Dosen Pendidikan Agama Islam UAD, Ustaz Lailan Arqam. | DOK IST

Hiwar

Takwa Dalam Perspektif Alquran

Dalam Alquran, terdapat 245 kali kata takwa disebut dengan segala derivasinya.

“Hiduplah sesukamu, tetapi ketahuilah bahwa pada akhirnya engkau akan mati.” Itulah salah satu nasihat Malaikat Jibril dalam sebuah hadis. Petuah itu mengisyaratkan, setiap insan semestinya menyadari keterbatasan diri sehingga mengutamakan hal yang memang sepatutnya prioritas, tujuan penciptaannya. “Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS az-Zariyat: 56).

Dalam ajaran Islam, ibadah tidak hanyad diwujudkan melalui ritual (mahdhah) yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga praksis di seluruh aspek kehidupan. Karena itu, esensi ibadah tidak terlepas dari pengertian takwa.

Menurut dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Lailan Arqam, ada banyak ayat dalam Alquran yang menerangkan karakteristik tersebut.

“Kalau kita rujuk dari ayat-ayat Alquran, tampak ciri-ciri orang yang bertakwa,” ujar pria kelahiran Medan, Sumatra Utara, itu.

Bagaimana definisi takwa? Seperti apa petunjuk Alquran untuk kaum Muslimin agar mereka bertakwa? Apakah kesalehan itu dapat dilihat dari, seumpama, seberapa banyak seseorang beribadah?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan itu, berikut ini wawancara wartawan Republika, Muhyiddin dengan alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatra Utara tersebut beberapa waktu lalu.

Seperti apakah definisi dan fungsi takwa?

Secara umum. takwa dapat didefinisikan sebagai "menjalankan segala hal yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya." Kalau secara bahasa, kata takwa itu berasal dari bentuk waqa–yaqi–wiqayah ( وَقَى- يَقِى- وِقَايَة ), yang berarti 'takut', 'menjaga', 'memelihara', atau 'melindungi'.

Istilah-istilah itu mencerminkan hakikat dari sebuah objek yang disampaikan. Sama halnya ketika membahas takwa. Ketika kita merujuk pada terminologinya, maka fungsi dari takwa itu akan tampak.

Apakah fungsinya?

Takwa bisa diartikan sebagai takut, menjaga, memelihara, dan melindungi. Namun, takut dalam hal ini berbeda dengan khauf. Takut dalam konteks takwa adalah, misalnya, kita takut pada azab Allah. Dengan demikian, ketakutan itu akan membuat kita tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak diridhai-Nya.

Dari sini, takwa dapat diartikan sebagai sebuah bentuk kehati-hatian, yakni menjaga dan memelihara diri yakni dari pelagai perbuatan yang dikuasai nafsu, syahwat, syirik, dan segala hallain mendatangkan azab Allah, baik di dunia maupun akhirat.

Itulah makna dan juga fungsi dari takwa. Lebih lanjut, seorang muttaqin atau orang yang bertakwa juga mempunyai kemampuan untuk memisahkan mana yang hak (benar) dan mana yang batil menurut ajaran Islam.

Jadi, pada hakikatnya orang-orang yang bertakwa itu bisa menjaga diri dari azab Allah. Mereka pun punya pandangan atau kesadaran tinggi dalam memahami segala sesuatu yang dapat menimbulkan azab dari-Nya. Maka, fungsi takwa itu menjadi komando bagi diri seorang Muslim untuk menjauhi hal-hal yang buruk.

Bagaimana Alquran memberikan petunjuk tentang ciri-ciri orang yang bertakwa?

Sebenarnya banyak ayat Alquran yang berbicara tentang takwa. Kalau para ahli tafsir mengatakan, term takwa dengan segala derivasinya disebut lebih dari 200 kali dalam Alquran. Itu mulai dari surah al-Baqarah ayat 34 dan ayat 177; Ali Imran ayat 133; Luqman ayat 33; al-Hadid ayat 28; dan banyak lagi.

Kalau kita merujuk pada ayat-ayat Alquran tersebut, juga tampak ciri-ciri orang yang bertakwa. Di antaranya adalah, keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Keselarasan antara dunia dan akhirat. Orang bertakwa juga mendatangkan kebaikan untuk dirinya, orang lain, maupun alam semesta.

Jadi, kalau sesuatu itu dipegang oleh orang yang bertakwa, insya Allah semua pasti akan mendatangkan kebaikan. Orang yang bertakwa itu tenang. Lisannya juga mengeluarkan sesuatu yang menyenangkan.

Orang yang bertakwa tidak hanya kaya akan pengamalan ibadah yang bersifat mahdhah, seperti puasa atau shalat. Ibadah ghairu mahdhah juga baik. Jadi, takwa itu dipahami secara vertikal maupun horizontal. Orang tidak hanya sibuk dengan shalatnya, tetapi juga peka terhadap lingkungannya.

Apakah takwa juga bersifat fluktuatif dalam diri seorang Muslim?

Kita sering mendengar perkataan, "Al-imanu yazidu wa yanqush." Iman itu naik-turun. Nah, kandungan takwa itu adalah iman. Pola keimanan memang fluktuatif sehingga takwa juga punya pola yang sama.

