
Jelajah
Jejak ‘Darah Ayam’ dari Canting
Keindahan batik Lasem konon bisa menyembuhkan hati yang gelisah.
OLEH STEVY MARADONA
Rifa’i menarik selembar batik Lasem corak lawasan berwarna merah tua penuh dengan hiasan rumit. Ia mengelus batik itu, membuka lipatannya.
“Orang seni itu, mbuka lemari ada batik seperti ini, lupa mereka kalau punya utang,” katanya di tengah meja-meja penuh batik.
Di beranda rumah candu yang dibangun abad ke-18 di Desa Soditan, Kecamatan Lasem, Rifa’i dan Ma’shum Ahadi membuka cerita tentang legenda batik Lasem. Keduanya adalah generasi baru pengusaha batik Lasem. Kami berbincang-bincang soal batik sementara sejumlah pengunjung wira-wiri menawar berlembar-lembar kain berwarna yang menakjubkan itu.
Rifa’i bercerita lagi tentang satu pelanggannya yang mengoleksi batik-batik Lasem tua berharga jutaan hingga belasan juta rupiah. Kain-kain itu tidak dijadikan pakaian. Hanya ditumpuk di dalam lemari, dibuka di waktu-waktu tertentu. “Dia itu cuma mencium bau batik Lasem saja sudah bahagia,” katanya.

Bagi awam, tampaknya ajaib bila dengan membuka lipatan batik bisa hilang resah gelisah seharian. Tapi tunggu dulu, yang kita bicarakan ini adalah batik Lasem. Batik yang di hierarki perbatikan nusantara menduduki salah satu yang tertinggi dan paling istimewa.
Puncak kekaguman
Orang-orang selalu mengagumi corak dan warna batik Lasem. Batik Lasem seluruhnya adalah batik tulis. Seluruh produksi lahir dari tangan-tangan perempuan (sangat jarang laki-laki) yang bekerja dengan telaten dan sabar.
Kemudian, warna merahnya dikagumi. Merahnya tidak cerah tapi tegas. Pembatik Lasem mengatakan merah mengkudu atau getih pitik (merah darah ayam) tidak bisa ditemukan di sentra batik lain.

Salah satu sebabnya, menurut Rifa’i, adalah bahan pewarna alami dan air Lasem. Semakin tua kain batik maka warna merah atau warna dasar lainnya akan semakin terang muncul di kain. Ini semakin mempertegas hiasan di kain itu.
Motif batik Lasem juga khas. Motif lawasan (tua) banyak dari kisah atau tokoh Cina yang dipadukan dengan goresan geometris Jawa. Perpaduan ini, ditambah warna-warna yang tegas membuat batik Lasem bisa langsung dikenali di antara batik dari daerah lain.
Belakangan, warna dan corak batik Lasem ini sedikit bergeser. Pengusaha seperti Ma’shum dari Dampo Awang Batik, misalnya, berani memadukan warna-warna pastel yang lembut. Hasilnya tetap menakjubkan dan indah dipandang.

Rahasia dibawa mati
Legenda batik Lasem sama tuanya dengan kota kecamatan ini. Menurut Babad Badra Santi (satu-satunya sumber tertulis sejarah Lasem yang paling banyak dikutip), batik Lasem datang bersamaan dengan nakhoda kapal Laksamana Cheng Ho, Bi Nang Un sekitar abad ke-15.
Istri sang nakhoda, Na Li Ni, berasal dari wilayah Campa (sekarang sekitar Kamboja-Vietnam). Dari tangan sang istrilah para perempuan Lasem ketika itu mulai menggambar kain dengan canting.
Sejalan dengan perkembangan penduduk Lasem yang merupakan perpaduan etnis Cina dan Jawa, batik hidup di antara mereka. Pengusaha Cina dan Jawa berbisnis batik. Bedanya, menurut Rifa’i, dahulu persaingan bisnis sangat keras.
Saking kencangnya persaingan, para pengusaha melarang tamu atau rivalnya untuk menatap batik jualannya lama-lama karena takut ditiru.
Bila ada kepala keluarga yang menjadi juragan batik, sejak jauh hari ia sudah memantau siapa anak-anaknya yang bakal menjadi penerus. Kalau sang juragan tak menemukan calon penerus, “Rahasia warna, motif, dan goresan batik itu ia bawa mati,” kata Rifa’i menambahkan.

Gara-gara itu, nasib batik Lasem terlunta-lunta. Ditambah lagi generasi muda Lasem yang ogah terjun ke industri batik. Mereka memilih untuk menjadi PNS atau pedagang.
Kebangkitan batik Lasem mulai terjadi sejak 1990-an akhir. Tercatat saat ini ada 50 perajin batik di Kecamatan Lasem. Padahal, pada 2008 hanya 15 orang. Muncul Batik Village Areas di Desa Sumber Girang.
Lalu, berapa sih harga batik Lasem yang legendaris ini? Untuk batik standar, misalnya, ada yang cukup murah seharga Rp 100 ribu.
Batik khusus atau lawasan, harganya bisa bikin pusing. Selembar kain merah yang dibuka Rifa’i di awal tulisan ini harganya Rp 5 juta. Ia pernah menjual batik termahal seharga Rp 20 juta.
Namun, rekor termahal mungkin masih di tangan batik dari Maranatha milik mendiang Naomi, salah satu pelopor batik Lasem. Selembar batiknya ditawar Rp 100 juta, dan Naomi bersikeras tidak mau menjualnya. Yah, itulah batik Lasem!
Disadur dari harian Republika edisi 13 Mei 2012
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Negara-Bangsa dalam Sejarah Islam
Kaum Muslimin di sepanjang histori mengalami berbagai bentuk pemerintahan.
SELENGKAPNYASeabad Observatorium Astronomi Modern Indonesia
Teleskop sepanjang 11 meter yang didatangkan dari Jerman dan mulai beroperasi sejak tahun 1928 tersebut menjadi alat pengamatan bintang terbesar serta menjadi ikon observatorium itu.
SELENGKAPNYACahaya Biru Gawai dan Kacaunya Ritme Tidur Kita
Cahaya biru menipu otak untuk berpikir bahwa ini siang hari, serta harus terjaga dan waspada.
SELENGKAPNYA