Seorang warga melintas di bangunan yang didirikan sekitar tahun 1860 dengan nama Tiongkok Kecil Heritage‚ di Karangturi, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, Senin (29/5/2017). | ANTARA FOTO/Aji Styawan

Jelajah

Lasem, Le Petit Chinois

Sejarah kota ini lebih besar dari kecamatan yang kini jadi atribut Lasem.

OLEH STEVY MARADONA

Pemandangan itu di luar dugaan. “Ini tidak mungkin Lasem,” kata saya sambil melotot.

Di luar bus yang saya tumpangi, terbentang tanah gersang berwarna coklat. Sederet tambak yang airnya nyaris kering dihisap matahari. Sedikit pepohonan hijau yang mau berdiri.

Ada beberapa rumah doyong warna hitam yang terbuat dari kayu, tempat menyimpan perlengkapan tambak. Sinar matahari, padahal itu baru pukul 07.00 WIB, terangnya seperti tengah hari.

Lasem yang saya baca atau saya lihat gambarnya tidak ada begini. Kota kecamatan itu penuh dengan rumah etnis Cina di sisi jalannya. Ada sebuah masjid besar di seberang alun-alun. Klenteng-klenteng tua nan unik.

Sungai yang membelah kota hingga ke laut. Kota ini dipisahkan oleh jalan besar yang dibangun oleh Herman Daendels di abad ke-19 atau biasa disebut De Grote Postweg. Saking indah dan uniknya Lasem, peneliti asing menjuluki kota ini sebagai ‘Little Tiongkok’ atau ‘Le Petit Chinois’. Bukan daerah yang seperti hampir mati ini.

Kondektur bus mencolek saya dan bertanya, “Turun di Masjid Raya?” Saya mengangguk dan bersiap. “Sebentar lagi, Mas,” sambung si kondektur. Baru kemudian pemandangan di luar bus berganti.

photo
Pekerja mengecat gapura Kelenteng Gie Yong Bio yang didirikan sekitar tahun 1780 di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Selasa (25/5/2021). - (ANTARA FOTO/AJI STYAWAN)

Setelah melewati jembatan, nuansa kota mulai terlihat. Apa yang saya baca soal kecantikan kota kecil ini nyata adanya. Di kiri dan kanan jalan selalu ada bangunan tua bergaya Cina dicat warna putih atau krem.

Ada sebagian yang menjadi toko atau rumah, tapi banyak yang terlihat seperti ditelantarkan. Paling mudah mengenali dari bentuk atapnya, yaitu melengkung seperti busur namun terbalik.

Pelabuhan tersibuk

Saya diturunkan di pertigaan yang ramai. Bus dan truk seliweran dari dua arah. Umumnya mereka menuju ke Surabaya, yaitu ke arah timur. Dan sisi satunya ke arah Kudus-Semarang ke arah barat.

Masjid Raya Lasem berdiri tepat di seberang jalan. Sebuah masjid cukup besar dengan dominan warna biru. Di samping masjid, dipisahkan oleh jalan raya, sejengkal lahan alun-alun Lasem. Tidak luas, seperti alun-alun kota lainnya. Hanya sepetak tanah yang disesaki oleh kedai makanan dan toko-toko.

Becak dan ojek berdampingan nongkrong di depan alun-alun. Bau knalpot bercampur dengan udara pagi diaduk dengan kencangnya desing bus atau truk yang ngebut. Inilah pusat kota Lasem.

Sejarah kota ini lebih besar dari kecamatan yang sekarang jadi atribut Lasem. Nama Lasem sudah muncul dalam cerita soal imperium Majapahit sejak abad ke-14.

Dikutip dari Babad Badra Santi (ditulis abad ke-15 dan selalu jadi rujukan utama sejarah tertulis Lasem), pada 1351 Masehi, sudah ada Kerajaan Lasem, kepanjangan tangan dari Majapahit. Raja termasyhur Majapahit, Hayam Wuruk, tampaknya menganggap wilayah pesisir ini sangat penting karena aktivitas perdagangannya yang luar biasa.

photo
Foto udara Pasar Lasem dan Alun-alun Lasem yang sedang dibangun serta Masjid Jami Lasem yang berdiri sekitar tahun 1588 di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Senin (3/1/2022). - (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Pesisir Lasem terkenal sebagai salah satu pelabuhan tersibuk selain Cirebon, Gresik, dan Tuban. Armada kapal Cina dan Arab kerap singgah dan berdagang.

Dari pesisir, lewat sungai yang membelah kota, barang dagangan dibawa ke pedalaman. Hayam Wuruk mengutus Bhre Lasem atau Ratu Dewi Indu jadi raja di sana.

Jejak Majapahit di Lasem bisa dilihat di wilayah Desa Kajar yang terletak di kaki gunung Kajar. Di tengah gunung, berdiri satu prasasti berbentuk lingga setinggi sekitar 50 cm. Di ujung lingga itu tertera tulisan berhuruf Palawa.

Di samping prasasti juga ada mata air yang ditampung dalam bak. Kabarnya, prasasti ini didirikan sesaat setelah Hayam Wuruk mengunjungi Lasem pada 1354.

Saat saya mengunjungi situs ini, kondisinya memprihatinkan, kotor dan kumuh. Sampah berserakan di sekitar prasasti. Di depan cungkup prasasti, ada pemuda yang sedang mencuci motornya dari mata air. Di atas dinding cungkup, ada dua remaja sedang mendengarkan musik sambil selonjoran.

photo
Pengunjung mengamati sejarah tentang Lasem dalam pameran bertajuk Rentang Kronika Lasem Rembang di Museum Nyah Lasem, Karangturi, Kabupaten Rembang Jawa Tengah, Selasa (25/1/2022). - (ANTARA FOTO/Aji Styawan/hp.)

Laksamana legendaris Zhang He alias Cheng Ho juga sempat singgah di Lasem, kabarnya. Sekitar lima kilometer ke arah timur, ada desa bernama Binangun. Menurut Babad, desa ini diberi nama sesuai dengan salah satu nakhoda Cheng Ho, Bi Nang Un.

Ketika mendarat di pesisir Lasem sekitar abad ke-15, Bi Nang Un meminta izin tak ikut rombongan Cheng Ho keliling dunia dan menetap di Lasem. Cheng Ho mengizinkan, maka jadilah daerah itu disebut Binangun. Selain desa, di seberang desa ada pantai yang juga diberi nama Pantai Binangun.

Di pelosok, ke arah selatan dari pusat kota, juga ada bukit yang disebut warga sebagai Bukit Dampo Awang. Dampo Awang, seperti yang lazim di sejarah Semarang, adalah nama salah satu juru mudi andalan Cheng Ho bernama Wang Jing Hong.

Ia sakit saat armada menyusur pantai utara Jawa. Cheng Ho menurunkan Wang di satu desa kecil yang sekarang berkembang menjadi Semarang.

photo
Tim Barongsai Rumah Merah berlatih Barongsai di kawasan Pecinan Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Selasa (25/1/2022). - (ANTARA FOTO/Aji Styawan/hp.)

Nasib Cina

Datangnya Bi Nang Un jadi tonggak makin banyaknya orang Cina bermukim ke Lasem. Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah Lasem (Fokmas) mengatakan, ledakan penduduk Cina itu berakibat ke pembangunan perumahan dan tempat ibadah.

Klenteng tertua di Lasem, Cu An Kiong, didirikan pada abad ke-15. Tapi, tidak cuma klenteng. “Pedagang Arab pun ada di Lasem dan mereka juga mendirikan masjid-masjid,” kata Agus, ketua Fokmas.

Percampuran antara warga Arab, Cina, dan Jawa menjadi nenek moyang warga Lasem sekarang. Terutama yang mendirikan pesantren-pesantren.

