Pengunjung berjalan di area Teater Keong Mas di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ahad (20/11/2022). | Republika/Putra M. Akbar

Kronik

Senyum Jenderal Menjadi Murka

Mengapa pembangunan proyek TMII menuai protes?

Oleh SELAMAT GINTING

Persis 50 tahun lalu. Rapat di Jalan Cendana Nomor 8, Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Tepatnya pada 13 Maret 1970. Rapat di kediaman Jenderal Soeharto (48 tahun), Presiden Republik Indonesia.

Ibu Negara Siti Hartinah (46 tahun), dikenal dengan sebutan Ibu Tien Soeharto, menyodorkan sebuah gagasan. Pembangunan sebuah taman miniatur yang memuat kelengkapan Indonesia dengan segala isinya. Itulah keputusan penting rapat Yayasan Harapan Kita (YHK).

"Miniatur ini diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan rasa cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia," kata Tien Soeharto dalam buku Apa dan Siapa Indonesia Indah, diterbitkan YHK, tahun 1975.

Dari situlah dimulai sebuah proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", dilaksanakan Yayasan Harapan Kita. Proyek itu dinamakan Taman Mini Indonesia Indah disingkat TMII. Mulai dibangun tahun 1972 di Kelurahan Bambu Apus, Kelurahan Ceger, Kelurahan Dukuh, dan Kelurahan Lubang Buaya. Termasuk dalam Kecamatan Pasar Rebo dan Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Proyek monumental seluas 100 hektare itu diresmikan 20 April 1975.

photo
Pengunjung menaiki kereta gantung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ahad (20/11/2022). - (Republika/Putra M. Akbar)

Paradoks

Muluskah pembangunan proyek mercusuar era pemerintahan Presiden Soeharto? Ternyata tidak.

Pada akhir tahun 1971, Ibu Negara Tien Soeharto mengumumkan secara resmi rencana pembangunan Miniatur Indonesia Indah (MII). Taman besar mewakili kebudayaan dari 26 provinsi di Indonesia.

Saat itu Indonesia baru memiliki 26 provinsi dari Aceh hingga Irian Jaya. Tien Soeharto memperkirakan pembangunan MII akan menelan biaya Rp 10,5 miliar.

Nilai menakjubkan kala itu. Rencana tersebut paradoks. Bertolak belakang dengan pengumuman Jenderal Soeharto selaku Presiden Indonesia. Sang presiden justru meminta masyarakat hidup prihatin. "Jangan melakukan pemborosan-pemborosan, karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin," kata jenderal bintang empat aktif tersebut.

photo
Siaran langsung dari Istana Merdeka, pengumuman nama-nama yang terpilih menduduki jabatan di Kabinet Pembangunan VI oleh Presiden Soeharto di Jakarta, 17 Maret 1993. Ali Said/Republika - (DOKREP)
 

Pernyataan itu tertuang dalam buletin Mahasiswa Indonesia, 5 Desember 1971. Soeharto juga mengingatkan rencana pembangunan hendaknya berlandas pada skala prioritas.

"Marilah kita menggunakan dana dan kemampuan yang kita miliki sekarang hanya bagi usaha-usaha yang perlu dalam rangka mencapai kemajuan," lanjut Soeharto.

Sejumlah aktivis mahasiswa menganggap rencana pembangunan MII berkontradiksi dengan anjuran hidup prihatin. Mereka menuding pembangunan MII sebagai proyek mercusuar. Sama dengan sejumlah proyek mercusuar era Presiden Sukarno. Orde Baru pun disamakan dengan Orde Lama. Memboroskan uang negara ketika rakyat kesulitan ekonomi.

Suara menentang berasal dari kelompok mahasiswa di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Mereka menganggap MII sebagai penghamburan yang harus ditolak masyarakat. Para aktivis mahasiswa di Bandung dan Jakarta mengejek pemerintah dengan membuat berbagai gerakan aksi dengan nama-nama lelucon.

"Misalnya: Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat," ungkap Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia. Aktivis mahasiswa semakin berani melakukan penolakan pembangunan MII melalui diskusi dan demonstrasi.

Gerakan Penghematan (Gepeng) mendatangi kantor pemerintah. Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menyambangi sekretariat YHK. Sekaligus membentangkan spanduk "Sekretariat Pemborosan Uang Negara" pada 23 Desember 1971.

photo
Sejumlah pengunjung menggunakan kereta gantung untuk melihat lanskap pulau Indonesia di TMII, Jakarta, Sabtu (17/12/2022). - (ANTARA FOTO/Darryl Ramadhan)

Represif

Aksi para mahasiswa itu dibalas sekelompok orang sambil membawa senjata tajam. Mereka menyerang mahasiswa dengan aksi Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Seorang mahasiswa jatuh dibacok. Suara tembakan senjata api pun menyalak. Kaca sekretariat YHK pecah. Satu lagi mahasiswa menjadi korban. Timah panas bersarang di pahanya.

