Pedagang menyiapkan pesanan bunga di Pasar Rawa Belong, Jakarta, Ahad (12/2/2023). Jelang Hari Valentine, permintaan buket bunga mengalami peningkatan hingga 50 persen. | Republika/Prayogi.

Kronik

Hari Valentine, Meniru-isme dan Fast Food

Bagaimana Valentine's Day di mata cendekiawan Katolik dan Islam.

Happy Valentine. Huruf-huruf besar dalam warna pink itu -- lengkap dengan sekeping atau berkeping-keping jantung berwarna pink pula -- menggoda mata siapa saja yang hari-hari ini berkunjung ke departement store, hotel, restoran atau diskotik kota-kota besar. Sejumlah programa radio dan video-clip televisi turut menggabungkan ajakan merayakan Valentine's Day (14 Februari) lebih kental lagi -- khususnya kepada kaum remaja.

Seperti layaknya Natal atau Lebaran, toserba-toserba menjanjikan diskon; hotel dan restoran menawarkan layanan dan menu spesial (dengan harga spesial melangitnya pula); radio menyajikan acara musik khusus, televisi memutar film dengan tema yang disesuaikan; dan majalah-majalah remaja membeberkan kiat (untuk kali ini) berkencan serta memikat pasangan. Valentine's Day tidak hanya kian pekat beraroma bisnis dan kian banyak pengikut. Melainkan juga: memunculkan kontroversi.

Sejumlah surat yang mampir ke redaksi Republika punya nada keberatan yang serius pada perayaan ini, dengan menyebutnya tak lebih sebagai tradisi Barat yang konsumtif, asing dan "liar". Beberapa yang lain membela, dengan setengah bertanya: kenapa menyatakan kasih sayang -- sesuatu yang bisa bermakna luhur -- kok diharamkan?

Namun, sebelum melanjutkan kontroversi itu, orang mungkin bertanya: bagaimana dan di mana tradisi Valentine's Day sebenarnya berakar? Pertanyaan lain: benarkah Hari Kasih Sayang itu berkaitan dengan aspek tertentu dari suatu agama, artinya itu merupakan hari perayaan yang bersifat religius?

photo
Lukisan Santo Valentinus dari Roma. - (Public Domain)

"Tidak benar bila orang mengatakan bahwa tradisi hari kasih sayang atau Valentine's Day ini berawal dari kisah Santo Valentinus," kata Romo Dick Hartoko, pastur dari pemimpin Majalah Budaya Basis di Yogyakarta. "Hari Valentine tak ada sangkut pautnya dengan hari keagamaan umat Katolik maupun Kristen," tambahnya.

Siapapun tampaknya memang mudah merancukan Valentine's Day dengan kisah tentang Santo Valentinus. Dalam literatur Katolik, tersebut kisah tentang seorang santo yang dibunuh oleh Kaisar Romawi Claudius II Gothicus pada Abad ke-3 Masehi. Orang suci penyebar agama Kristen itu dipenggal kepalanya pada tanggal 14 Februari dan dia bernama Valentinus.

Namun, banyak literatur belakangan seperti "kehilangan jejak" menjelaskan kaitan antara Valentine's Day dengan Sang Santo tadi. Baik Encyclopedia Britannica maupun Encyclopedia Americana menegaskan tiadanya kaitan antara keduanya -- kendati Americana menyebut Santo Valentinus sebagai santo Kasih Sayang (suatu hal yang dibantah oleh Dick Hartoko).

"Folklore atau kebiasaan merayakan Valentine's Day yang kita saksikan sekarang pertama kali diadakan pada Abad Pertengahan di beberapa daerah Eropa misalnya: Prancis Selatan, Swiss Utara, Italia Utara," kata Romo Hartoko.

"Dan itu kemudian merupakan kebiasaan anak-anak remaja pada musim semi, di mana mereka melakukan kencan dan saling bertukar hadiah," kata dia.

photo
Ilustrasi mosaik Lupercalia alias perayaan Februata Juno. - (Wikimedia Commons/Ad Meskens)

Valentine's Day yang kita kenal sekarang mungkin tidak berasal dari Abad Pertengahan, artinya lebih awal, namun memang tidak ada kaitannya dengan peringatan terhadap Santo Valentinus. Perayaan ini berasal dari tradisi Romawi Kuno Februata Juno yang jatuh pada tanggal 15 Februari dan dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap Juno of Romeo, permaisuri Dewa Yupiter.

Di Roma kala itu, tanggal ini dimanfaatkan oleh para jejaka untuk menulis surat cinta kepada gadis yang ditaksirnya.

Ketika akhirnya Roma menjadi pusat agama Kristen, perayaan Februata Juno tetap bertahan. Tapi, beberapa pendeta Agama Katolik memprotes dan menganggapnya sebagai upacara menyembah dewa-dewa. Jalan tengah kemudian ditemukan: Februata Juno dirayakan pada 14 Februari sekaligus memperingati syahidnya pahlawan Kristen itu.

