Adi Sasono | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Ekonomi Kerakyatan Dan Dinamika Perubahan (II/Habis)

Kebijakan apa pun kalau dibuat dan dijalankan secara tertutup akan menyebabkan distorsi.

Oleh ADI SASONO

OLEH ADI SASONO

Landasan bagi kebijakan ekonomi di masa depan harus disusun menurut perspektif menyeluruh atas kekuatan-kekuatan yang membentuk kondisi kita sekarang ini. Kondisi objektif itu dapat diringkaskan dalam pokok-pokok pikiran berikut ini:

1. Segala bentuk korupsi yang menyebabkan biaya transaksi tinggi terjadi sebagai akibat dari sistem yang tertutup dan protektif. Tanpa kelembagaan yang memiliki derajat akutabilitas dan prediktabilitas yang tinggi, perekonomian akan tumbuh sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter "Kapitalisme dalam tenda oksigen". Apa yang terjadi di balik tenda tidak sungguh-sungguh nyata. Pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari ilusi belaka. Apabila kelembagaan demokratis gagal mengendalikan keserakahan penguasa, semua mimpi pada waktunya akan sirna.

2. Pengusaha-pengusaha yang tangguh tidak dilahirkan dari rekayasa atau sistem preferensi. Hanya pergulatan dalam pasar yang akan memberikan kita industrialis dan pengusaha yang dapat kita banggakan. Sistem preferensi hanya akan mengukuhkan eksistensi elit dan mengekalkan sistem proteksi, yang dalam jangka panjang justru merusak sendi-sendi ekonomi dan demokrasi masyarakat kita.

 

 
Apabila kelembagaan demokratis gagal mengendalikan keserakahan penguasa, semua mimpi pada waktunya akan sirna.
 
 

 

3. Kenaikan standar hidup rakyat harus dilihat sebagai bagian pembentukan modal nasional (capital accumulation). Ini berarti tujuan pokok dan terus-menerus dari kebijaksanaan ekonomi kita adalah peningkatan purchasing power dari rakyat. Pelajaran ini sangat penting bahwa di masa depan kekukuhan ekonomi nasional harus ditemukan di dalam potensi besar yang dimiliki masyarakat luas, yaitu usaha kecil dan menengah.

4. Krisis Ekonomi 1997-1998 menunjuk kepada pentingnya memperhitungkan kekuatan eksternal yang semata bekerja menurut hukum ekonomi pasar, dan indiferen terhadap dampak kepada kemanusiaan. Kekuatan modal yang menyerbu pasar uang Asia Selatan amatlah besar dan tidak pernah ada preseden sebelumnya menyangkut pengerahan dana sebanyak itu. Para fund managers yang berada di balik pengerahan dana besar-besaran itu berhasil mengeruk keuntungan amat besar dengan meninggalkan ribuan industri bangkrut dan jutaan pengangguran baru.

5. Fokus kebijaksanaan ekonomi adalah usaha kecil/menengah (UKM). Kalau kita menuntut pemerintah menaruh fokus kepada usaha kecil/menengah bukanlah karena kita ingin menciptakan sistem preferensi baru. Dengan menaruh perhatian kepada UKM tidak berarti pemerintah bertindak unfair, sehingga dikhawatirkan nantinya bakal mendistorsi pasar.

 

 
Fokus kebijaksanaan ekonomi adalah usaha kecil/menengah (UKM).
 
 

 

Substansi pokok ilmu ekonomi adalah memperbesar manfaat (utility). Manfaat adalah value, yang dalam ilmu ekonomi adalah subjektif. Bagi seorang petani desa, pendapatan Rp 1 juta sudah cukup untuk mencetak 5 anaknya menjadi sarjana. Tetapi uang sebesar ini bagi seorang konglomerat, barangkali hanya cukup untuk sekali makan siang.

6. Persoalan yang juga akut menyangkut pengembangan usaha kecil dan menengah adalah terjebaknya usaha kecil dan menengah di dalam kelumpuhan sumberdaya. Keadaan mereka yang miskin, ketakpastian dan risiko yang tinggi praktis telah mengasingkan mereka dari sumber-sumber modal, keahlian, informasi dan peluang bisnis. Tidak seluruh kelemahan usaha kecil/menengah berasal dari kelemahan internal mereka.