Lasem juga jadi saksi kalau etnis Cina membenci Belanda. Pada abad ke-18, kota ini dipimpin oleh Cina Muslim, Oey Ing Kiat, pengusaha kapal yang kaya raya. Karena monopoli perdagangan Belanda makin kencang, dan didukung oleh Kerajaan Mataram, rakyat Lasem kian tidak suka.

photo
Seniman pantomim Rembang, Sutejo melakukan aksi teatrikal merespon proyek revitalisasi Lasem di kawasan Pecinan Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (26/1/2022). - (ANTARA FOTO/Aji Styawan/rwa.)

Pembantaian Cina di Batavia pada 1740 membuat ribuan orang mengungsi ke Lasem. Penduduk kota pesisir ini dalam waktu semalam melonjak dua kali lipat.

Setahun kemudian, Belanda yang sengaja mengadu domba Cina-Pribumi juga buat kerusuhan di Kartasura, Ngawi. Warga Cina kembali mengungsi ke Lasem.

Kekuatan Cina di Lasem membuat sentimen anti-Belanda memanas. Tiga tokoh Lasem yaitu Raden Panji Margana, Tan Kee Wie, dan Raden Ngabehi Widyaningrat alias Oey Ing Kiat, bahu membahu ingin mengusir Belanda dari Jawa. Usaha mereka jelas gagal. Ketiganya gugur sebagai saudara, dan untuk menghormati jasanya berdirilah Klenteng Bie Yong Go pada 1780.

Empat generasi Cina Lasem tetap hidup di sini. Tetap berdagang. Tetap menjadi orang-orang terkaya di Lasem. Salah satunya orang terkaya di Lasem, kabarnya, memiliki bisnis perusahaan kapal pesiar.

Keturunan asli Cina Lasem juga tak bisa lagi berbahasa Cina. Mereka sehari-hari menggunakan bahasa Jawa dan tinggal di rumah-rumah yang tua.

photo
Tim Barongsai Rumah Merah berlatih Barongsai di kawasan Pecinan Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Selasa (25/1/2022). - (ANTARA FOTO/Aji Styawan/hp.)

Rumah khas Cina dengan dua bangunan besar dipisahkan oleh halaman yang luas. Tiap bangunan ada dua lantai. Di teras ada dua pilar tinggi. Masuk ke rumahnya kita harus melalui pintu gerbang, yang kadang sudah reyot.

Kamar mandi mereka biasanya di luar. Rumah-umah ini mudah sekali ditemukan kalau kita menelusup melewati sejumlah kampung di Lasem, seperti Kampung Suditan dan Karangturi.

Tapi di sebagian tempat, rumah tua ini ditelantarkan atau diubah menjadi sarang burung walet. Sementara penghuni aslinya sudah pindah ke Semarang atau Jakarta untuk berbisnis lebih besar. “Ada yang mengatakan kalau Lasem ini sudah ditinggalkan warganya karena untuk berusaha sudah kurang bagus,” kata Toro, pengurus Fokmas.

Saat festival klenteng kemarin, Fokmas sempat berbincang dengan Persatuan Warga Lasem (Pewala), mengangkat masalah Lasem yang terus menerus ditinggalkan warganya. Sejenak, saya bisa merasakan nelangsanya kota ini.

Ketika dengan ojek saya mencari di mana sebenarnya gapura batas kota yang biasa ditandai dengan tulisan selamat datang atau selamat tinggal. Tidak ada satu pun. Seolah kota ini memang sekadar kota singgah, siap ditinggalkan kapan saja oleh warganya.

Negara-Bangsa dalam Sejarah Islam

Kaum Muslimin di sepanjang histori mengalami berbagai bentuk pemerintahan.

SELENGKAPNYA

Suara Hati Pramugari yang Dilarang untuk Berjilbab

Mereka mendapatkan informasi ketika wawancara rekrutmen awal bahwa jilbab belum boleh dikenakan.

SELENGKAPNYA

Seabad Observatorium Astronomi Modern Indonesia

Teleskop sepanjang 11 meter yang didatangkan dari Jerman dan mulai beroperasi sejak tahun 1928 tersebut menjadi alat pengamatan bintang terbesar serta menjadi ikon observatorium itu.

SELENGKAPNYA