Valentine's Day seringkali juga dilegitimasikan oleh cerita rakyat yang berkembang belakangan. Hari ini dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada seorang bijak yang bernama Valentino. Adalah Valentino yang berjasa memuluskan perkawinan antara pemuda tampan Luciano dan dara jelita Julietta -- perkawinan yang tadinya tidak disetujui oleh orangtua Julietta. Entah kapan dan dari mana asal muasal cerita ini.

Bagaimanapun, bukan mustahil cerita-cerita seperti ini memang dihidupkan untuk berbagai maksud -- salah satunya yang paling menonjol adalah maksud bisnis seperti yang kental kita lihat dewasa ini.

"Perayaan Valentine yang begitu umum dirayakan di beberapa negara di Eropa itu khusus dipromosikan oleh toko-toko bunga dengan pesan: katakan cintamu dengan bunga" kata Romo Hartoko.

photo
Pedagang menyiapkan pesanan bunga di Pasar Rawa Belong, Jakarta, Ahad (12/2/2023). Jelang Hari Valentine, permintaan buket bunga mengalami peningkatan hingga 50 persen. - (Republika/Prayogi)

Tidak hanya pedagang bunga yang diuntungkan. Tapi, juga pembuat kartu ucapan. Kata valentine itu sendiri, dalam beberapa kamus, kini merupakan padan kata dari "katu ucapan berpesan cinta".

Kartu-kartu seperti ini sudah ada sejak Abad ke-16 di Eropa dan adalah Hallmark -- produsen kartu ucapan terkemuka dunia dari Amerika -- yang kian mempopulerkannya. Salah satu valentine tertua buatan Hallmark dibuat pada tahun 1800.

Adalah dari Amerika nampaknya sejumlah negara termasuk Indonesia mengimpor tradisi Valentine's Day yang gempita seperti yang kita kenal sekarang. "Hari seperti itu tidak dikenal di Negeri Belanda dan Jerman," kata Frans Magnis Suseno, cendekiawan Katolik. Menularnya tradisi itu ke Amerika, menurut Frans Magnis, dibawa oleh pastor-pastor Irlandia.

Dan kita kembali kepada kontroversi tentang manfaat dan mudharat perayaan Valentine's Day tadi. Frans Magnis menentang perayaan itu karena hal ini tak ubahnya sama seperti latahnya orang Indonesia pada makanan fast food ala Amerika. "Ini perilaku elite yang ingin serba luar negeri dalam kehidupannya," ujarnya.

"Mengapa mesti ikut-ikutan budaya orang Amerika kalau ada budaya sendiri yang lebih baik. Carilah budaya yang lebih mengakar pada masyarakat," kata dia.

Persis dengan Frans Magnis adalah komentar Nurcholis Madjid. Seraya menambahkan, bahwa "gejala latah dan kecenderungan meniru-isme itu sudah terlalu gawat bila dibiarkan begitu saja."

Komentar lebih netral datang dari Bakdi Sumanto, budayawan dan Dosen Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta. "Di Amerika perayaan Valentine's Day justru lebih bersifat kanak-kanak dan remaja. Di Indonesia, perayaan Valentine's Day ini sama sekali tidak penting. Dan, memang tak layak untuk dipentingkan," kata Bakdi yang mengaku kenal pertama kali dengan perayaan Valentine ketika berada di Amerika tahun 1986-1988.

Namun, tambah Bakdi, "Saya bukannya tak setuju dengan perayaan Valentine's Day." Dia hanya menyayangkan bahwa pengertian kasih sayang yang sebaiknya universal menjadi begitu sempit maknanya menjadi cinta remaja pada perayaan itu.

photo
Perayan Valentine pada abad ke-19 dimuat pada The Illustrated London News. - (The Illustrated London News)

Bagaimanapun, Bakdi mencoba memahami kenapa perayaan seperti ini digemari remaja. "Remaja mungkin saja menyukai perayaan Valentine's Day, seperti juga mereka suka perayaan Natal, Tahun Baru, maupun Lebaran," katanya.

"Mereka itu kan butuh suasana yang membebaskan, to get together, dan hura-hura, untuk sehari itu saja," tambahnya.

Logikanya: makin banyak kekangan, makin besar hasrat mereka untuk menemukan "hari yang membebaskan" itu.

Nurcholis, seperti juga Romo Dick Hartoko, cenderung melihat perayaan ini lebih banyak mudharatnya. "Anak-anak saya tidak akan melakukan perayaan seperti itu karena selama enam tahun mereka sudah paham akan buruknya dampak perayaan," kata Nurcholis yang pernah mukim di Amerika beserta keluarga. "Kalaupun ya, saya akan melarang mereka," tambahnya.

Disadur dari Harian Republika edisi 14 Februari 1993 dengan reporter Muryanti, Muarif, Dino M, Musida, Achmad Syafii, dan Neni Ridarineni.

Batal Belanja Sayuran Demi Beras Murah

Pengendalian harga beras sedang menjadi fokus pemerintah daerah.

SELENGKAPNYA

Tanda Bahaya Malapetaka Teknologi AI

Hakim di Kolombia menggunakan ChatGPT untuk membuat keputusan pengadilan.

SELENGKAPNYA

Menghapus Joki Scopus

Joki scopus tumbuh subur karena kompetensi menulis dosen lemah.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya