Sunarsip | Daan Yahya/Republika

Analisis

Outlook IMF Vs Bank Dunia: Mitos Resesi Global?

Outlook IMF atau Bank Dunia yang perlu dipercaya sebagai acuan resesi global?

Oleh SUNARSIP

OLEH SUNARSIP

Memprediksi di tengah ketidakpastian yang diakibatkan oleh faktor-faktor di luar kendali ekonomi memang tidak mudah. Dapat dikatakan bahwa prediksi meleset menjadi hal yang lumrah dalam situasi seperti ini. Dan kalau pun prediksinya tepat, bisa jadi itu sebuah kebetulan, belum tentu mencerminkan kehebatan yang membuat prediksi.

Prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia adalah contoh prediksi yang memperlihatkan betapa tidak mudahnya membuat prediksi di tengah ketidakpastian tersebut. Dua lembaga internasional --yang konon selalu menjadi rujukan dalam memproyeksikan kondisi ekonomi global-- pada Januari 2023 ternyata mengeluarkan outlook dengan arah (stance) yang cenderung bertolak belakang (lihat Tabel).

Tabel: Outlook Ekonomi Global 2022-2023 Menurut Berbagai Lembaga Internasional (%). Data diolah Sunarsip. - (IMF, World Economic Outlook (Jan-23); World Bank)

Pada 10 Januari 2023, Bank Dunia mengeluarkan outlook-nya untuk proyeksi ekonomi global pada 2023 dengan stance yang cenderung pesimistis. Bank Dunia memproyeksikan ekonomi global pada 2023 hanya tumbuh 1,7 persen, turun 1,3 persen dibanding outlook yang dibuatnya pada Juni 2022.

Tidak lama berselang, pada 30 Januari 2023, IMF menerbitkan outlook-nya terhadap proyeksi ekonomi global 2023 justru lebih optimistis dibanding outlook sebelumnya. Pada rilis outlook Januari 2023, IMF memproyeksikan ekonomi global 2023 tumbuh 2,9 persen, naik 0,2 persen dibanding proyeksi yang dibuat pada Oktober 2022.

Bank Dunia memiliki periodisasi penerbitan outlook setahun dua kali, yaitu pada Januari dan Juni. Sedangkan, IMF memiliki periodisasi penerbitan outlook setahun 4 kali, yaitu pada Januari, April, Juli, dan Oktober.

Perbedaan stance yang mendasar dalam outlook dari kedua lembaga internasional yang konon dinilai paling kredibel tersebut tentu menjadi pertanyaan, sekaligus menimbulkan kebimbangan. Terlebih, kedua lembaga ini memiliki akses kepada para pemimpin negara-negara sehingga pandangannya bisa mempengaruhi sikap pemimpin suatu negara terhadap perekonomiannya.

Pertanyaannya, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Lalu, outlook siapa yang perlu dipercaya sebagai acuan?

Harus diakui bahwa perbedaan outlook antara IMF dan Bank Dunia ini merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Perbedaan outlook di antara keduanya biasanya hanya terjadi terbatas pada besarnya angka pertumbuhan, tidak sampai terjadi pada stance.

 
Bila stance IMF optimistis, Bank Dunia juga optimistis. Namun, dalam outlook kali ini terjadi pengecualian.
 
 

Stance proyeksi biasanya cenderung sejalan. Misalnya, bila stance IMF optimistis, Bank Dunia juga optimistis. Namun, dalam outlook kali ini terjadi pengecualian. Meskipun keduanya menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi global 2023 melambat dibanding tahun lalu, IMF memiliki stance yang lebih optimistis, dan sebaliknya Bank Dunia cenderung pesimistis.

Pada akhirnya, outlook mana yang akan kita pilih sebagai acuan sedikit banyak akan dipengaruhi oleh “selera” kita, termasuk berbagai informasi yang turut membentuk pandangan kita. Dalam posisi ini, saya lebih mempercayai outlook IMF, konsisten dengan analisis saya di harian ini sebelumnya. Lihat berikut Konservatisme Ekonomi Global dan Sektor Energi 2023.

Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi mengapa saya lebih memilih stance IMF dalam melihat prospek ekonomi global dan terutama ekonomi Indonesia. Saya yakin bahwa IMF dan Bank Dunia telah hati-hati menetapkan parameter yang digunakan ketika menyusun outlook-nya.

Perkiraan saya, perbedaan kesimpulan akhir antara IMF dan Bank Dunia kemungkinan disebabkan pendekatan yang berbeda. Tampaknya, Bank Dunia lebih konservatif dalam melihat berbagai perkembangan positif yang terjadi saat ini.

Sedangkan, IMF melihat berbagai perkembangan positif yang terjadi saat ini merupakan hal yang realistis dan berpeluang berlanjut tahun ini. Pertanyaannya, perkembangan positif apa yang dimaksud?

 
Pertanyaannya, perkembangan positif apa yang dimaksud?
 
 

Pertama, sejak kuartal III 2022 memang terlihat Eropa yang sejak perang Rusia-Ukraina terjadi menjadi episentrum krisis global mulai menemukan solusi terkait krisis energi yang dialaminya. Eropa bergantung sekali pada pasokan gas dari Rusia. Akibat gas Rusia terhambat, sejumlah industri berhenti beroperasi dan aktivitas ekonomi terganggu.

Namun, ekonomi Eropa pada kuartal III 2022 dan kuartal IV 2022 ternyata tumbuh melebihi banyak prediksi. Secara keseluruhan, Eropa tumbuh 3,5 persen selama 2022, lebih tinggi dibanding proyeksi IMF pada Oktober 2022 sebesar 3,1 persen dan pada Juli 2022 sebesar 2,6 persen.

Kinerja yang lebih baik ini memperlihatkan aktivitas ekonomi dan industri mulai membaik dan itu berarti berbagai hambatan produksi mulai dapat diatasi. Saya memperkirakan untuk menghidupkan perekonomiannya, Eropa kemungkinan terpaksa menghidupkan kembali instalasi-instalasi energinya yang berbasis fosil (misalnya, pembangkit batu bara).

Hal ini menjadi ongkos yang harus dibayar Eropa karena itu berarti kemunduran bagi komitmen Eropa di bidang green energy. Perkiraan saya, kemajuan Eropa terkait pertumbuhan ekonomi dinilai belum berkelanjutan (sustainable) sehingga kurang cukup menyakinkan bagi Bank Dunia untuk menjadikannya sebagai pertimbangan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Eropa lebih optismistis.

Kedua, Amerika Serikat (AS) bahkan lebih maju dalam mengatasi persoalan ekonominya, terkait energi dan gangguan mata rantai pasokan (supply chain disruption). Meskipun ikut terdampak akibat perang Rusia-Ukraina, AS tidak mengalami krisis energi sebagaimana Eropa.

AS hanya terdampak pada sisi harga (terkerek naik), tapi pasokan tidak terganggu karena AS memiliki sumber pasokan sendiri. Selain, sebagai importir minyak terbesar di dunia, AS juga salah satu produsen minyak terbesar di dunia.

Terlebih dengan kekuatan (politik dan ekonomi) yang dimilikinya, AS juga dapat “menekan” negara produsen minyak lainnya untuk memasok kebutuhan minyak, termasuk gas, bagi perekonomiannya. 

AS juga kini mulai mampu mengatasi isu supply chain disruption yang dalam dua tahun terakhir cukup mengganggu aktivitas industrinya, karena menyebabkan lonjakan biaya produksi yang pada akhirnya mendorong kenaikan inflasi (cosh-push inflation).

Namun, belakangan ini, isu supply chain disruption tersebut mulai dapat diatasi. Hal ini antara lain terlihat dari biaya pengapalan barang (cost shipping) yang harus dibayar oleh industri AS yang semakin turun. Dan, kini telah kembali pada level sebelum krisis pandemi. (Lihat Gambar).

Biaya Pengapalan Antara Amerika Serikat dengan Cina. Data diolah Sunarsip. - (CME Group, Investor Expectations for Inflation: Upside, Downside Risks, 26 Oktober 2022)

Kemampuan Eropa dan AS dalam mengatasi persoalan energi dan supply chain terbukti turut membantu mengurangi tekanan inflasi. Inflasi di Eropa pada Januari 2023 lalu menjadi 8,5 persen (year on year, yoy) turun dibanding posisi November dan Desember 2022 yang masing-masing 10,1 persen (yoy) dan 9,2 persen (yoy).

