
Sastra
Sepotong Bulan Tersenyum
Cerpen Irwan Kelana
OLEH IRWAN KELANA
Tiba-tiba saja Marwah Lathifah memblokir nomor HP Abdul Malik. Padahal Marwah baru berkenalan dengan Malik beberapa hari lalu selepas shalat Zhuhur berjamaah di masjid kantor tersebut.
Di gedung itu ada puluhan kantor. Marwah bekerja di salah satu kantor bank syariah. Sedangkan Malik bekerja di salah satu kantor asuransi syariah.
Gedung itu dilengkapi dengan masjid yang tiap hari dipakai shalat ratusan karyawan dan tiap pekan dipakai shalat Jumat. Malik merupakan imam tetap di masjid tersebut.
Suaranya sangat merdu. Mirip suara Syekh Abdurrahman Al-Ausy, imam Masjidil Haram favorit Marwah. Marwah sering menyetel bacaan murattal Syekh Abdurrahman Al-Ausy pada malam hari.
Sejujurnya, ada rasa penyesalan dan kekhawatiran di hati Marwah seusai dia memblokir nomor WA Malik.
“Banyak gadis muda yang bekerja di gedung ini berharap bisa berjodoh dengan Malik. Orangnya ganteng dan baik. Lebih dari itu, ia seorang hafizh dan imam. Kata orang-orang tua, kalau kamu ingin memperbaiki keturunan, bukan cari orang yang ganteng dan kaya. Tapi carilah orang yang hafal Quran. Insya Allah anak keturunanmu lebih baik dari kamu. Tapi, kamu malah memblokir dia,” kata Azizah, teman sekantornya.
Banyak gadis muda yang bekerja di gedung ini berharap bisa berjodoh dengan Malik.
“Aku punya alasan, Zizah,” kata Marwah seraya merapikan kerudung kuningnya yang diterpa angin.
“Itu pilihanmu. Semoga engkau tidak menyesalinya kelak,” kata Azizah.
Marwah hanya tertunduk. Ya Allah, Engkau lebih tahu apa yang ada di hatiku, katanya dalam hati.
***
Siang itu Azizah mengajak Marwah makan siang di Restoran Sederhana yang terletak di sisi barat lantai 1 gedung perkantoran tersebut. Kantor mereka berada di sisi selatan gedung, sedangkan kantor Malik berada di sisi utara.
Meskipun orang Bandung (Sunda), Marwah menyukai masakan Padang. Apalagi Restoran Sederhana. Menu favoritnya adalah dendeng kering dan ayam pop. Adapun minumannya, ia selalu terpikat pada teh talua. Minuman racikan teh dan telur itu selalu membuatnya terpesona akan rasanya yang khas.
Begitu membuka pintu restoran, Marwah terkejut. Di pojok kanan ada Malik dan dua orang lelaki yang mengenakan baju koko. Mungkin keduanya pengurus masjid.
Di pojok kanan ada Malik dan dua orang lelaki yang mengenakan baju koko.
Marwah ingin membatalkan makan siang di restoran tersebut, namun ia tidak enak hati dengan Azizah. Apalagi hari itu Azizah mentraktirnya dalam rangka merayakan milad yang ke-25.
Azizah langsung mengambil bangku dan meja di tengah, bersisian dengan meja dan bangku yang diduduki Malik.
“Azizah,” sapa Malik.
Azizah terkejut. “Eh, Ustaz Malik. Maaf, Zizah nggak lihat.”
“Nggak apa-apa.”
Malik kemudian beralih ke Marwah.
“Assalamu’alaikum, De Marwah,” ujarnya lembut.
“Waalaikumussalam, Kang … eh Ustaz Malik,” sahut Marwah dengan suara bergetar.
“Kang aja, De. Panggilan ‘ustaz’ terlalu tinggi buat saya,” kata Malik merendah.
Di antara sekian banyak lelaki yang mengenalnya, hanya Malik yang sejak hari pertama berkenalan dengannya memanggilnya dan menyapanya dengan sebutan “De”. Entah mengapa, panggilan itu membuat perasaannya sering melambung. Namun Marwah tidak berani berharap terlalu jauh.
Entah mengapa, panggilan itu membuat perasaannya sering melambung.