Kalau kita belajar kepada ulama-ulama di Indonesia, itu kan ada senandung Tombo Ati. Itu bisa dijadikan rujukan dalam mengatasi fluktiatifnya iman dan takwa.

Dalam lagu itu, kita diingatkan agar rajin membaca dan memahami Alquran. Kemudian, melakukan shalat malam, berpuasa, berkumpul dengan orang-orang saleh, serta memperbanyak zikir. Itu semua termasuk cara dalam menjaga konsistensi ketakwaan.

Apa saja tuntunan Rasulullah SAW mengenai pentingnya menjaga ketakwaan?

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga adalah takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik." Dalam hadis yang lain, beliau juga berpesan, "Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada."

Jadi, takwa harus dilakukan setiap waktu dan tempat. Takwa juga menjadi kriteria kita bisa masuk surga, dengan rahmat dan ridha Allah. Maka, bertakwa mendatangkan kebaikan-kebaikan, baik di dunia maupun akhirat.

Rasulullah SAW mengajarkan kita agar takwa itu dilakukan dalam setiap situasi dan perlu dirawat. Dan memang kalau dalam hadis, takwa itu selalu dimotivasi dengan mendapatkan kebahagiaan akhirat. Jadi, orang yang bertakwa akan masuk surga. Motivasi lainnya, mendatangkan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Apakah orang yang rajin beribadah mahdhah secara otomatis bertakwa secara keseluruhan?

Pertanyaan seperti ini memang agak menggelisahkan. Sebab, memang realitasnya suka timpang. Kadang, ada orang yang sangat rajin beribadah, seperti shalat dan puasa, tetapi hubungan sosialnya sangat lemah.

Menurut konsep takwa dalam Islam, sejatinya bertakwa adalah sebuah proses yang dilakukan secara totalitas dan berkelanjutan. Kalau orang sudah bertakwa, otomatis ia akan menjadi baik. Jadi, tidak ada istilahnya orang yang saleh, tetapi (kepekaan) sosialnya kurang.

Mungkin, dualisme semisal itu muncul karena kita masih dipengaruhi cara pandang ala Barat. Sehingga, dikotomi-dikotomi itu tampak. Bahkan, kita sering mendengar, ada orang yang cerdas secara IQ (Intelligence Quotient/kecerdasan intelektual), tetapi secara sosial ia lemah. Nah, dalam konsepsi Islam, tidak ada itu (pembedaan).

Orang yang disebut baik itu secara menyeluruh. Sebab, di dalam Islam tidak ada pemisahan. Orang kalau sudah berbuat baik bagi dirinya, pasti baik untuk orang lain; pasti baik untuk alam; dan pasti baik untuk urusan dunia dan akhiratnya.

Maka, takwa adalah proses yang harus dilakoni secara totalitas dan berkelanjutan. Totalitas di sini adalah bahwa pikiran, hati, perkataan dan perilaku seorang Mukmin sejalan dengan apa yang diajarkan dalam Islam.

Totalitas itu tidak penting dalam melihat takwa?

Ya, muttaqin yang diprofilkan oleh Alquran itu selalu berdimensi utuh. Maka, sosialnya baik, bersih hatinya, jernih pikirannya, selalu semangat dalam kebaikan dan beramal. Itulah takwa yang ideal dan tentu akan mendatangkan kebaikan.

Kalau ada seseorang yang justru melakukan hal-hal yang destruktif atau mendatangkan permusuhan, sebenarnya harus dikoreksis sejauh mana upaya takwa dia itu.

Terakhir, bagaimana menanamkan nilai-nilai ketakwaan pada diri anak-anak?

Orang dewasa saja untuk menuju takwa itu harus sering ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan, apalagi pada diri anak-anak. Anak-anak kan dari fitrah. Tapi, karena fitrahnya itu suci, maka sebenarnya kita lebih mudah untuk melatih mereka menuju takwa.

Hal-hal yang mendasar adalah kita harus sering berdialog tentang iman kepada anak, seperti memperkenalkan Tuhan, agama, dan ibadah dalam Islam. Kita juga bisa membiasakan diri mereka untuk ibadah, misalnya rajin ke masjid, sedini mungkin. Sehingga anak-anak itu paham akan simbol-simbol dan pengamalan yang menuju pada ketakwaan.

Jadi memang untuk menumbuhkan nilai-nilai takwa pada diri anak ini memang harus by design, dan menurut saya harus ada kesadaran dari orang tuanya. Mulai dari memilih tempat tinggalnya, sekolahnya, gurunya, mencermati temannya, apa yang dibaca, dan apa yang dia dengar.

Yang jelas kita harus memperbanyak interkasi yang baik, karena itu sangat penting untuk menumbuhkan nilai-nilai ketakwaan pada anak-anak kita.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Alquran, Umat Islam, dan Persaudaraan Universal (I)

Alquran punya pandangan dunia tertentu yang utuh komprehensif.

SELENGKAPNYA

Diketok, Biaya Haji yang Ditanggung Jamaah Naik Rp 10 Juta

Kewajiban jamaah untuk dibayarkan atau Bipih perjamaah Rp 49.812.700,26.

SELENGKAPNYA

Takut dan Ketaatan kepada Allah

Orang yang makin mengenal Allah SWT maka akan makin besar takutnya.

SELENGKAPNYA