
Refleksi
Marxisme dan Marhaenisme: Kegagalan Historis
pada dataran global marxisme atau komunisme sebagai ideologi sebenarnya sudah tamat.
Oleh AHMAD SYAFII MAARIF
OLEH AHMAD SYAFII MAARIF
Mungkin tidak banyak gunanya kita memperdebatkan lagi tentang bahaya marxisme atau pun bahaya marhaenisme pada tingkat perkembangan sejarah Indonesia di akhir abad ke-20 ini. Apalagi itu lebih dirangsang oleh pidato Presiden tentang bahaya Komas (komunisme, marhaenisme, sosialisme) baru-baru ini.
Ini disebabkan, pada dataran global marxisme atau komunisme sebagai ideologi sebenarnya sudah tamat, dan di abad ke-21 diperkirakan sudah harus dimasukkan ke dalam museum sejarah untuk selama-lamanya. Ideologi sekuler ini gagal memenuhi janji-janjinya untuk menegakkan keadilan dan melawan kemiskinan di muka bumi. Janji-janji itu hanyalah enak didengar sebagai retorika politik, khususnya di telinga mereka yang tertindas dan telantar.
Dalam perspektif ini, kalau masih ada teman-teman dan anak-anak muda yang masih terpukau dan terbuai oleh ideologi ini, mereka tidak perlu dihujat. Untuk apa dihujat, kalau mereka memang lebih senang dimasukkan ke dalam museum sejarah bersama ideologi yang telah gagal itu?
Pada dataran global marxisme atau komunisme sebagai ideologi sebenarnya sudah tamat.
Marhaenisme ciptaan Bung Karno juga bernasib lebih kurang sama dengan marxisme yang mengilhaminya, kemudian dikaitkan dengan kondisi Indonesia sewaktu masih dijajah. Yang menarik untuk dicatat ialah bahwa marhaenisme, apa pun definisi yang disandangkan kepadanya, adalah ideologi yang telah gagal mengisi kemerdekaan Indonesia.
Kegagalan itu justru di tangan penciptanya sendiri yang tersiksa di akhir hayatnya. Bung Karno bersama generasinya memang berjasa besar dalam mematahkan bangunan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia.
Tetapi untuk membangun politik dan ekonomi bangsa, warisan Bung Karno hanyalah kegagalan yang hampir total. Oleh sebab itu adalah kewajiban bangsa ini untuk merumuskan kembali bersama-sama sebuah ideologi yang lebih segar dan workable di atas landasan Pancasila yang ditafsirkan secara jujur, kreatif, dan kritis.
Penafsiran monolitik seperti yang berlaku sejak Dekrit 5 Juli 1959 harus dijauhi.
Penafsiran monolitik seperti yang berlaku sejak Dekrit 5 Juli 1959 harus dijauhi, karena itu semua hanyalah akan membuahkan malapetaka sejarah. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Periode Orde Baru (1966-1998) adalah bukti yang gamblang tentang malapetaka itu.
Apakah kita akan mengulang kembali malapetaka ketiga yang mungkin lebih dahsyat? Sementara itu orang tidak boleh pula menutup mata bahwa Islam yang dijadikan ideologi politik oleh sementara partai juga tidak akan kebal dari kegagalan demi kegagalan, sebab agama lebih merupakan kendaraan politik ketimbang acuan moral bagi para pendukungnya.
Kalau ada perkecualian untuk kasus Indonesia, maka kita harus menyebut Masyumi (1945-1960) yang relatif berhasil mengintegrasikan moral agama dengan perangai politik tokoh-tokohnya. Partai ini pun harus meninggalkan gelanggang karena gagal menghadapi kekuatan budaya politik otoriter-feodalistik pada masa Demokrasi Terpimpin.
Pada dataran empirisme-historis, Masyumi Natisr-Soekiman-Prawoto memang punya ideologi yang jauh lebih unggul.
Pada dataran empirisme-historis, Masyumi Natisr-Soekiman-Prawoto memang punya ideologi yang jauh lebih unggul dibandingkan marhaenisme Soekarno-Sidik Djojosoekarto-Ali Sastroamidjojo. Tetapi harus pula diingat, yang unggul ini pun, belum berhasil membawa Indonesia keluar dari berbagai kemelut politik dan ekonomi.
Tampaknya kita semua harus dengan rendah hati untuk kembali merumuskan sebuah ideologi terbuka yang lebih lentur dengan akar kultural-relijius yang mendalam dan mantap. Ini semua hanya mungkin dikerjakan oleh para pemikir dan negarawan, bukan oleh para politisi yang visi dan perhatiannya hanyalah berkutat di sekitar pemilihan umum.
Pertanyaan saya adalah: Punyakah kita pemikir dan negarawan yang dimaksud pada tahap perkembangan sejarah Indonesia sekarang ini? Mudah-mudahan jawabannya positif. n
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 17 Mei 1999. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.
Ekonomi Kerakyatan Dan Dinamika Perubahan (II/Habis)
Kebijakan apa pun kalau dibuat dan dijalankan secara tertutup akan menyebabkan distorsi.
SELENGKAPNYANasib Janji Politik Bidang Pendidikan
Tidak mudah merealisasikan amanah konstitusi dan janji politik bidang pendidikan.
SELENGKAPNYA