IKHWANUL KIRAM MASHURI | Republika

Resonansi

Politisasi Bencana

Politisasi bencana ini juga terjadi di Suriah dan Turki sendiri.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Gempa bumi menghantam siapa saja. Tidak membedakan orang Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan seterusnya, termasuk yang ateis sekalipun. Ia juga tidak memilah dan memilih negara mana, bangsa, atau suku apa.

Gempa bumi mempunyai perhitungan geologisnya sendiri ketika mengguncang lokasi-lokasi yang menyebabkan ribuan orang —laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak anak dan bayi— meninggal dunia di bawah ambrukan dan reruntuhan bangunan.

Seperti halnya musibah gempa bumi yang menghantam Turki dan Suriah sekarang ini. Tidak perlu ada pertanyaan mengapa Turki dan Suriah?

 
Gempa bumi mempunyai perhitungan geologisnya sendiri ketika mengguncang lokasi-lokasi yang menyebabkan ribuan orang meninggal.
 
 

Hingga kemarin gempa bumi di Turki dan Suriah menyebabkan lebih dari 25 ribu orang meninggal dunia, ribuan lain luka-luka, dan enam ribuan bangunan hancur.

Gempa bermagnitudo 7,8 itu memorak-porandakan wilayah seluas 99,5 ribu km2. Bandingkan dengan luas Portugal yang 88,8 ribu km2, atau Belanda dan Swiss yang hanya 41,5 ribu km2 dan 41,2 ribu km2.

Diperkirakan gempa ini juga berdampak langsung kepada lebih dari 13 juta warga. Sayangnya, ada saja pihak-pihak yang mengambil keuntungan atau tepatnya 'politisasi musibah' gempa bumi, yang seharusnya justru menggugah rasa kemanusiaan.

Majalah Prancis Charlie Hebdo, misalnya, langsung menerbitkan kartun yang mengejek Turki: sebuah karikatur yang menggambarkan kehancuran setelah gempa yang disertai tulisan 'gempa Turki, bahkan tidak perlu mengirim tank'.

Karikatur itu menyasar Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan yang mereka anggap sebagai orang kuat di kalangan Islam. Erdoganlah yang paling vokal mengritik sikap Islamofobia di kalangan negara-negara Barat. Yang terakhir, kritik terhadap pembakaran Alquran di Swedia.

 
Karikatur itu bisa dimaknai, untuk menghancurkan Turki dan Erdogan tidak perlu kirim tank, cukup dengan gempa.
 
 

Karikatur itu bisa dimaknai, untuk menghancurkan Turki dan Erdogan tidak perlu kirim tank, cukup dengan gempa bumi. Charlie Hebdo selama ini sering menghina Islam, umat Islam, dan merendahkan Nabi Muhammad SAW.

Namun disayangkan, mengutip Elias Harfoush, kolomnis di media al Sharq al Awsat, 'politisasi bencana' ini juga terjadi di Suriah dan Turki sendiri. Padahal, katanya, gempa bumi tak membedakan wilayah (yang dikuasai) rezim Suriah di Aleppo dan wilayah oposisi di Idlib.

Juga tidak membedakan antara daerah-daerah loyalis Presiden Turki dan wilayah-wilayah pendukung oposisi. Karena itu, seharusnya tidak ada pertanyaan 'mendukung siapa keluarga ini? Atau siapa yang dipilih pemilik rumah yang hancur ini pada pemilu lalu?'

Namun, gempa bumi di Turki dan Suriah telah berubah menjadi 'peluang' yang dimanfaatkan beberapa pemimpin dan politisi untuk memenangkan suara dan meraih keuntungan.

Di Suriah, misalnya, semestinya gempa dahsyat ini dijadikan rezim Bashar Assad sebagai kesempatan membuka kembali kontak kepada dunia, termasuk Uni Eropa, untuk meminta bantuan bagi daerah yang terkena dampak.

Pertanyaannya, apakah rezim Bashar Assad bersedia membantu korban bencana, dari siapa pun bantuan itu datang, terutama untuk wilayah yang dikendalikan oposisi? Atau rezim di Damaskus hanya tertarik pada bantuan yang bernilai investasi untuk tujuan politiknya sendiri?

Menurut Harfoush, rezim Assad bertanggung jawab secara langsung terhadap pengungsian sekitar empat juta hingga lima juta penduduk, dari daerah tempat tinggal mereka ke kota-kota yang hancur akibat gempa sekarang ini.

Sebagian besar mereka tidak asing dengan bencana. Namun, bukan yang disebabkan gempa bumi, melainkan akibat dari pengeboman jet tempur rezim dan sekutu Rusianya. Mereka terbiasa mencari anggota keluarganya atau orang yang mereka cintai di antara puing-puing.

 
Pemerintahan negara Barat menolak memberi bantuan ke daerah yang terkena gempa melalui rezim Assad.
 
