desa,” adalah sebagai berikut. Ketika mengizinkan hijrah, Allah SWT memerintahkan Rasul SAW menuju Madinah.

Ungkapan “mereka menamakannya Yastrib”, berarti bahwa orang-orang munafik telah menamakan kota itu sebagai Yastrib.

Maka, Rasulullah SAW tidak menyukai penyebutan ini. Terlebih lagi, maknanya secara kebahsaan berarti 'mencela' atau 'menghardik'. Kata yastrib digunakan sekali dalam Alquran, yaitu ketika Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya.

“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian, dan dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS Yusuf: 92)

Isa bin Dinar berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menyebutnya Yastrib, maka itu dianggap melakukan sebuah dosa.”

Pesan ini juga dapat dijumpai dalam Musnad Ahmad bin Hanbal. Kebanyakan musafir dan ahli fikih mengatakan,  Allah SWT menamakan kota itu dengan Madinah pada lebih dari satu ayat di dalam Alquran.

Misalnya, dalam at-Taubah ayat ke-120. Artinya, “Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka jika tidak turut serta berperang dengan Rasulullah. Dan tidak patut pula bagi mereka jika lebih mencintai diri mereka sendiri ketimbang Rasulullah."

Ayat ini turun kepada penduduk Madinah, karena Allah SWT mendorong mereka untuk berjihad bersama Rasulullah SAW. Dia menjanjikan pahala yang besar. Kata al-madinah merujuk pada Kota Madinah. Ini juga dapat ditemui dalam surah al-Ahzab ayat ke-60 dan surah al-Munafiqun ayat kedelapan.

Sekilas sejarah Madinah

Pada awal abad kedua Masehi, Madinah mulai dihuni tiga kabilah Yahudi yang utama. Mereka adalah Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa. Ketiganya memperkenalkan budaya pertanian dan perkebunan kepada penduduk setempat.

Kabilah-kabilah Yahudi itu dikenal ahli dalam mengolah lahan-lahan di sekitar oasis untuk ditanami kurma. Untuk melindungi diri, masing-masing suku bangsa itu tinggal di kawasan—baik dalam maupun sekitaran Madinah—yang dipagari tembok benteng.

Pada abad kelima, Bendungan Mar’ib di Arab Selatan (Yaman) jebol. Negeri Yaman yang sebelumnya tenteram dan subur pun porak-poranda. Banyak kabilah Arab hijrah dari sana menuju arah utara. Dua kabilah di antaranya, yakni Aus dan Khazraj, kemudian berhenti di Madinah. Mereka menghuni wilayah-wilayah setempat yang masih belum digarap.

Tiga kabilah Yahudi yang lebih dahulu menetap di Madinah melihat para pendatang Arab itu sebagai peluang. Sebab, orang-orang Yahudi kala itu membutuhkan banyak tenaga untuk menggarap kebun-kebun. Jadilah mereka mempekerjakan kabilah Aus dan Khazraj. Dengan perkataan lain, keahlian bertani dan berkebun pun ditransmisikan kepada orang-orang Arab itu.

Seiring berjalannya waktu, kondisi Aus dan Khazraj pun kian membaik. Bahkan, kabilah-kabilah Arab itu mulai menyaingi suku-suku Yahudi di Madinah, baik dalam hal jumlah penduduk maupun kemampuan mengolah lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Kabilah-kabilah Yahudi akhirnya menampakkan rasa khawatir dan gentar.

Namun, antara Aus dan Khazraj pada masa itu lebih sering diwarnai kontestasi atau bahkan konflik terbuka. Orang-orang Yahudi memanfaatkan situasi tersebut. Bani Quraizhah dan Bani Nadhir secara terang-terangan menjadi sekutu Bani Aus.

Sementara itu, Bani Qainuqa mendukung Bani Khazraj untuk melawan Aus. Ketika kedua suku Arab itu saling berperang, orang-orang Yahudi ikut memerangi saudaranya yang berada di kubu lawan. Seandainya kemudian ada dari mereka yang tertawan, maka tawanan itu dapat ditebus dengan harta.

Dalam hal ini, orang-orang Yahudi itu bersikap mendua, yakni mengamalkan tetapi sekaligus meninggalkan sebagian ajaran kitab suci mereka. Kelak, sikap itulah yang disinggung Allah SWT melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.

Misalnya, surah al-Baqarah ayat 85, yang artinya, “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu), dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan permusuhan.

Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)?

Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat.”

Mengenal Miqdad Sang Sahabat Nabi

Miqdad merupakan seorang sahabat Nabi SAW berkarakter pemikir.

SELENGKAPNYA

Wapres Ajak Diaspora Pasarkan Produk Halal Indonesia

Indonesia dan Jepang terus melakukan penguatan kerja sama di berbagai bidang.

SELENGKAPNYA

Praksisme Pancasila (I)

Ketimpangan yang serius ini terjadi di sebuah negara dengan Pancasila sebagai dasar filosofisnya.

SELENGKAPNYA