Asma Nadia | Republika

Resonansi

Child Free dan Depopulasi

Persoalan depopulasi kian serius karena di kalangan muda ada tren child free.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Sekitar sembilan juta properti tidak berpenghuni di Jepang, sebagian merupakan aset para orang tua yang tidak punya keturunan. Dalam sepuluh tahun terakhir, lebih dari 10 ribu sekolah di sana pun ditutup karena tidak memiliki murid.

Jepang adalah salah satu negara yang menghadapi masalah depopulasi karena jumlah penduduk yang meninggal lebih banyak daripada jumlah anak yang lahir.

Badan Pusat Statistik Jepang mengungkap, pada 2020, terdapat 840.832 kelahiran di Jepang dan 1.384.544 kematian. Bila dibandingkan, jelas sekali terlihat lebih banyak jumlah kematian daripada kelahiran dalam satu tahun.

 
Jepang adalah salah satu negara yang menghadapi masalah depopulasi karena jumlah penduduk yang meninggal lebih banyak daripada jumlah anak yang lahir.
 
 

 

Negeri Matahari Terbit itu tidak sendirian. Negara-negara lain di dunia juga menghadapi risiko penurunan jumlah penduduk.

Menurut data Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan Korea Selatan, pada 2020, jumlah kelahiran turun 10,8 persen menjadi 272.400 bayi, sementara jumlah kematian naik 3,1 persen menjadi 305.100.

Sementara Singapura, versi data dari Bank Dunia, memiliki angka fertility rate terendah di dunia pada 2020 yaitu sekitar 0,82 anak per wanita. Hal serupa terjadi di Korea Selatan. Fertility rate mereka juga sangat kecil, sekitar 1,05 anak per wanita.

Jepang juga memiliki angka yang rendah, dengan sekitar 1,34 anak per wanita. Sedangkan Italia kisarannya 1,24 anak per wanita dan Spanyol dengan hanya 1,22 anak per wanita. Yunani memiliki angka fertility rate sekitar 1,29 anak per wanita pada 2020.

Dengan kata lain, sebagian besar pasangan menikah memilih mempunyai satu anak saja. Bahkan Cina yang dulu membatasi anak hanya boleh satu, kini justru menghadapi masalah depopulasi. Jika tidak ada perubahan berarti, di masa depan jumlah penduduk Cina bisa tersusul India.

 
Jika tidak ada perubahan berarti, di masa depan jumlah penduduk Cina bisa tersusul India.
 
 

 

Persoalan depopulasi ini semakin serius sebab di kalangan muda kini terdapat tren child free. Istilah yang dipakai untuk menggambarkan orang yang memilih tanpa anak, baik secara sengaja maupun tidak.

American Community Survey pada 2020 menemukan, sekitar 15,3 persen dari populasi AS berusia 18-44 tahun mengatakan mereka tidak memiliki anak.

Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal PLOS ONE menunjukkan, wanita dengan tingkat pendidikan serta pendapatan lebih tinggi, dan pekerjaan yang membutuhkan fokus karier, cenderung memutuskan untuk tidak mempunyai keturunan.

Berdasarkan studi dari Urban Institute, pertimbangan biaya menjadi salah satu faktor sebagian masyarakat bertahan tanpa momongan.

Survei Pew Research Center menunjukkan, mereka yang berusia 18-49 tahun umumnya memilih tidak memiliki anak jika merasa akan sangat stres dan kesulitan dalam mengimbangi pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.

Sekelompok orang yang dikategorikan "child free by choice" secara sadar memilih tidak memiliki anak karena ingin menghabiskan waktu, energi, dan sumber dayanya untuk hal-hal lain dalam hidup mereka, seperti karier, hobi, atau relasi sosial.

Bagaimana dengan situasi di Tanah Air? Sekalipun secara nasional angka fertility rate masih cukup tinggi, 2,36 anak per wanita tetapi Indonesia tidak berarti bebas dari tren ini. Khususnya di kota-kota besar, ditemukan kecenderungan lebih rendah angkanya.

Contoh, Jakarta, kisaran fertility rate 1,48 anak per wanita, Yogyakarta 1,53 anak per wanita, Sumatra Barat 1,75 anak per wanita, Bali 1,72 anak per wanita, dan Riau 1,80 anak per wanita.

Barangkali yang turut disayangkan, sebenarnya fenomena tantangan besar atas masalah populasi ini, yaitu persoalan kualitas dan kuantitas. Banyak penduduk yang terpelajar dan mapan akhirnya memilih untuk tidak punya anak banyak.

 
Di Singapura, orang pintar dan potensial justru dianjurkan punya anak banyak.
 
 

Di Singapura, orang pintar dan potensial justru dianjurkan punya anak banyak. Namun kelompok ini malah termasuk yang enggan punya banyak keturunan.

Di sisi lain, penduduk dengan penghasilan rendah, tidak berpendidikan tinggi dan tidak mendidik anak dengan baik, cenderung memiliki banyak anak.

Penduduk banyak adalah berkah sepanjang tidak menjadi beban. Jika semakin banyak mulut yang harus disuapi tapi kelompok yang dihadirkan tidak terbentuk menjadi generasi berkualitas yang produktif maka keberadaan yang seharusnya meringankan dan menambah daya juang, malah menjelma beban tak terkatakan yang menghambat gerak kemajuan.

Kisah Hijrah Eks LGBT, Berjuang Kembali ke Fitrah

Karim juga memutus seluruh komunikasinya dengan teman-temannya sesama gay.

SELENGKAPNYA

Kegiatan Pasar Berbasis Kegiatan Masjid

Masjid dan pasar adalah dua tempat yang banyak dikunjungi orang.

SELENGKAPNYA

Shalat Itu Hebat

Shalat hebat itu merupakan proses revolusi mental spiritual, moral, dan sosial.

SELENGKAPNYA