Gelombang aksi protes para mahasiswa pun semakin banyak. Mereka tidak terima dengan tindakan represif dari kelompok pembela MII. Organisasi ekstra mahasiswa akhirnya turun, yakni: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Empat organisasi mahasiswa itu menuntut polisi mengusut penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Juga meminta pemerintah meninjau ulang proyek mercusuar MII.

Dengan berani, aktivis mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bergerak ke kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, pada 27 Desember 1971. Mereka meminta dialog dengan Ibu Negara dan Presiden Jenderal Soeharto. Tetapi, keinginan mereka tak terwujud. Pasukan pengawal presiden berjanji meneruskan aspirasi mahasiswa kepada Presiden dan Ibu Negara.

photo
Pengunjung bersepeda di area Teater Keong Mas di TMII, Jakarta, Ahad (20/11/2022). - (Republika/Putra M. Akbar)

The Evening Star, surat kabar di Washington AS, menyorot keterlibatan batalion Zeni TNI AD dalam pembangunan MII. "Pasukan Zeni seharusnya bekerja untuk negara, seperti operasi karya seperti pembangunan gedung, jalan, dan jembatan. Tapi kini, pasukan Zeni menjadi sukarelawan merambah proyek MII," demikian catat The Evening Star, 3 Januari 1972, seperti diulas buletin Mahasiswa Indonesia, 16 Januari 1972.

Wartawan-wartawan asing memberitakan hal tersebut setelah meliput sejumlah aksi mahasiswa di Jakarta dan Bandung. Kemudian melihat proyek pembangunan MII di timur Jakarta yang melibatkan personel TNI. Beritanya dimuat di sejumlah media mancanegara.

GAS, salah satu gerakan ad hoc penentang MII di Bandung, membuat diskusi besar-besaran. Menghadirkan pembicara dari kalangan teknokrat, birokrat, pemimpin redaksi media massa, dan intelektual. Alhasil, diskusi-diskusi itu menjadi pemantik semakin besarnya gerakan mahasiswa menentang MII.

Bahkan menghadirkan kalangan seniman dan intelektual seperti WS Rendra, Arief Budiman, HJC Princen (Poncke), dan Mochtar Lubis. "Taufan protes-protes terhadap proyek mini Indonesia telah berhembus ke segenap penjuru tanah air kita," tulis Mochtar Lubis di Indonesia Raya, 13 Januari 1972, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis Seri 1.

photo
Kegiatan Presiden Soeharto - Transmigrasi Bengkulu 23 Maret 1982. Sekretariat Negara - (DOKREP)

Murka

Aksi-aksi jalanan dan diskusi gerakan penentang MII akhirnya mendapat tanggapan dari Presiden Soeharto. Jenderal bintang empat aktif itu menilai aksi mahasiswa tidak substansial, agresif, dan sudah di luar batas. Soeharto menuding ada "Mister X" yang punya tujuan lain di balik protes terhadap pembangunan MII yang digagas istrinya itu.

"Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan itu sebagai satu isu politik. Mereka mencari kesempatan untuk bisa mengganggu kestabilan nasional," kata Soeharto pada 6 Januari 1972, dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Ia memperingatkan gerakan mahasiswa penentang MII agar tidak berperilaku di luar batas. "The Smiling General" itu pun akhirnya marah. Dia berjanji akan menghantam gerakan itu jika berniat menggulingkan kekuasaannya.

"Yang memakan kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum, demi kepentingan negara dan bangsa, saya akan gunakan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966)," kata Soeharto, dikutip buletin Mahasiswa Indonesia, 9 Januari 1972.

 
Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum, demi kepentingan negara dan bangsa, saya akan gunakan Supersemar.
SOEHARTO, Presiden Kedua RI
 

Pertengahan Januari 1972, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro membuat pengumuman. Melarang semua aktivitas gerakan anti-pembangunan MII. Kopkamtib juga menahan beberapa aktivis penentang MII seperti Arief Budiman dan Poncke (HJC Princen).

"Kenapa dilarang, alasannya adalah karena katanya mereka-mereka itu dengan nyata telah melakukan kegiatan-kegiatan yang dinilai sebagai ancaman serius bagi keamanan dan ketertiban umum, demokrasi menurut UUD '45 serta wibawa pemerintah dan stabilitas pemerintah," tulis Mahasiswa Indonesia, 23 Januari 1972. Itulah bentuk ancaman Soeharto yang dijalankan Kopkamtib.

Akhirnya para mahasiswa penentang proyek MII menyalurkan aspirasinya ke gedung DPR. Mereka meminta anggota parlemen membahas rencana pembangunan MII yang kontroversial di tengah kesulitan ekonomi masyarakat.

Disadur dari Harian Republika Edisi Jumat, 20 Maret 2020.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Menziarahi Tikrit

Puisi Imam Khoironi

SELENGKAPNYA

Sisa Kota Kuno Majapahit

Inilah satu-satunya situs perkotaan masa klasik di Indonesia.

SELENGKAPNYA

Mencari Titik Asal Air Amerta

Proses ekskavasi di Trowulan merupakan pengalaman yang unik.

SELENGKAPNYA