
Ekonomi
Bom Waktu Hedonisme Kaum Muda
Tujuan dari jenama-jenama mahal memang mendorong sifat hedonisme.
Oleh Dedy Darmawan Nasution
Hedonisme remaja kembali menjadi sorotan pasca-kasus penganiayaan oleh anak pejabat pajak, Mario Dandy Satrio (20), yang viral hingga berujung pencopotan jabatan ayahnya. Gaya hidup kaum muda yang begitu kental dengan nuansa tajir dikelilingi barang berkelas seolah menjadi keharusan demi meraih eksistensi di komunitasnya. Meskipun, kebanyakan remaja belum menghasilkan uang sendiri.
Pada saat yang sama, jenama produk gaya hidup tengah menyasar kaum muda sebagai segmen pasar yang penting. Banyak perusahaan menyadari pangsa pasar kaum muda merupakan pasar yang paling global dan punya banyak kesamaan.
Pakar pemasaran Yuswohady mengatakan, segmen pasar jenama-jenama kelas atas biasanya mengincar konsumen yang tahan terhadap krisis ekonomi tanpa melihat generasi tua atau muda. "Sekalipun anak yang menjadi pengguna, tetap saja yang membiayai orang tua. Anak ini kan biasanya menjadi influencer, tapi dibiayai orang tua," kata Yuswohady kepada Republika, belum lama ini.
Jenama-jenama kelas atas itu bagi konsumennya tak sekadar barang mahal, tapi juga punya nilai berbeda sebagai alat untuk menunjukkan ekspresi diri dan validasi sosial. Dengan kata lain, brand high class digunakan untuk menunjukkan kelas sosial semakin tinggi dari yang lain.

Yuswohady pun membenarkan tujuan dari jenama-jenama mahal memang mendorong sifat hedonisme untuk menjadi identitas sosial. Namun, secara ekonomi, tujuan dan strategi para pemilik jenama tidak salah dalam konteks bisnis.
"Brand tidak bisa disalahkan. Sebaliknya, si pemakai harus bijak dan melihat lingkungan sosialnya. Apalagi, kalau yang menggunakan seorang PNS, yang kita tahu berapa pendapatannya," kata dia.
Faktor kesejahteraan di mana belum banyak masyarakat Indonesia yang beruntung menjadi sensitivitas tersendiri terhadap gaya hidup hedon.
Selain itu, faktor kesejahteraan di mana belum banyak masyarakat Indonesia yang beruntung menjadi sensitivitas tersendiri terhadap gaya hidup hedon. Namun, di lain sisi, kondisi sosial itu juga membuka celah untuk bersikap pamer untuk terlihat kaya.
Yuswohady berpandangan, ke depan generasi muda akan semakin mudah menggunakan produk kelas atas yang makin hari akan semakin terlihat biasa. Itu karena mereka sudah terlahir pada era di mana kemampuan ekonomi sudah jauh lebih baik. Akan tetapi, kata dia, semuanya kembali kepada nilai etis dan moral si pemakai.
Sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi mengatakan, perilaku hedonisme anak muda biasa dilakukan oleh mereka yang berasal dari keluarga kaya. Namun, kekayaan itu tidak diraih dengan kucuran keringat dan air mata.
"Gaya hidup hedon dilakukan bukan oleh para perintis usaha, para pionir, melainkan oleh generasi kedua, ketiga, dan seterusnya. Jadi, mereka mudah mendapatkan, tapi juga mudah menghabiskan," ujarnya.
Ia menjelaskan, orang tua umumnya memang tak ingin anak-anaknya susah seperti mereka. Sayangnya, itu dilakukan tanpa ada tekanan terhadap anak untuk membiasakan hidup sederhana sedari kecil.

Senada dengan Yuswohady, Sigit menuturkan bahwa pamer kekayaan dijadikan ajang penanda status sosial. Mulai dari gadget, kendaraan, pakaian, makanan yang dikonsumsi, hingga kelas pergaulan. Mereka ingin dihormati oleh sekelilingnya dengan menyandang status kaya lewat jenama-jenama yang melekat.
Sigit mengatakan, pada era Orde Baru 1970-an, mereka yang suka pamer menggunakan mobil mewah saat yang lain menaiki angkot disebut sebagai orang kaya baru. Kemudian pada 1980-1990, kelompok ini disebut kelas menengah darah biru karena mereka kaya dari fasilitas yang diperoleh ibu bapaknya di pemerintahan. "Hedonisme nyaris tidak pernah dilakukan oleh mereka yang punya intelektual bagus," ujar dia.
Mereka tidak memanfaatkan usia muda untuk investasi iptek, mencoba usaha karena lingkungannya hanya membicarakan pakai ponsel apa dan pernah pergi ke mana.SIGIT ROCHADI, Sosiolog Universitas Nasional
Pada era modern saat ini, sifat hedonisme bisa menjadi bom waktu bagi generasi penerus. Sigit mengatakan, Indonesia bisa kehilangan satu generasi karena mereka terbiasa memanfaatkan kekayaan keluarga tanpa tahu bagaimana cara menghasilkan.
"Loss generation. Mereka tidak memanfaatkan usia muda untuk investasi iptek, jaringan, mencoba usaha, karena lingkungannya hanya membicarakan pakai motor apa, ponsel apa, jam apa, dan pernah pergi ke mana," kata Sigit.
Ramadhan Mencekam bagi Warga Palestina
Menteri Israel perintahkan penghancuran rumah Palestina.
SELENGKAPNYAMelahirkan dengan Dibantu Dokter Laki-Laki, Bolehkah?
Hukum asal memperlihatkan aurat bagi kaum perempuan ataupun laki-laki adalah haram.
SELENGKAPNYASaran Psikolog Atasi Anak Bermasalah
Banyak faktor yang bisa menyebabkan anak bermasalah.
SELENGKAPNYA