Menggali Aspek Kesyariahan Piagam PBB/Ketua Bahtsul Masail PBNU KH Mahbub Maafi | Aspek Kesyariahan Piagam PBB

Wawasan

Menggali Aspek Kesyariahan Piagam PBB

Di dalam khazanah fikih kita, relasinya itu relasi konflik.

Muktamar Halaqah Fikih Peradaban Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan berlangsung di Surabaya pada 6 Februari 2023. Salah satu pembahasannya berkaitan dengan Piagam PBB yang menjadi kunci kesepakatan untuk dapat mewujudkan perdamaian global dan mencegah terjadinya Perang Dunia III.

Apa tujuan sebenarnya PBNU menggelar muktamar internasional tersebut? Untuk mengulas masalah ini, wartawan Republika Andrian Saputra mewawancarai Ketua Bahtsul Masail PBNU, KH Mahbub Maafi. Berikut kutipannya:

Apa yang dimaksudkan dengan fikih peradaban dan hubungannya dengan perdamaian dunia?

Fikih peradaban itu adalah fikih yang membincang problem-problem kemasyarakatan terkait dengan soal keagamaan dan kebangsaan. Bukan hanya untuk kepentingan Nahdlatul Ulama dan Indonesia, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia.

Muktamar Fikih Peradaban yang akan dilaksanakan di Surabaya pada 6 Februari itu sebenarnya muktamar pertama karena nanti akan berlanjut kepada muktamar-muktamar berikutnya.

Tema penting di dalam muktamar itu adalah terkait dengan penilaian fikih atas legitimasi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai landasan tata dunia. Itu yang setidaknya mau dibincangkan di dalam Muktamar Fikih Peradaban yang pertama itu. Karena itu adalah satu masalah yang dianggap sangat urgen.

Misalnya, perjanjian PBB, lebih pada bagaimana kita itu memenuhi kesepakatan-kesepakatan (piagam PBB) itu bagaimana? Mengapa menjadi penting untuk menilai legitimasi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sebagai landasan terhadap dunia? Karena untuk membangun landasan fikih, untuk perdamaian global.

Yang harus kita ketahui bersama itu adalah kalau di dalam fikih lama kita itu bahwa sikap relasi kita dengan non-Muslim misalnya itu memang relasinya konflik. Jadi, jumhur mazhab, ini baik dari kalangan Suni maupun Syiah, mayoritas ulamanya itu cenderung untuk menyatakan bahwa pada dasarnya relasi antara Muslim dan non-Muslim itu pada dasarnya adalah relasi konflik.

Sehingga pandangan-pandangan yang mengatakan relasi Muslim dan non-Muslim itu adalah konflik ini menyebabkan konflik muncul terjadi banyak sekali konflik itu yang mengatasnamakan agama. Sebenarnya kan kita mau melihat itu.

Sebenarnya bagaimana terhadap pandangan-pandangan demikian, pandangan yang mengatakan bahwa relasi Muslim dan non-Muslim konflik itu sebenarnya bagaimana? Itu fikih kita masih seperti itu. Pada akhirnya kita perlu memecahkan, mencari solusi.

photo
Menggali Aspek Kesyariahan Piagam PBB/Kendaraan militer yang terbakar di Homs, Suriah, beberapa waktu lalu - SANA/REUTERS

Karena memang sebelum adanya, sekurang-kurangnya satu abad yang lalu itu konflik itu, perang atas nama agama itu sebenarnya normal-normal saja. Dianggap sebagai sesuatu yang normal. Tetapi, kan hari ini tidak bisa seperti itu.

Kita perlu legitimasi, salah satunya sebenarnya munculnya piagam PBB itu yang menyatakan bahwa adalah memiliki tujuan yang sangat luar biasa, yaitu untuk menjaga keamanan global, menolak peperangan.

Itu sesuatu yang menarik untuk dibahas dan selama ini belum ada yang mencoba untuk melihat, terutama ormas, yang mencoba melihat status keabsahan PBB dengan piagam tadi itu. Itu yang harus diketahui bersama-sama.

Jadi, kalau kemudian pandangan dunia mengatakan memang relasi kita relasinya konflik dengan non-Muslim, itu fikih kita bilang begitu, fikih klasik kita menyatakan demikian. Tetapi kan mulai ada perubahan, terutama setelah perang dunia I dan II itu kan banyak korban.

