
Nusantara
Gubernur DIY Persoalkan Cara BPS Hitung Kemiskinan
Pola konsumsi masyarakat DIY cenderung unik.
YOGYAKARTA -- Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menyebut, ada anomali terkait tingkat kemiskinan di daerahnya. Sri Sultan pun menyinggung cara Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung angka kemiskinan.
Berdasarkan data terbaru BPS, jumlah penduduk miskin DIY per September 2022 sebanyak 463,63 ribu orang atau sebesar 11,49 persen, bertambah 8,9 ribu orang terhadap Maret 2022. Jika dibandingkan dengan September 2021, jumlah penduduk miskin berkurang 10,9 ribu orang.

Dengan tingkat kemiskinan sebesar 11,49 persen, DIY menjadi daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. Sri Sultan mengaku tak mempermasalahkan 'status' DIY sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jateng. "Bagi saya no problem," kata Sri Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Rabu (25/1).
Sri Sultan mengatakan, kemiskinan di DIY justru lebih rendah dibandingkan Jawa Tengah (Jateng) jika dilihat dari jumlah penduduk miskin, bukan tingkat kemiskinan. Jateng dengan tingkat kemiskinan di angka sembilan persen, jumlah penduduk miskinnya mencapai 3,86 juta berdasarkan data BPS.
Orang miskin tidak pernah habis karena asetnya tidak pernah dihitung.
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X, Gubernur DIY
Menurut Sultan, kemiskinan di DIY merupakan anomali dan tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya di Indonesia. Anomali tersebut, katanya, tidak menjadi perhitungan atau pertimbangan bagi BPS dalam menentukan tingkat kemiskinan di DIY.
Sri Sultan mencontohkan, aset yang dimiliki warga tidak didata oleh BPS, misalnya, hewan ternak maupun tumbuhan. Hal ini menjadikan jumlah orang miskin di DIY jarang berkurang karena ada beberapa indikator yang tidak didata BPS. "Orang miskin tidak pernah habis karena asetnya tidak pernah dihitung," kata Sultan.

Untuk menekan angka kemiskinan, Pemda DIY telah berupaya memberikan bantuan uang tunai. Tujuannya agar pengeluaran masyarakat bisa berada di atas garis kemiskinan sehingga tidak dikategorikan sebagai penduduk miskin. Akan tetapi, kata Sri Sultan, bantuan tunai yang diberikan pada faktanya tidak serta-merta dibelanjakan untuk meningkatkan konsumsi.
"Contohnya, konsumsi masyarakat DIY Rp 480 ribu (per bulan) dan diberikan bantuan Rp 100 ribu. Harapannya pengeluaran akan lebih tinggi menjadi Rp 580 ribu. Tapi, yang terjadi di lapangan belum tentu uang Rp 100 ribu itu dibelanjakan," kata Sri Sultan.
Hal tersebut yang dinilai membuat tingkat konsumsi masyarakat DIY rendah dan dikategorikan sebagai penduduk miskin karena jumlah pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan.
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan. Berdasarkan data BPS DIY, garis kemiskinan DIY per September 2022 tercatat sebesar Rp 551.342 per kapita per bulan.
Menurut Sri Sultan, murahnya harga makanan atau bahan pangan di DIY juga dinilai menjadi faktor lain tingginya angka kemiskinan. Karena harga makanan yang relatif lebih murah, jumlah pengeluaran masyarakat DIY lebih kecil dibandingkan banyak daerah lain.
"Kalau makan kan murah. Implikasinya survei di Pasar Beringharjo untuk konsumsi masyarakat, harganya murah. Jadi, ada sesuatu yang sifatnya anomali. Mungkin pola kebijakan (penghitungan BPS) itu berlaku di seluruh Indonesia. Tapi, di Yogya yang terjadi seperti itu dan BPS kan tidak bisa mengubah hanya untuk DIY," kata Sultan.
Metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan purchasing power parity masyarakat DIY yang sebenarnya.BUDIHARTO SETYAWAN, Kepala Perwakilan BI DIY

Kepala Perwakilan BI DIY Budiharto Setyawan belum lama ini menyampaikan, pola konsumsi masyarakat DIY cenderung unik, yang relatif berbeda dibandingkan daerah lain. Ia menilai, mayoritas masyarakat DIY memiliki budaya yang kuat dalam menabung dibandingkan konsumsi.
"(Tingginya angka kemiskinan DIY) disebabkan oleh dua hal, yakni pola konsumsi masyarakat DIY cenderung sederhana dan metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan purchasing power parity masyarakat DIY yang sebenarnya," ujar Budi.
Dia mengatakan, kuatnya budaya menabung masyarakat DIY tecermin dari tingkat simpanan masyarakat di bank yang selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kredit. Secara rata-rata, rasio kredit dibandingkan dengan simpanan (loan to deposit ratio/LDR) rumah tangga di DIY dalam 10 tahun terakhir berkisar 66,78 persen, yang berarti masih rendah apabila dibandingkan dengan rasio ideal 80-90 persen.
"Kondisi demikian terus menjadi problem secara statistik karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, semakin rendah pengeluaran penduduk, akan semakin dekat dengan kemiskinan," kata dia.
Pakar ekonomi Universitas 'Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta Rigel Nurul Fathah berpendapat, indikator yang menentukan angka kemiskinan di DIY harus lebih diperluas. Rigel mencontohkan, kawasan dengan angka kemiskinan paling tinggi di DIY ada di Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo.
Namun, masyarakat di kawasan tersebut lebih banyak yang memiliki aset dalam bentuk non-uang, seperti hewan dan tumbuhan. Bisa jadi, katanya, aset masyarakat tersebut tidak terdata dan menyebabkan tingkat kemiskinan di daerah tersebut menjadi tinggi.
Masyarakat di DIY, seperti di Gunungkidul, lebih banyak memiliki aset dalam bentuk non-uang.
Berkata Baik atau Diam
Sebelum berbicara hendaknya kita memikirkan dulu, apakah yang akan kita katakan baik atau tidak.
SELENGKAPNYA