
Tokoh
KH Ali Maksum Mengantar Pembenahan Pendidikan Pesantren
Hampir separuh hidupnya diabdikan bagi pembinaan pendidikan di pesantren.
Pendidikan agama perlu diterapkan sejak dini untuk membentuk akhlak dan pribadi mulia. Dalam hal ini, pondok pesantren turut memegang peranan penting. Sistem pendidikan pesantren telah terbukti dapat mencetak tenaga-tenaga andal, baik di bidang agama maupun bidang ilmu lain. Dan kesuksesan tersebut, agaknya tidak bisa dipisahkan dari sumbangsih seorang tokoh kharismatik, KH Ali Maksum.
Ulama NU ini merupakan pendidik sejati. Hampir separuh hidupnya diabdikan bagi pembinaan pendidikan di pesantren. Dia percaya, pesantren dapat menjadi ujung tombak pemberdayaan umat. Sehingga pola dan sistem pengajarannya, harus secara baik ditata serta harus terus mengikuti perkembangan zaman.
Pesantren dan Ali Maksum seolah sudah menyatu. Bukan hanya karena menjadi ulama pesantren, melainkan terlebih dia lahir dan besar di lingkungan pesantren pula. Dilahirkan pada 2 Maret 1915 di Krapyak, Yogyakarta, sejak kecil Ali Maksum besar di pesantren binaan ayahnya, KH Maksum, pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Suasana pesantren yang sarat nuansa agamis, kemudian membentuk watak dan kepribadiannya.
Ayahnya menjadi guru pertamanya dengan pelajaran utama mengaji Alquran. Di samping itu, dia pun sempat menimba ilmu di Pekalongan bersama KH Amir. Setelah menyelesaikan pendidikan, pada usia 12 tahun, Ali Maksum kemudian dikirim ayahnya ke Pondok Pesantren Termas, Pacitan, pimpinan KH Dimyati. Termas ketika itu dikenal sebagai salah satu pesantren besar, di samping Lirboyo, Tebuireng, dan Lasem.
Suasana pesantren yang sarat nuansa agamis, kemudian membentuk watak dan kepribadiannya.
Delapan tahun lamanya Ali Maksum belajar di Termas. Banyak ilmu agama yang diperolehnya di Termas. Dia juga aktif di pengajian bandongan yang diadakan di pesantren, antara lain pengajian kitab Fathul Mu'in, Minhaj al-Qawim, Alfiyah ibn Malik, Jauhar Maknun, dan lain-lain. Ketika menjadi santri, Ali Maksum dikenal mahir berbahasa Arab.
Pendidikan kepemimpinan juga didapatnya di Termas melalui kegiatan kepanduan (pramuka). Di sinilah, jiwa kepemimpinannya tertanam. Tak heran apabila dia kerap dipilih menjadi kepala kepanduan Termas. Dan seterusnya, dia dipercaya menjadi kepala madrasah.
Dari Termas, Ali lantas kembali ke Lasem dan membantu ayahnya mengajar di pesantren. Sekitar tahun 1938, dia dinikahkan dengan Rr Hasyimah, putri KH Munawir, pemimpin Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Beberapa hari setelah menikah, seorang dermawan bernama H Djuneid menawarinya ke Makkah untuk menuntut ilmu.
Sebuah tawaran yang agaknya sulit ditampik. Dengan berat hati, Ali berangkat ke Mekkah. Dua hal bisa terwujud sekaligus, yakni kesempatan berhaji serta menimba ilmu agama dari para ulama terkemuka Arab.
Selama tiga tahun, Ali Maksum tak menyia-nyiakan keberadaannya dengan mencari ilmu agama sebanyak-banyaknya. Bermukim di Makkah, dia belajar kepada Sayid Alwy al-Maliky dan Syekh Umar Hamdan. Tidak hanya pada dua ulama tersebut, Ali pun menimba ilmu dan menjalin hubungan dengan ulama lain serta lembaga dakwah yang ada.
Bermukim di Mekkah, dia belajar kepada Sayid Alwy al-Maliky dan Syekh Umar Hamdan.
Kembali ke Tanah Air tahun 1941, ketika itu bertepatan masa penjajahan Jepang. Banyak santri di Lasem terpaksa pulang kampung dan membuat pesantren itu nyaris bubar. Segala daya dikerahkan oleh Ali Maksum untuk menata kembali pesantren ayahnya tersebut. Usahanya tidak sia-sia.
Pesantren Lasem berangsur memulai lagi kehidupannya dengan sekitar 300 santri baru. Pada saat bersamaan, pembenahan pendidikan pun dilakukan. Yakni, dengan memperkenalkan sistem belajar klasikal, tetapi tidak meninggalkan sistem lama.
Tahun itu pula Ali Maksum menerima berita duka. Mertuanya, KH Munawir, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, meninggal dunia. Serta-merta, oleh Ny Munawir, Ali Maksum diminta untuk pindah ke Krapyak dan mengelola pondok pesantren.
Kondisi Pondok Pesantren Krapyak juga tidak lebih baik dari Lasem waktu itu. Permintaan tersebut diterimanya dengan senang hati. Selanjutnya, dengan dibantu oleh kakak dan adik iparnya, KH Abdullah Affandi dan KH Abdul Qadir, dia pun mulai membenahi Krapyak.
Selama berdirinya, Pondok Pesantren Krapyak sangat dikenal sebagai pesantren yang mengkhususkan pada pengajaran hafalan serta pendalaman Alquran. Dan kedatangan Ali Maksum, tidak otomatis mengubah ciri khas itu, bahkan diperkaya dengan pengajian kitab klasik dan mendirikan madrasah. Lama kelamaan Pesantren Krapyak semakin berkembang.
Oleh karena itu, sejak 1968, Ali Maksum dipercaya memimpin pesantren tersebut. Kemajuannya terbilang membanggakan. Di samping tetap berbasis pesantren, ada juga pengelolaan taman kanak-kanak, madrasah diniyah awwaliyah, madrasah diniyah wustha, wadrasah diniyah ulya, madrasah tsanawiyah, pengajian kitab, dan tahfizh Alquran.
Pembenahan pendidikan pun dilakukan, yakni dengan memperkenalkan sistem belajar klasikal, tetapi tidak meninggalkan sistem lama.
Sehari-harinya ulama ini masih rajin memberikan pengajaran secara langsung kepada para santri. Dari shubuh hingga malam. Dalam mengajar, seperti disebutkan dalam buku Menapak Jejak Mengenal Watak, Biografi 26 Tokoh Nadhatul Ulama, KH Ali lebih menekankan pada aspek pemahaman terhadap isi suatu kitab, bukan hanya banyaknya materi atau kecepatan khatam. Tak hanya di pesantren, seminggu sekali dia pun mengajarkan tafsir di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga.
Oleh sejumlah kalangan, tokoh yang satu ini juga dianggap memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan umat secara keseluruhan. Pada setiap kesempatan pengajian umum, KH Ali kerap menyampaikan pandangan dan pemikirannya bagi upaya pemberdayaan umat.
Selain itu, KH Ali sempat menulis buku. Dia, antara lain, pada buku pertamanya, al-Sharf al-Wadhih, memprihatinkan minimnya pengajaran bahasa Arab di pesantren dan sekolah. Padahal, menurut dia, bahasa Arab merupakan kunci utama agar dapat memahami inti Islam dari sumber Alquran dan Hadis Nabi. Persoalan ukhuwah dan politik umat juga tidak lepas dari perhatiannya.
KH Ali mempunyai banyak kegiatan di organisasi kemasyarakat. Sejak 1970, dia menjabat selaku rais syuriah Pengurus Wilayah NU Yogyakarta. Tahun berikutnya, KH Ali justru dipercaya sebagai rais aam Syuriah PBNU, menggantikan KH Bisri Syamsuri pada Musyawarah Alim Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta.
Terpilihnya KH Ali Maksum menandai kemenangan sayap khittah, yang didukung para ulama pesantren dan generasi muda NU. Pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, konsep kembali ke khittah 1926 secara resmi ditetapkan kembali. Pada akhirnya, muktamar ini tercatat sebagai momentum perubahan bagi NU.
Terpilihnya KH Ali Maksum menandai kemenangan sayap khittah, yang didukung para ulama pesantren dan generasi muda NU.
Pada masa kepemimpinannya, NU sedang mengalami banyak persoalan, terutama menyangkut konflik di tubuh kepengurusan menjelang Pemilu 1982. Akan tetapi, roda organisasi terus berjalan. Hingga kemudian pada 1984, dilangsungkan Munas Alim Ulama (Muktamar) di Situbondo. Pada perhelatan muktamar ini, tongkat kepemimpinan rais aam PBNU berganti kepada KH Achmad Siddiq.
Nama KH Ali Maksum dan pesantren Krapyak mencuat kembali setelah pada 1989 berlangsung Muktamar ke-28 NU di sana. Namun, KH Ali hanya bisa mengikuti muktamar dari pembaringannya karena sakit.
Dua minggu usai perhelatan akbar tersebut, kiai dan pendidik kharismatik ini menghadap Yang Mahakuasa, tepatnya pada hari Kamis, 7 Desember 1989. Ribuan umat Islam mengantarkan jenazahnya ke pemakaman Dongkelan, Bantul, Yogyakarta.
Disadur dari Harian Republika Edisi 11 April 2003
Menikah di KUA Biar Hemat
Ada tuntunan yang harus dilakukan saat menikah di KUA menjadi pilihan.
SELENGKAPNYAMasalah Pernikahan Beda Agama
Pernikahan dalam Islam bukan semata ikatan adat, tetapi ikatan agama dan dan akidah sekaligus.
SELENGKAPNYANegara-Bangsa dalam Sejarah Islam
Kaum Muslimin di sepanjang histori mengalami berbagai bentuk pemerintahan.
SELENGKAPNYA