Orang ternyata perang itu pada akhirnya hanya menimbulkan kesengsaraan dan korban yang tak terhitung jumlahnya. Maka, ada salah satunya inisiasi dunia untuk menghentikan konflik ini dengan bikin Piagam PBB itu.

Pertanyaannya, legitimasinya apa secara fikih? Karena fikih kita itu faktanya menyatakan bahwa pada dasarnya relasinya kita adalah konflik.

Jadi, persetujuan PBB ini nantinya dapat menjadi rujukan umat Islam?

Bukan hanya untuk umat Islam, tetapi juga di luar umat Islam. (Piagam PBB) itu kan sudah ditandatangani oleh banyak negara yang terlibat itu, kalau kemudian ada isi yang dianggap bermasalah nanti kita diskusikan lagi.

Karena begini, ketika Piagam PBB disepakati dan mulai pergerakannya PBB itu setidaknya membawa dua implikasi penting yang menjadi fondasi dan proses membangun suatu tata dunia baru sejak saat itu. Pertama, diterimanya hak asasi universal dan kesetaraan hak dan martabat setiap manusia itu.

Kedua, diakuinya batas-batas teritorial negara definitif, kepastian dan disertai adanya komitmen bersama untuk menjamin perlindungan bagi kedaulatan teritorial setiap negara dari siapa pun yang hendak melanggarnya. Itu fikihnya penting kan?

Dulu kan nggak ada seperti ini, nggak ada perbatasan. Sejauh mana kekuatan militer sebuah negara, jangkauannya bisa seenaknya saja. Kalau militernya kuat, itu bisa sejauh mana militernya bisa menjangkau batas negara.

Sekarang kan tidak bisa begitu. Tidak bisa kemudian suatu negara melakukan agresi ke negara yang lain, pasti dianggap kejahatan perang.

Ini kan penting. Kalau kita bisa pada Muktamar Fikih Peradaban itu merumuskan, wah ini sudah syar'i dan menjalankan komitmen atau perjanjiannya itu sudah menjadi keharusan, itu menarik nanti itu.

Jadi, nanti kita punya legitimasi secara teologis, kita mau mencari. Kita harus mengakui banyak konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia ini konflik-konflik atas nama agama maupun yang lain itu terjadi.

photo
Menggali Aspek Kesyariahan Piagam PBB/Lambang PBB. - (AP/John Minchillo)

Ini yang akan ditanyakan kepada ulama internasional dalam muktamar?

Iya ini salah satu yang penting. Terkait dengan kesyariahan dari pada Piagam PBB itu. Karena kita sudah tanda tangan negara-negara itu. Pertanyaannya apa kemudian kepala-kepala negara itu juga mewakili rakyatnya atau tidak dalam konteks ini ketika memberikan tanda tangan karena itu mempunyai implikasi bersama-sama.

Penting untuk menciptakan harmoni, ini bukan hanya untuk umat Islam. Karena bahwa faktanya memang kita harus jujur, di dalam khazanah fikih kita, relasinya itu relasi konflik, Muslim dan non-Muslim itu konflik. Apa buktinya relasi kita Muslim dan non-Muslim itu konflik?

Contohnya pembagian Darul Islam dan Darul Harb itu menunjukkan, yaitu adanya relasi konflik hubungannya. Itu menunjukkan yang satu disebut wilayah Islam wilayah damai sementara yang satu disebut wilayah konflik. Dan itu pada dasarnya tidak ada masalah pada saat itu (pada masa lalu), tidak masalah, tidak melanggar norma.

Namun, begitu ada muncul PBB dengan piagam PBB itu yang mengatakan bahwa perang itu dianggap sebagai sebuah kejahatan, harus menjaga keamanan duai. Nah, kan itu sudah berubah norma-norma lama itu mengalami perubahan, melalui perjanjian tersebut, yang pertama awalnya konflik kemudian menjadi damai.

Nah, bagaimana sebenarnya ini? Lalu, bagaimana kita menjalankan atau melegitimasi dari pada sudut pandang fikih terhadap perjanjian tersebut. Apakah kita harus menjalankannya? Karena kita sudah berjanji di dalam piagam itu atas nama negara sudah mengikuti.

Zikir Berjamaah, Bolehkah?

Zikir berjamaah dengan bersuara diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu.

SELENGKAPNYA

Negara-Bangsa dalam Sejarah Islam

Kaum Muslimin di sepanjang histori mengalami berbagai bentuk pemerintahan.

SELENGKAPNYA