Kesalahan kebijakan yang melahirkan konsentrasi kekuasaan dan ekonomi mempunyai andil yang tidak kecil atas keterpurukan UKM. Modal, keahlian, informasi dan pasar adalah komoditi ekonomi yang senantiasa bergerak menuju lokasi dengan potensi keuntungan tertinggi. Selama kebijakan tidak memberi advantage kepada UKM, semua sumberdaya itu hanya akan bergerak ke arah usaha besar. Hanya dengan memberi advantage kepada UKM maka kesenjangan dapat dijembatani.

7. Fokus kebijaksanaan ekonomi kepada Usaha Kecil Menengah merupakan suatu keharusan apabila kita memperhatikan mereka adalah mayoritas pelaku usaha di Indonesia seperti tecermin dalam data berikut. Data BPS Desember 1998 menunjukkan adanya 39,8 juta pengusaha di Indonesia, di mana 99,8 persen adalah pengusaha kecil dan hanya 0,2 persen pengusaha besar dan menengah.

 

 
Kesalahan kebijakan yang melahirkan konsentrasi kekuasaan dan ekonomi mempunyai andil yang tidak kecil atas keterpurukan UKM.
 
 

 

Dari jumlah 39,8 juta di atas, komposisi sektoral adalah pertanian 62,7 persen, perdagangan, perhotelan dan restoran 22,67 persen, industri 5,7 persen dan Jasa sebesar 3,9 persen. Dari komposisi volume usaha, sejumlah 99,85 persen volume usahanya di bawah 1 miliar, 0,14 persen di antara 1-50 miliar, dan 0,01 persen yang di atas 50 miliar. Dari komposisi penyerapan tenaga kerja, kelompok pertama tersebut menyerap 88,66 persen, kelompok kedua menyerap 10,78 persen dan yang ketiga menyerap 0,56 persen.

8. Apakah kebijaksanaan serupa itu akan mendistorsi pasar? Distorsi adalah keadaan ketika pelaku ekonomi keliru menafsirkan sinyal pasar. Ketika seharusnya ia membeli, malah menjual. Sebaliknya, saat seharusnya ia menjual malah membeli. Distorsi tidak disebabkan oleh policy, betapapun buruknya policy itu. Distorsi ditimbulkan oleh ketidakterbukaan.

Kebijakan apa pun kalau dibuat dan dijalankan secara tertutup akan menyebabkan distorsi. Keadaan ini terjadi akibat ada informasi yang asymmetric, sebagian orang tahu sementara yang lain tidak tahu. Akibatnya sebagian pelaku akan bertindak optimal sementara yang lain tidak. Jadi, masalahnya bukankah kebijaksanaan apa, tetapi apakah semua orang punya informasi yang sama?

Menyimak itu semua, maka ekonomi jaringan adalah antitesis dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi massal ala Taylorism, dan sekaligus sintesa dari ketiga faktor yang telah dijelaskan (realitas bangsa yang mayoritas pelaku usahanya adalah usaha kecil menengah, faktor pendorong global dan pasar bebas, serta dorongan revolusi teknologi informasi).

 

 
Kebijakan apa pun kalau dibuat dan dijalankan secara tertutup akan menyebabkan distorsi.
 
 

 

Memperhatikan berbagai faktor internal dan eksternal seperti dijelaskan sebelumnya, maka ekonomi kerakyatan perlu dipahami secara komprehensif, tidak sepotong-sepotong, dalam sebuah kerangka "close-circuit economy" yang sesuai dengan perkembangan paradigma baru masyarakat yang holistik.

Secara singkat, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan sebagai berikut:

* Ekonomi jaringan yang menghubung-hubungkan sentra-sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jaringan pasar domestik di antara sentra dan pelaku usaha masyarakat.

* Suatu jaringan yang diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga-lembaga bisnis internasional, dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik.

* Jaringan tersebut menerapkan sistem open consumer society cooperatives (koperasi masyarakat konsumen terbuka), di mana para konsumen adalah sekaligus pemilik dari berbagai usaha dan layanan yang dinikmatinya, sehingga terjadi suatu siklus kinerja usaha yang paling efisien karena pembeli adalah juga pemilik sebagaimana iklan di banyak negara yang menganut sistem kesejahteraan sosial masyarakat (welfare state) dengan motto: ''belanja kebutuhan sehari-hari di toko milik sendiri''.

* Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan telekomunikasi, pembiayaan, usaha dan perdagangan, advokasi usaha, saling-ajar, serta jaringan sumberdaya lainnya seperti hasil riset dan teknologi. Termasuk dalam hal ini berbagai inovasi baru, informasi pasar, kebijaksanaan dan intelijen usaha, yang adil dan merata bagi setiap warga negara, agar tidak terjadi diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu yang disudutkan sebagai beban pembangunan seperti yang terjadi selama Orde Baru.

* Pada akhirnya, ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang menghimpun para pelaku ekonomi, baik itu produsen, konsumen, services provider, equipment provider, cargo, dsb di dalam jaringan yang terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai forum usaha yang aktif dan dinamis.

Mengakhiri pembahasan ini ada baiknya kita menengok apa yang telah dilakukan Solow, Dertouzos dan Lester dari MIT, ketika memimpin Komisi Produktivitas Industri Amerika. Pada salah satu laporannya yang termuat dalam buku berjudul Made in America, mereka kembali mengingatkan kita bahwa apabila suatu bangsa ingin hidup secara baik, maka bangsa itu harus berproduksi secara baik. Karena kalau tidak demikian, maka bangsa itu harus menanggung defisit akibat ketidaksetaraan dalam perdagangan antarbangsa.

Komisi Produktivitas Industri Amerika ini dibentuk karena desakan berbagai produk Jepang yang membanjiri Amerika dengan kualitas dan harga bersaing. Pabrik-pabrik Amerika dianggap tidak efisien, kelompok pekerja yang diperlakukan kurang baik dan kurang terperbaharui pengetahuan dan keterampilannya, manajer dianggap sangat oportunistik karena mengejar hasil jangka pendek ketimbang memperjuangkan tujuan fundamental jangka panjang.

 

 
Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi.
 
 

 

Amerika telah memberi contoh bagaimana strategi ekonomi yang diterapkan dalam melindungi pasar domestik untuk kepentingan produksi dalam negeri. Hal itu dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas dan kualitas produk-produk yang dapat bersaing secara kompetitif dengan produk negara lain, bukan dengan cara proteksi yang mematikan.

Untuk menuju ke sana. Langkah awal yang harus dilakukan adalah perhatian kepada mayoritas pelaku usaha, yakni usaha kecil menengah dan koperasi. Perhatian ini pada kenyataannya harus menyangkut pembenahan dalam banyak hal, mulai dari infrastruktur telekomunikasi, pembiayaan, dan infrastruktur usaha lainnya, ketersediaan sumberdaya manusia yang kreatif, riset dan teknologi yang bervariasi sesuai tuntutan usaha kecil menengah, dan ketersediaan dukungan untuk membentuk jaringan pasar domestik yang menjadi incaran pelaku-pelaku usaha internasional. Semua itu merupakan isu sentral dari usaha demokrasi ekonomi saat ini.

Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan "pembeli adalah juga pemilik".

Dengan keyakinan ini, masyarakat Indonesia baru akan memasuki era globalisasi dengan cara-cara yang elegan dan kompetitif sebagaimana suatu korporasi ''New Indonesia Incorporated''.

Disadur dari Harian Republika edisi 10 Desember 1999. Adi Sasono (1943-2016) menjabat menteri koperasi dan UKM pada 1998-1999. Ia adalah salah satu pelopor pemikir ekonomi keumatan di Indonesia.

Jangan Anggap Remeh Kekerasan Sepak Bola

Tragedi Kanjuruhan harus diselesaikan secara tuntas.

SELENGKAPNYA

Ada Alasan di Balik Kebiasaan Ngemil pada Malam Hari

Kebiasaan makan berlebih pada malam hari bisa jadi pertanda night eating syndrome (NES).

SELENGKAPNYA

Siapa di Balik Pengeboman Masjid Pakistan-Afghanistan?

Ratusan jamaah telah berpulang akibat serangan teroris di masjid-masjid.

SELENGKAPNYA