Inflasi AS juga konsisten turun dari 9,1 persen (yoy) pada Juni 2022 menjadi 6,5 persen (yoy) pada Desember 2022. Keberhasilan menekan inflasi ini tentunya menjadi sinyal bahwa era uang ketat (tight money policy) mulai dapat dikurangi sehingga memberikan peluang bagi perekonomian Eropa dan AS untuk dapat tumbuh positif di 2023.

 
Kemampuan Eropa dan AS dalam mengatasi persoalan energi dan supply chain terbukti turut membantu mengurangi tekanan inflasi.
 
 

Ketiga, di antara yang paling menjadi pembeda antara outlook Bank Dunia dan IMF adalah faktor Cina. IMF jauh lebih optimistis dalam melihat ekonomi Cina.

Pada outlook Januari 2023, IMF memproyeksikan ekonomi Cina akan tumbuh 5,2 persen pada 2023, naik 0,8 persen dibandingkan outlook Oktober 2022 sebesar 4,4 persen. Outlook IMF ini kontras dengan Bank Dunia yang pada Januari 2023 justru menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Cina menjadi 4,3 persen, turun 0,9 persen dibandingkan outlook-nya pada Juni 2022.

Prediksi saya, IMF dalam outlook-nya di Januari 2023 telah memasukan kebijakan dibukanya kembali mobilitas manusia dan barang (reopening policy) sebagai parameter dalam menyusun proyeksinya.

Selain melakukan reopening, Cina sebenarnya relatif lebih maju dalam merespons kinerja perekonomiannya yang melambat pada tahun lalu. Sejak November 2022, regulator keuangan Cina telah mengeluarkan kebijakan relaksasi di sektor properti.

 
Melalui kebijakan relaksasi itu, kini perusahaan properti di Cina kembali diizinkan melakukan fund raising di pasar modal.
 
 

Melalui kebijakan relaksasi itu, kini perusahaan properti di Cina kembali diizinkan melakukan fund raising di pasar modal, meski masih terbatas pada instrumen berbasis equity (modal saham). Meskipun diperkirakan belum terlalu signifikan pengaruhnya bagi akselerasi kinerja sektor properti di Cina, tapi kebijakan relaksasi ini diperkirakan memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi, melengkapi kebijakan reopening.

Cina merupakan salah satu penggerak perekonomian dunia. Perbaikan ekonomi Cina juga akan mengerek ekonomi dunia tumbuh lebih baik. Nah, membaiknya proyeksi ketiga jangkar ekonomi dunia (AS, Eropa, dan Cina) tentunya akan turut mendorong kenaikan pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Indonesia akan terbantu dengan kenaikan kinerja ketiga jangkar ekonomi dunia tersebut. Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang relatif besar dengan ketiganya.

Ekspor Indonesia kepada ketiga jangkar ekonomi dunia itu mencapai sekitar 40 persen terhadap total ekspor kita. Membaiknya ekonomi Eropa dan AS, misalnya, akan mendorong kembali ekspor tekstil dan produk tekstil di kawasan tersebut yang dua tahun terakhir dapat dikatakan mati. Membaiknya ekonomi Cina juga akan meningkatkan ekspor Indonesia terutama pada komoditas olahan mineral, logam, pertanian, dan batu bara.

Dengan melihat kedua outlook itu: akankah resesi ekonomi global justru akan menjadi mitos belaka?

Tentu agak gegabah bila kemudian berkesimpulan seperti itu. Namun demikian, seperti yang telah saya ulas pada analisis sebelumnya, ekonomi dunia memang masih sulit di 2023.

Namun demikian, dengan berbagai perkembangan positif yang terjadi saat ini, kita lebih optimistis target pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5 persen pada 2023 dapat dicapai. Lihat berikut Dunia Gelap Beruntung Kita Indonesia.

Seabad Observatorium Astronomi Modern Indonesia

Teleskop sepanjang 11 meter yang didatangkan dari Jerman dan mulai beroperasi sejak tahun 1928 tersebut menjadi alat pengamatan bintang terbesar serta menjadi ikon observatorium itu.

SELENGKAPNYA

Ikhlas, Engkau Harapan Kami

Sungguh sulit mencari pemimpin semacam ini.

SELENGKAPNYA

Teguran dari Langit tentang Adab

Ada kejadian cara beradab di zaman Nabi SAW yang langsung ditegur oleh Allah SWT.

SELENGKAPNYA