 

Pemerintahan negara Barat menolak memberi bantuan ke daerah yang terkena gempa melalui rezim Assad. Mereka berkeras memberi bantuan lewat jaringan atau organisasi nonpemerintah, yang dulu menyalurkan bantuan ke penduduk yang terusir dari tempat tinggalnya.

Namun, Pemerintah Suriah bersikeras mengawasi distribusi bantuan, kendati mengetahui negara-negara Barat tidak mengakui otoritasnya, bahkan menolak menjalin hubungan dengan rezim Assad. Pemerintah Suriah keukeuh dengan persyaratan mereka.

Menteri Luar Negeri Faisal al-Miqdad meyakinkan pengiriman bantuan kemanusiaan melalui pemerintahnya bukan merupakan pelanggaran sanksi yang diberlakukan AS dengan 'Caesar Act-nya'.

Duta Besar Suriah untuk PBB Bassam al-Sabagh mengatakan, semua bantuan ke wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi harus melaui rezim. Dari New York, ia menolak bantuan itu masuk lewat wilayah Turki ke kantong-kantong oposisi.

Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengingatkan Menlu Suriah, tentang posisi AS yang 'bermusuhan' dengan rezim Assad. Ia menegaskan, AS akan tetap membantu para korban gempa, tetapi langsung ke rakyat Suriah dan tidak ke rezim.

Sikap AS ini kemudian juga diikuti sejumah pemerintah negara-negara Eropa. Pada akhirnya, bantuan negara-negara Barat tetap masuk melalui perbatasan Turki dan mengabaikan peringatan rezim di Damaskus.

Sejumlah besar negara Arab mengirimkan bantuan melalui Pemerintah Assad. Namun, Elias Harfoush ragu, apakah bantuan itu telah sampai ke daerah-daerah yang dikuasai oposisi di dekat perbatasan dengan Turki.

Ia menduga Presiden Assad berbaik-baik dengan sejumlah pemimpin Arab, lebih sebagai kesempatan untuk dapat membuka pintu 'normalisasi' dengan Damaskus, daripada aspek kemanusiaan.

Di Turki, 'politisasi' musibah ternyata juga ramai. Isu bantuan dan kerusakan akibat gempa telah berubah menjadi kontroversi dan saling tuding antara pemerintah Presiden Erdogan dan oposisi.

Menjelang pemilu presiden dan parlemen Mei mendatang, oposisi bersuara keras. Dana yang dikumpulkan dari wilayah selatan Turki untuk infrastruktur tahan gempa ternyata tidak menyediakan kebutuhan yang diperlukan bagi yang terkena dampaknya.

Pemimpin Partai Rakyat Republik (CHP), Kamal Kılıcdaroglu, menganggap Erdogan secara pribadi bertanggung jawab atas keterlambatan bantuan. Banyak keluarga korban mengeluhkan keterlambatan penyelamatan dan pencarian korban di antara reruntuhan.

Di sejumlah desa dan kota di tenggara Turki, penduduk menunggu hingga 72 jam sebelum bantuan sampai. Para penduduk pun terpaksa mencari anggota keluarga atau kerabatnya di antara puing-puing reruntuhan bangunan dengan menggunakan peralatan seadanya.

 
Ketika Presiden Turki mengunjungi daerah terdampak, ia mengakui, sulitnya menghadapi bencana alam seperti yang terjadi sekarang.
 
 

Ketika Presiden Turki mengunjungi daerah yang terkena dampak, ia mengakui, sulitnya menghadapi bencana alam seperti yang terjadi sekarang ini. Menurut dia, jalan-jalan yang rusak akibat gempa telah menyulitkan kedatangan bantuan.

Ia pun menyediakan pesawat kepresidenan untuk mengangkut bantuan dan membawa sejumlah bayi ke rumah sakit di Ankara. Ia berkeras semua bantuan harus dikoordinasikan dengan otoritas Turki.

Ya begitulah, musibah atau bencana acap kali justru dijadikan peluang eksploitasi politik pihak tertentu. Ada pepatah Arab yang artinya 'musibah suatu kaum bagi kaum lain (bisa menjadi) keuntungan'. Menjadi lebih bahaya bila yang memolitisasi musibah itu adalah mereka yang punya kuasa.

Musibah atau bencana alam bisa menghantam siapa saja. Pihak mana pun bisa tekena bencana. Yang dituntut dari kita, sikap atau rasa kemanusiaan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dari Hudaibiyah ke Kemenangan Nyata

Berbagai peristiwa terjadi menjelang Pembebasan Kota Makkah oleh Nabi Muhammad SAW.

SELENGKAPNYA

Mengenang Kancil dan Buaya

Puisi Alina Sukesi

SELENGKAPNYA

Amnesty: Pelarangan Jilbab Pramugari Diskriminatif

KNKT berpandangan menggunakan jilbab tidak mengganggu pramugari dalam menjalankan tugas.

SELENGKAPNYA