Azizah pernah bercerita bahwa Malik adalah lulusan terbaik dari kampus STEI SEBI Depok. Dia hafal Alquran 30 juz. Ia juga mahir mengaji dengan lagu (lagam). Tak mengherankan kalau lelaki yang kini berusia 28 tahun itu ditunjuk menjadi imam di masjid gedung tersebut. Baik imam rawatib, khususnya Zhuhur, Ashar dan Maghrib, maupun imam shalat Jumat.
Marwah, alumni Prodi Ekonomi Syariah IPB University Bogor baru setahun bekerja di kantor bank syariah tersebut. Gadis berusia 23 tahun itu segera saja menjadi favorit di kantornya. Sejumlah teman, bahkan atasannya, mencoba mendekatinya. Namun ia belum merasa klik di hatinya.
Hanya Malik, lelaki yang dikenalnya seminggu lalu, yang berhasil membuat hatinya berdebar-debar tiap kali menerima WA darinya. Padahal isinya hanya pertanyaan-pertanyaan kecil: “Apa kabarmu hari ini, De? Semoga sehat”, “Jaga kesehatan ya, De”, “Udah makan apa belum, De?” “Hari ini kamu puasa, De?”
Namun, ketika pada hari ketujuh Malik mengiriminya WA, “Hari ini pulang jam berapa, De?” Marwah mengambil sebuah keputusan: ia memblokir nomor HP Malik.
“Azizah, De Marwah datang ke Restoran Sederhana mau makan atau melamun?” tiba-tiba terdengar suara Malik.
Azizah mencubit tangan Marwah. “Marwah, jangan bengong. Ayo kita makan.”
Marwah terkejut. “Iy ... iya, Zizah. Ayo kita makan,” kata Marwah seraya melambaikan tangan kepada penjaga restoran dan memesan minuman teh talua kesukaannya.
***
Saat mereka tengah menikmati makan siang, tiba-tiba datanglah Siti Maryam. Teman kuliah Azizah yang juga kerja di salah satu kantor di gedung tersebut.
“Assalamu’alaikum, Azizah. Selamat milad ya. Semoga cepat dapat jodoh. He he he,” ujarnya sambil menyalami Azizah.
“Makasih, Maryam. Yuk, kita makan bersama,” sahut Azizah.
“Oh, ada Ustaz Malik. Assalamu’alaikum, Ustaz,” kata Maryam sambil menangkupkan kedua tangannya di depan bibirnya.
“Waalaikumussalam.”
Maryam langsung duduk di hadapan Marwah dan bersisian dengan Malik.
“Afwan, Ustaz. Saya Maryam. Saya seorang selebgram. Kapan-kapan boleh dong saya wawancara Ustaz untuk buat konten?”
“Wawancara apa, Mbak? Saya hanya seorang pegawai biasa dan imam di sebuah masjid perkantoran.”
“Justru imam di masjid perkantoran itulah yang menarik, Ustaz. Orang muda, bahkan boleh dibilang milenial, jadi hafiz Quran dan bersuara merdu. Saya sering mendengarkan suara Ustaz kalau jadi imam shalat Jumat. Saya pun sering shalat Zhuhur dan Ashar berjamaah, menjadi makmum Ustaz. Saya beruntung hari ini bertemu Ustaz. Mohon waktu untuk wawancara ya,” tutur Maryam yang membuat telinga Marwah tiba-tiba panas dan dendeng yang dikunyahnya mendadak terasa tidak enak.
Orang muda, bahkan boleh dibilang milenial, jadi hafiz Quran dan bersuara merdu.
“Insya Allah, kalau Mbak Maryam mau wawancara, besok siang saja setelah Zhuhur. Wawancaranya di masjid saja ya,” kata Malik seraya berdiri dan kemudian pamit.
“Baik kalau begitu, Ustaz. Terima kasih atas waktunya.”
“Sama-sama, Mbak Maryam.”
“Jangan panggil, Mbak. Panggil saja Maryam.”
Ada rasa cemburu yang menjalari perasaan Marwah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Maryam. Tiba-tiba saja ia merasa marah, dongkol, benci, dan sedih, semuanya menyatu di relung hatinya.
Namun ia segera menyadari, bahwa tidak sepantasnya ia cemburu. Aku bukan siapa-siapanya Ustaz Malik. Bukankah aku telah memblokir nomor HP-nya? Dengan siapa pun dia bertemu dan berhubungan, apa urusanku? ujarnya dalam hati.
***
Ketika keesokan harinya, Marwah melihat Maryam mewawancarai Malik di serambi masjid. Hatinya seperti terbakar. Apalagi Maryam kelihatan begitu gembira melakukan wawancara tersebut.
Karena kurang hati-hati saat menuruni tangga masjid, Marwah hampir saja terjatuh. Untung saja Azizah, yang berada tepat di belakangnya, langsung menyambar tangannya.
“Hati-hati, Marwah,” kata Azizah.
“iy… iyya. Makasih, Zizah,” sahut Marwah.
“Kamu kenapa?” tanya Azizah.
“Nggak apa-apa.”
“Kamu cemburu ya lihat Maryam wawancara Ustaz Malik?”
Kamu cemburu ya lihat Maryam wawancara Ustaz Malik.
“Enggak, enggak. Aku ‘kan bukan siapa-siapanya Ustaz Malik.”
“Oh iya, ya. Kamu ‘kan memblokir nomor HP Ustaz Malik.”
Marwah berjalan tertunduk.
***
Pagi ini Marwah tidak bersemangat untuk kerja. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berangkat ke tempat kerjanya.
Masih terbayang di matanya saat melihat Maryam mewawancarai Malik. Diam-diam dia menyesali keputusannya untuk memblokir nomor HP Malik. Tapi ia mempunyai satu alasan yang sangat jelas dan tegas. Aku melakukan itu demi kebaikan Ustaz Malik. Dan Engkau tahu itu, ya Allah, ujarnya dalam hati.
Karena itu, apa pun yang terjadi, hari ini ia harus masuk kantor. Kalau ia izin, apalagi sakit, apa kata Azizah nanti? Apa pula kata Ustaz Malik?
Karena itu, apa pun yang terjadi, hari ini ia harus masuk kantor.
Hari ini Marwah berharap tidak bertemu Malik. Agar hatinya tak bergemuruh karena takut kehilangan lelaki yang simpatik itu.
Karena itu, ketika terdengar azan Zhuhur, ia tidak langsung ke masjid. Saat diajak Azizah ke masjid, Marwah mengatakan perutnya sakit. “Nanti aku menyusul. Kamu duluan aja," ujarnya.
Sekitar setengah jam selepas azan Zhuhur, Marwah pergi ke masjid. Tak disangka, di pintu tangga masjid ia berpapasan dengan Malik. Tak lama kemudian, Maryam tampak terburu-buru menyejajari Malik.
“Assalamu’alaikum, Ustaz. Terima kasih wawancaranya kemarin. Sudah saya upload di IG. Responsnya sangat bagus. Banyak sekali yang memberikan komentar,” kata Maryam dengan mata berbinar.
“Alhamdulillah. Semoga bermanfaat,” kata Malik.
Ia menoleh ke Marwah. “Assalamu’alaikum, De Marwah. Udah shalat?”
“Waalaikumussalam. Baru akan, Ustaz,” sahut Marwah dengan perasaan yang tak menentu.
***
Sore itu hujan turun sangat lebat dan lama. Sejak sore sampai maghrib, hujan tak juga reda.
Marwah memutuskan untuk menerobos hujan dengan menumpang ojek online (ojol). Meskipun sang driver menyediakan jas hujan, sedikit banyak pakaian Marwah terkena air hujan. Yang pasti, angin dan hujan menerpa wajahnya.
Keesokan paginya, Marwah bangun tidur dalam kondisi sakit kepala dan demam. Terpaksa ia tidak masuk kerja.
“Kamu sakit gara-gara kehujanan atau takut kehilangan imam muda yang ganteng itu?" Azizah menggodanya melalui japri.
“Apaan sih?” sahut Marwah. Kalau saja Azizah ada di dekatnya, niscaya dia bisa melihat wajah Marwah yang memerah.
Seharian, Marwah hanya beristirahat di kamarnya. Hujan tak henti mengguyur bumi.
Tiba-tiba ia merindukan sapaan seseorang di tengah kesendirian dan hujan yang terus menari. Benar sekali kalimat yang pernah dibacanya di salah satu akun FB: “Tidakkah kau ingin, ada seseorang yang mengkhawatirkanmu ketika musim hujan datang?”
Namun, siapa yang akan mengkhawatirkannya? Ia tidak punya siapa-siapa. Sedari masa kuliah, ia telah memutuskan tak akan pacaran. Banyak teman kuliahnya berusaha mendekatinya, namun ia menolaknya.
Ia ingin langsung menikah, dan pacaran setelah menikah. Bukankah itu lebih indah?
Sejujurnya, ia ingin sekali mempunyai suami seorang hafiz Quran. Ia membayangkan, setiap hari mendengarkan bacaan Alquran suaminya. Di sisi lain, ia pun memperdengarkan bacaan Alqurannya kepada suaminya, dan suaminya mengoreksinya kalau ada kesalahan.
Ia pun berharap menjadi makmum shalat Tahajud di belakang suaminya. Bukankah semua itu amat indah? Bahkan, tak ada yang lebih indah dari itu.
Karena itu, ia bekerja di bank syariah itu sambil menunggu jodoh. Seorang lelaki pemberani yang langsung mengkhitbahnya dan mengajaknya menikah.
Tiba-tiba melintas wajah Malik. Ya, Malik, hafiz Alquran dan imam muda yang ia blokir nomor HP-nya.
Ada sesal melintas di hatinya. Kenapa aku memblokir HP Ustaz Malik? Tapi aku punya alasan khusus, ya Allah, dan Engkau tahu itu, ujarnya dalam hati.
Selepas maghrib, Azizah meneleponnya. “Bagaimana kondisimu, Non? Udah baikan?”
“Lumayan, Zizah. Tadi aku makan sop ayam sekalian untuk menghangatkan perutku.”
“OK, semoga besok udah bisa masuk kerja lagi.”
“Aamiin. Makasih doanya ya.”
Sejujurnya, Marwah berharap Azizah mengatakan “Ada salam dari Ustaz Malik.” Tapi tak ada kalimat itu meluncur dari bibir Azizah.
***
Keesokan harinya, Marwah masuk kerja. Ia shalat Zhuhur dan Ashar berjamaah di masjid tersebut. Ia berharap berjumpa dengan Malik. Setidaknya mendengar suaranya saat jadi imam. Namun ternyata Malik tidak masuk, dan digantikan imam yang lain.
Tak tahan, ia bertanya kepada Azizah. “Imamnya ganti ya?”
“Imam yang mana?” Azizah menggodanya.
“Imam yang biasa,” sahut Marwah berusaha menahan merah di pipinya.
“Yang ganteng itu? Yang nomor HP-nya kamu blokir?”
“Jangan ngomong begitulah. Aku jadi merasa bersalah.”
Azizah tertawa kecil.
“Ustaz Malik kemarin berangkat umrah.”
“Ooohh. Alhamdulillah. Semoga dapat umrah yang mabrur,” kata Marwah.
“Maryam juga berangkat umrah. Bareng rombongan Ustaz Malik.”
“Oh ya?” Marwah terkejut. Hatinya mendadak hampa.
“Kenapa? Kamu cemburu ya sama Maryam?”
“Eng … enggak. Kalau teman umrah, kita ikut senang. Semoga kita juga bisa umrah.”
“Aamiin,” kata Azizah.
***
Di sepertiga malam, saat angin berbisik di daun-daun, Marwah berlama-lama dalam sujud terakhirnya.
Ya Allah, Engkau tahu apa yang aku katakan dan apa yang aku sembunyikan.
Ya Allah, Engkau tahu apa yang aku katakan dan apa yang aku sembunyikan. Aku mohon karunia jodoh terbaik yang selalu mengingatkanku untuk taat kepada-Mu. Jika Ustaz Malik adalah jodoh yang telah Engkau siapkan untukku, mudahkanlah jalan bagiku.
Engkaulah sebaik-baik penolong dan sebaik-baik pemberi karunia. Aamiin, ujarnya dalam hati.
Hari Sabtu petang, Azizah menelepon Marwah.
“Marwah, besok jangan ke mana-mana ya. Ada tamu yang akan datang ke rumahmu,” kata Azizah.
“Siapa?”
“Kira-kira siapa yang kamu harapkan datang?”
“Jangan becanda, Zizah.”
“Aku serius. Kalau boleh memilih, siapa yang kamu harapkan datang?”
“Aku tidak mau berandai-andai.”
“Bagaimana kalau orang tersebut adalah Ustaz Malik?”
“Kamu jangan menggoda aku terus dong.”
“Serius. Besok Ustaz Malik mau datang ke rumahmu.”
“Dia ‘kan lagi umrah.”
“Betul. Besok dia pulang. Dari Bandara Soekarno-Hatta, dia akan langsung ke rumahmu."
"Masya Allah. Ini beneran apa becanda?”
“Beneran. Dia akan datang bersama orang tuanya.”
“Untuk apa?”
“Kalau seorang lelaki datang bersama orang tuanya ke rumah seorang gadis, untuk apa lagi?”
“Biasanya, mengkhitbah.”
“Bukankah engkau pernah berkata, tak ingin pacaran, dan ingin langsung menikah? Dan engkau pernah berkata, ingin punya suami yang hafal Quran?”
Spontan, Marwah sujud syukur di lantai kamarnya.
***
Proses khitbah berlangsung lancar. Hari pernikahan langsung diputuskan. Yakni, hari Jumat awal bulan depan. Tempatnya di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat.
Proses khitbah berlangsung lancar. Hari pernikahan langsung diputuskan.
Malam pertama, seusai shalat Isya dan shalat sunah Zifaf (shalat sunah pengantin baru) Malik mengecup Marwah.
“De, maukah engkau membuka blokir HP saya? Sebelum kita halal, saya nggak berani meminta kamu melakukan ini.”
Marwah tersenyum dan mencium tangan suaminya.
“Maafkan saya, Kang. Saya terpaksa memblokir nomor HP Akang. Saya pernah mendengar, hafalan Quran seseorang bisa hilang karena hal-hal tertentu. Saya tak ingin hafalan Quran Akang berkurang gara-gara saya. Karena itu, walaupun saya bimbang dan takut kehilangan Akang, saya nekat memblokir nomor HP Akang,” kata Marwah lembut.
“Sekarang Allah telah satukan kita dengan surat ar-Rahman. Keberadaanmu di sisi Akang, insya Allah makin memperkuat hafalan Quran Akang.”
“Aamiin. Insya Allah, Kang.”
Marwah langsung membuka blokir nomor HP Malik.
“Maafkan saya, suamiku yang saleh.”
“Engkau pun istri yang salehah. Engkau jaga hafalan Quranku. Semoga Akang bisa menjadi imam yang baik bagimu.”
“Aamiin. Imam yang baik, di dunia dan akhirat.”
Kembali Marwah mencium tangan Malik.
Tiba-tiba HP Marwah bergetar. Ada pesan masuk dari Azizah.
“Selamat menempuh hidup baru. Nomor HP suami udah nggak diblokir lagi ‘kan?” disertai dengan emotikon tertawa.
Semenit kemudian masuk pesan dari Maryam.
“Hai Marwah. Aku, Azizah, dan Malik, saudara sepupu. Sejak pertama melihatmu, Malik jatuh cinta padamu dan ingin segera menikahimu. Tapi engkau tipe gadis yang tidak mudah ditaklukkan. Hanya dengan membuat skenario yang membuatmu cemburu, akhirnya terungkap bahwa engkau pun mencintai Malik. Ha ha ha.”
“Ternyata kalian bersekongkol. Awas ya,” jawab Marwah yang dikirimkan ke Azizah dan Maryam disertai emotikon marah dan tertawa.
“Ada apa, De? Kok senyum-senyum begitu?” tanya Malik.
Marwah tidak menjawab. Ia memeluk lelaki yang kini telah resmi menjadi imamnya. Betapa damai.
Di luar jendela kamar, angin menyapa lembut. Sepotong bulan tersenyum di atas langit.
Depok, Januari 2023.
Irwan Kelana dilahirkan di Depok, Jawa Barat, 1 September 1965. Ia menulis sajak, cerpen, artikel dan novel sejak duduk di bangku SMA Negeri 1 (Smansa) Depok.
Izinkan Pramugari Berjilbab
Seragam awak kabin yang berjilbab tidak mengganggu keselamatan penerbangan.
SELENGKAPNYAKue Keranjang, Si Manis yang Legendaris
Suguhan kue keranjang saat Imlek memiliki makna kesatuan keluarga dan peningkatan rezeki.
SELENGKAPNYAPPATK: Rp 1 Triliun Uang Kejahatan Lingkungan ke Parpol
Aliran uang terlacak sejak tiga tahun lalu.
SELENGKAPNYA