
Sehat
Cacingan, Disepelekan tapi Bisa Berujung Kematian
Secara nasional, ada sebanyak 2,8 persen balita di Indonesia menderita cacingan pada 2021.
Cacingan, termasuk salah satu penyakit yang kerap dianggap sepele. Padahal, Journal of Nutrition pada 2019 dari Universitas Diponegoro Semarang mengungkapkan, Indonesia memiliki angka prevalensi kecacingan sebesar 45 persen-65 persen.
Kecacingan juga dapat mengakibatkan anemia, penurunan status gizi, pertumbuhan terahambat, hingga penuruan kemampuan kognitif. Faktor utama penularan penyakit kecacingan atau cacingan, adalah kontak dengan tanah.
Lantas bagaimana dengan orang di perkotaan yang umumnya jarang bermain tanah seperti anak di perdesaan?
Dokter Ayodhia Pitaloka Pasaribu, anggota UKK Infeksi Tropik IDAI, mengatakan memang kalau seseorang tidak sering berkontak dengan tanah, risiko kecacingan itu hanya sedikit.
Namun, tidak berarti risiko itu hilang di perkotaan. “Saya meyakini Jakarta, misalnya, masih memiliki kecacingan di wilayah perifer cukup banyak. Belum dilakukan penelitian karena biasanya meneliti ke desa, tapi harusnya ada dan lebih baik untuk mengevaluasi data supaya lebih pasti,” kata Ayodhia dalam webinar IDAI, Jumat (3/2/2023).

Namun, satu temuan yang dipublikasikan jurnal Unpad pada 2020, menemukan 7,3 persen dari 82 anak mengalami kecacingan di sekolah dasar (SD) Jakarta Utara. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui prevalensi kecacingan dan status gizi setelah kampanye pemberantasan cacing di SDN 6 Cilincing, Jakarta Utara.
Dokter Ayodhia melanjutkan, ketika ada tanah gembur dan lembap, risikonya menjadi sama di wilayah mana pun. Prevalensi kecacingan dari setiap provinsi, umumnya ditemukan di wilayah penduduk kurang mampu dan dengan sanitasi kurang baik.
Risiko terkena cacingan bisa karena lupa mencuci tangan sebelum makan setelah kontak dengan tanah, tidak menggunakan alas kaki. Kemudian bisa dari kuku, dan ketika mengonsumsi tanaman atau sayuran yang tidak dicuci bersih.

Baik pada anak prasekolah maupun anak sekolah, telah dilakukan studi di suatu wilayah dengan prevalensi tinggi. Ditemukan bahwa wilayah perkebunan memang memiliki angka paling tinggi.
“Karena ibu membawa anaknya ke ladang, di Karo, Sumatra Utara, kita dapatkan anak yang kurang dari empat tahun mengalami kecacingan sebanyak 34,4 persen, lebih tinggi dari Sulawesi Barat (Sulbar--Red),” kata dia.
Secara nasional, ada sebanyak 2,8 persen balita di Indonesia menderita kecacingan pada 2021. Sulawesi Barat memiliki prevalensi tinggi sekitar 12,2 persen dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 12 persen.
Hambat pertumbuhan
Penyakit kecacingan juga kerap dianggap sepele karena dianggap tidak menyebabkan kematian langsung. Padahal, kecacingan sangat berdampak besar menurunkan kualitas hidup, terlebih jika sudah banyak orang mengalaminya secara kronis, berulang, akan menurunkan kualitas suatu negara.
Ayodhia mengatakan, dampak kecacingan bisa menghambat perkembangan fisik dan menyebabkan kerugian kebutuhan zat gizi. Tubuh penderitanya sama-sama berkompetisi dengan cacing untuk menyerap kalori dan protein. “Kalau cacing gelang paling sering mengambil kalori dan protein, sehingga bisa menyebabkan gizi buruk,” katanya.
Kecacingan juga dapat menghambat perkembangan fisik sehingga menyebabkan stunting jika infeksi terjadi secara berulang. Infeksi kecacingan dapat mengurangi kecerdasan dan produktivitas kerja.
Maka itu, jika hendak memberantas stunting, salah satunya bisa dengan menurunkan kejadian kecacingan. Salah satu kasus kecacingan yang mengancam jiwa juga dapat terjadi ketika pasien mengalami sesak napas karena penyakit ini bisa mengenai paru-paru.
Jika lambat diketahui bahwa itu akibat kecacingan, tentu berbahaya. Pasien yang mengalami sesak itu akhirnya ketahuan kecacingan setelah muntah atau mengeluarkan cacing dari hidung.

Jenis cacing cambuk dan tambang menghisap darah, dengan satu cacingnya bisa mengisap 0,05 cc sampai 0,01 cc per harinya. Bisa dibayangkan jika ada banyak cacing tambang yang mengisap darah di tubuh, akan menyebabkan anemia, kurang zat besi sehingga menurunkan kecerdasan dan produktivitas kerja.
Terdapat kasus pasien memiliki nilai hemoglobin rendah, yaitu hb 3 gram/dL karena suatu infeksi cacing tambang. Begitu juga, cacing cambuk bisa masuk ke dalam usus dengan sebagian besar tubuhnya sehingga menyebabkan pasien kehilangan darah.
“Memang kita tidak bicara kematian, tapi problem morbiditas dan menurunkan kualitas hidup, sehingga ada metode menghitung infeksi menurunkan hilangnya waktu produktif 39 juta kali,” kata Ayodhia.
Jika kecacingan dibiarkan terus berlangsung, kualitas negara tentu tidak akan maksimal. Penting untuk selalu melakukan aksi pencegahan dari sekarang agar menurunkan prevalensi pada anak sekolah dan prasekolah, yang hendak menjadi tulang punggung pada masa yang akan datang.
Cacingan, menurut Ayodhia, umumnya lebih bangak dialami di negara dengan iklim tropis. Gejala kecacingan bisa tidak terlihat apabila cacing yang masuk ke dalam tubuh masih sedikit. “Apabila ditemukan sumbatan pada usus, perlu dilakukan operasi untuk mengeluarkan cacing yang terlalu banyak,” kata.
Jika cacing di tubuh sudah banyak, akan mulai muncul gejala yang dirasakan penderita. Dalam skala moderat, gejala yang dirasakan seperti tidak enak di saluran cerna, dan ada mual muntah.
Cap Go Meh Ala Indonesia di Bogor
Puluhan ribu warga yang hadir memadati sisi jalan kawasan pecinan ini.
SELENGKAPNYA