Persahabatan (ilustrasi) | Unsplash/Andrew Moca

Geni

Menjaga Diri dari Pertemanan tak Sehat

Lingkaran pertemanan yang tidak sehat bisa menjerat para remaja.

Lingkaran pertemanan yang tidak sehat bisa menjerat para remaja. Salah satu contoh kasusnya, yakni aksi kekerasan yang baru-baru ini terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, di mana seorang pemuda mencekoki teman-temannya untuk menenggak minuman keras (miras) oplosan.

Dalam video yang beredar dan menjadi viral, tampak seorang pemuda yang diduga pelaku menghajar remaja lain di sebuah kamar indekos. Dia berulang kali memukul dan menendang meski korban sudah meminta ampun. Akibat insiden miras oplosan itu, tiga remaja tewas dan dua orang dirawat di rumah sakit.

Psikiater dr Lahargo Kembaren SpKJ menyarankan para remaja untuk segera melakukan identifikasi jika merasa berada di sebuah pertemanan yang tidak sehat atau pertemanan toksik seperti itu. Misalnya, jika saat berteman dengan seseorang, muncul rasa tertekan, takut, cemas, dan sedih.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Lahargo Kembaren (@lahargo_kembaren)

"Setelah mengidentifikasi, perlu setting boundaries, buat batasan-batasan. Ini perlu dilakukan agar tidak terkena dampak dari pertemanan toksik," kata Lahargo saat dihubungi Republika, Kamis (2/3/2023).

Kepala instalasi rehabilitasi psikososial RS Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor itu menyebutkan sejumlah batasan yang bisa dilakukan. Batasi diri tidak bertemu secara fisik dengan yang bersangkutan, batasi waktu perjumpaan, serta menetapkan batasan secara emosional.

Membatasi diri secara emosional menerapkan teknik "observe but don't absorb" atau mengamati tapi tidak menyerap. Artinya, tetap bertemu dan mengobservasi perilaku, tapi apa pun yang dilakukan orang itu tidak "diserap", tidak perlu memengaruhi dan jadi beban pikiran.

Bekali dengan Life Skill

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Lahargo Kembaren (@lahargo_kembaren)

Untuk menghadapi berbagai permasalahan hidup dan dinamika relasi, Lahargo berpendapat, setiap anak dan remaja perlu belajar life skill atau keterampilan hidup. Dia menyampaikan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menerbitkan modul tentang itu.

Isinya termasuk teknik menghadapi tekanan dalam kelompok pertemanan, resolusi konflik, meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri, serta banyak hal penting lain. Keterampilan hidup juga bisa diajarkan orang tua, sekolah, lembaga keagamaan, pramuka, dan lainnya. "Kegiatan seperti latihan dasar kepemimpinan perlu diperbanyak agar anak-anak zaman sekarang punya life skill," ujar Lahargo.

Orang tua pun perlu menerapkan gaya pengasuhan yang baik. Lahargo menyebutkan, ada banyak jenis gaya pengasuhan. Bisa jadi sebagian orang tua masih otoriter, yakni mengharuskan anak patuh 100 persen terhadap ucapan dan perintah orang tua. Menurut Lahargo, gaya pengasuhan ini kurang begitu sehat karena anak menjadi tertekan sekaligus pada akhirnya bisa membuat anak memberontak.

Gaya pengasuhan lain adalah permisif, yakni seluruh keinginan anak dipenuhi. Ini juga kurang baik karena anak tidak pernah berjuang meraih sesuatu. Dengan kondisi mudah dan segala sesuatunya selalu terpenuhi dapat memicu anak menggunakan agresivitas ketika ada yang tidak sesuai keinginannya. "Pola asuh adalah seni, bagaimana orang tua mengenal anak, bagaimana menjadi mitra, sahabat, dan teman bagi anak dalam berkembang dan bertumbuh," ujar Lahargo.

photo
Hubungan orang tua dan anak (ilustrasi) - (Unsplash/Julian H)

Ketiga adalah pola asuh neglected atau pengabaian. Orang tua seolah sudah memenuhi kebutuhan anak secara material dan finansial, termasuk pendidikan dan kebutuhan lain. Namun, relasi emosional anak dan orang tua diabaikan dan tidak terjalin baik. Anak tidak punya teladan bagaimana cara bersikap.

Terakhir adalah pola asuh authoritative, ketika orang tua berperan sebagai partner dan teman baik yang mendorong perkembangan anak. Ketika anak menghadapi masalah, orang tua hadir. Ketika anak meraih sesuatu pencapaian, ada apresiasi yang diberikan. Menurut Lahargo, pola asuh ini yang paling baik.

Akan tetapi, setiap gaya pengasuhan bisa saja pernah diterapkan orang tua pada anaknya sesekali dan itu bukan masalah. Sikap orang tua terhadap berbagai kondisi anak juga bisa disandarkan pada kebutuhan anak masing-masing. 

 

 
Pola asuh adalah seni. 
LAHARGO KEMBAREN SPKJ, Psikiater
 
 

 

Mencari HPP Gabah yang Berkeadilan

Badan Pangan telah menampung masukan dari berbagai pihak.

SELENGKAPNYA

Solusi Insecure Akibat Konten Flexing

Orang yang sudah mencapai tahap aktualisasi diri cenderung tak akan terpengaruh oleh konten flexing.

SELENGKAPNYA

Khawarij dan Sikap Berlebihan

Sikap berlebihan akan mengakibatkan kehancuran.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya