
Kronik
Peran Politik NU dari Masa ke Masa
'Kembali ke khittah' itu sendiri sesungguhnya juga merupakan langkah politik NU.
Dengan kembali ke khittah 1926, NU dinilai telah netral dan tidak terikat dengan organisasi politik yang ada. Mampukah kaum nahdliyin menangkis 'godaan' terjun ke kancah politik praktis?
Tak bisa dipungkiri, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan kekuatan sosial keagamaan yang telah turut mewarnai sejarah perjalanan bangsa. Hingga kini pun, kiprah NU dalam berbagai bidang kemasyarakatan masih diperhitungkan dan bahkan kerap menjadi penentu.
Di usianya yang genap 78 tahun, NU telah mengalami pengalaman hidup berliku. Secara umum, NU sudah kenyang membangun jar'iyah diniyah maupun bertarung di arena politik praktis. Seperti dikatakan Greg Fealy, penulis buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, NU telah mengalami transformasi luar biasa selama kurun waktu 1952 hingga 1967. Pada masa tersebut NU sedang giat-giatnya bertanding di arena politik praktis.
"Sikap NU sejak awal selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang lama dianutnya, yakni mendasarkan diri pada fiqh sunni klasik yang meletakan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan para umat," kata Greg Fealy.

Di kancah politik, pada awal kemerdekaan umat Islam memiliki berbagai wadah politik: NU, PSII, Persis, Muhammadiyah dan Perti. Namun umat Islam sepakat membentuk wadah tunggal untuk menyalurkan aspirasi politiknya, yakni Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Namun dalam perkembangannya, terjadi goncangan dahsyat di tubuh Masyumi, yakni saat NU mengikuti jejak PSII untuk meninggalkan Masyumi berdasarkan keputusan Muktamar NU di Palembang tanggal 29 April 1952.
Dari sinilah awal kiprah kepartaian NU secara mandiri. Periode tahun 1952-1955 merupakan masa perluasan dan konsolidasi partai baru ini. Dengan komitmen pada aktivitas politik, maka keberadaannya banyak tergantung pada perolehan suara dalam pemilu pertama 1955.
Pada pemilu tersebut, NU muncul sebagai partai ketiga terbesar, dengan perolehan 7 juta atau 18,4 persen dari total suara. Berdasarkan hasil itu, NU mampu mendudukkan 5 orangnya dalam kabinet, sama dengan Masyumi.
Peran politik NU mulai mengalami penurunan setelah pemerintah Orde Lama menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Tapi yang jelas, ujar Ali Mas'ud dalam tulisannya "Aspirasi Politik NU" seperti dikutip dari situs Jurnal IAIN Sunan Ampel, selama NU berkiprah di panggung politik praktis era Orde Lama, banyak prestasi diraih.
Pertama, penyelenggaraan pemilu pertama diserahkan kepada panitia pemilu yang anggotanya dari wakil-wakil partai politik.
Pada pemilu tersebut, NU muncul sebagai partai ketiga terbesar, dengan perolehan 7 juta atau 18,4 persen dari total suara.
Hal itu tercatat sebagai pemilu yang diselenggarakan berdasarkan kebijakan Menteri Dalam Negeri Mr Soenarjo, dari NU.
Kedua, lahirnya PP 10 yang isinya membatasi aktivitas ekonomi para pengusaha asing serta bertujuan memproteksi pengusaha pribumi dapat berkembang. PP ini lahir saat Departemen Perdagangan dipimpin oleh menteri dari NU, yaitu Drs Rahmat Mulyoamiseno.
Ketiga, penggagasan berdirinya masjid Istiqlal oleh KH A Wahid Hasyim, menteri Agama saat itu, dan disetujui Presiden Sukarno.
Menurut Ali, patut dicatat bahwa mode of thought NU dalam berpolitik adalah menggunakan paradigma politis-ideologis yang memegang teguh ajaran Islam secara normatif-teologis.
Tapi, dalam konteks ini sebagaimana dinyatakan M Ali Haidar, konsep sunnisme yang dianut oleh NU merupakan konsep jalan tengah yang lebih mementingkan harmoni dan kestabilan sosial. Pada masa Orde Baru, posisi partai-partai politik, tak terkecuali NU, yang menyalurkan aspirasi umat Islam menjadi sangat dibatasi ruang geraknya.
Realitas ini membawa konsekuensi logis bahwa perilaku politik NU tidak dapat lagi leluasa berjuang menyuarakan Islam dengan menggunakan Islam sebagai ideologi politik.

Tanggal 5 Januari 1972, rezim Orde Baru melakukan restrukturisasi dengan menyederhanakan partai. Empat partai Islam, yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Meski sudah berubah wajah, NU selalu ditekan.
Sebagai pilar utama, rezim Orde Baru barupaya keras membonsai NU dengan memperkecil peran politisi warga nahdliyin di PPP dan lebih memberi peran dari unsur non-NU.
Marginalisasi itu berjalan terus hingga akhirnya NU kembali ke khittah 1926, pada muktamar ke-27 di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984. Inti dari kembali ke khittah 1926 adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan.
Berkaitan kembalinya NU ke khittah 1926, keputusan tersebut merupakan langkah terobosan yang didukung kalangan profesional untuk mengatasi kemacetan organisasi yang dialami NU.
Keputusan ini sama dengan menegaskan bahwa NU telah melepaskan afiliasinya dengan PPP. Dengan keputusan ini berarti NU telah netral, tidak terikat atau impartial, tidak memihak dengan organisasi politik yang ada, termasuk PPP.
Setelah kembali ke khittah, lanjut Ali Mas'ud, NU lebih bebas menentukan kiprahnya. "Ini bukan berarti NU lepas sama sekali dari aktivitas politik, karena betapa pun naluri politik NU tetap tajam," imbuhnya.
Justru karena itu, pemain di dalam struktur sering menggoda NU untuk diajak terjun atau minimal jadi pendukung.
Ini bukan berarti NU lepas sama sekali dari aktivitas politik, karena betapa pun naluri politik NU tetap tajam.
Godaan inilah yang sulit dihindari dan sering mengganggu khittah. Oleh karenanya, Muktamar ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, memiliki makna strategis bagi NU, terutama berkaitan dengan pelaksanaan khittah NU 1926.
Bila dalam Muktamar ke-27 di Sukorejo, Situbondo, khittah dicanangkan, lalu Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta, khittah dimantapkan, maka pada muktamar ke-29 khittah diupayakan untuk disempurnakan.
Melihat mata rantai muktamar tersebut, tampaknya khittah akan tetap diagendakan sebagai pegangan strategis dan politis bagi NU. "Persoalannya, sejauh mana khittah perlu dipertahankan, sementara tuntutan untuk kembali ke wilayah politik praktis masih menjadi obsesi banyak warga NU?" tanya Ali Mas'ud.
Terbukti, mereka masih terlibat dalam sejumlah manuver politik.
Pernyataan tersebut relevan dikemukakan. Sebab, walau sudah kembali ke khittah, naluri politik NU masih sangat peka, bahkan khittah itu sendiri sesungguhnya juga merupakan langkah politik NU.
Harus diakui, tegasnya lagi, sampai saat ini terjadi berbagai macam interpretasi terhadap khittah NU. Masing-masing kelompok menginterpretasikan sesuai dengan kepentingannya hingga yang tampak kemudian adalah fragmentasi interpretasi, suatu pemahaman yang tidak utuh.
Hal ini bukannya tidak baik, asal masih tetap berpijak pada semangat kebersamaan dengan konsisten pada nilai-nilai yang universal.
Khittah akan tetap diagendakan sebagai pegangan strategis dan politis bagi NU.
Momentum Lahirnya PKB
Runtuhnya rezim Orba membuka harapan baru bagi NU untuk mengkonstruksi tatanan politik baru di negara ini. Kabinet Reformasi Pembangunan berupaya mengakomodasi aspirasi masyarakat.
Selain mengagendakan Sidang Istimewa (SI), BJ Habibie ingin mempercepat pemilu pada Juni 1999. Semangat ini melahirkan multipartai dalam pemilu mendatang.
Momentum ini kemudian melahirkan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang dideklarasikan oleh 5 tokoh NU (KH M Ilyas Ruchiyat, KH Abdurrahman Wahid, KH A Muhith Muzadi, KH A Musthofa Bisri, dan KH M Moenasir Ali) pada 23 Juli 1998 di Jakarta. Kelahiran PKB ini di samping merupakan anak tunggal NU, juga merupakan kendaraan politik warga nahdliyin.
Kini yang terpenting, menurut Ali Mas'ud, adalah bagaimana menciptakan PKB sebagai partai yang reformatif dan plural. Bagi bangsa Indonesia yang memiliki pluralitas agama, etnis maupun bahasa, pendirian PKB sebagai partai politik yang inklusif merupakan suatu keharusan.
"Dalam konteks ini, diharapkan perilaku politik NU secara operasional dapat lebih menekankan internalisasi nilai-nilai etik keislaman dalam berbagai kehidupan sosial secara lebih inklusif tanpa menonjolkan atribut keislaman," tegas Ali.
Disadur dari Harian Republika edisi 6 Februari 2004.
Negara-Bangsa dalam Sejarah Islam
Kaum Muslimin di sepanjang histori mengalami berbagai bentuk pemerintahan.
SELENGKAPNYALasem, Le Petit Chinois
Sejarah kota ini lebih besar dari kecamatan yang kini jadi atribut Lasem.
SELENGKAPNYAKebingungan Saat Indeks Korupsi Anjlok
OTT KPK dan Indeks persepsi Korupsi justru berkorelasi negatif.
SELENGKAPNYA