Tersangka Mayor HFD (kedua kiri) yang merupakan Komandan Detasemen Markas Brigif/20 IJK Timika saat mengikuti rekonstruksi pembunuhan dan mutilasi empat warga di Timika, Papua, Sabtu (3/9/2022). | ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding

Nusantara

Proses Hukum Mutilasi Mimika Mencurigakan

Dakwaan yang diterapkan dikhawatirkan meringankan pelaku.

JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM mengecam proses peradilan yang dijalankan serampangan terhadap enam terdakwa prajurit TNI aktif berkaitan kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap empat orang warga sipil di Papua. Peristiwa pembunuhan dan mutilasi terjadi pada 22 Agustus 2022 yang menimpa warga Papua. 

Dalam kasus tersebut, sebanyak 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, enam di antaranya merupakan prajurit tentara aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad. 

Dari proses yang berjalan sampai saat ini, koalisi menyoroti beberapa hal. Pertama, koalisi merasa tidak akuntabel dan tak transparannya proses peradilan para terdakwa. Apalagi, proses hukum para terdakwa dari militer dan sipil diadili secara terpisah. 

Terhadap para terdakwa militer, yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktaf Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Papua. Sementara itu, Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dachi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan para tersangka sipil berkas perkaranya masih belum dilimpahkan ke pengadilan umum. 

photo
Tiga tersangka melakukan adegan memasukkan tubuh korban Arnold Lokbere ke dalam mobil saat mengikuti rekonstruksi pembunuhan dan mutilasi empat warga di Timika, Papua, Sabtu (3/9/2022). - (ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding)

"Terpisahnya upaya menuntut pertanggungjawaban pidana, tidak hanya bermasalah secara teknis, tetapi juga tidak bersesuaian dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009)," kata Wakil Koordinator KontraS sekaligus bagian dari koalisi, Rivanlee Anandar dalam keterangannya, Rabu (18/1).

Koalisi menilai secara teknis, terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya, khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi. Apalagi, para keluarga berdomisili di Timika, ketika diperiksa sebagai saksi dalam perkara para terdakwa militer, membuat keluarga harus terbang ke Pengadilan Militer III-19 Jayapura menggunakan transportasi udara yang biayanya tidak murah. 

"Proses peradilan tersebut sejatinya telah menjauhkan aksesibilitas keluarga korban, yang berdomisili di Timika terhadap proses peradilan," ujar Rivanlee. 

Kedua, koalisi menyebut pelaku yang berlatar belakang pangkat mayor didakwa secara tidak cermat oleh oditur. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui SIPP, terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dachi oleh Oditur Tinggi didakwa di Primer: Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP.

Subsider: Pasal 365 ayat (4) jo 55 ayat (1) KUHP. Lebih Subsider: Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Lebih lebih Subsider: Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Dan Pertama: Pasal 132 KUHPM atau Kedua: Pasal 121 ayat (1) KUHPM Atau Ketiga: Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Atau Keempat: Pasal 181 jo Pasal 56 ke-2 KUHP. 

Kondisi HAM di Papua - (Republika)  ​

Susunan dan struktur dakwaan ini menurut koalisi sangat problematis. Sebab, menaruh Pasal 480 ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal empat tahun penjara sebagai dakwaan primer. Koalisi khawatir susunan dakwaan yang ada pada peradilan militer tersebut, akan berimplikasi pada tuntutan dan putusan yang sangat ringan bagi para pelaku, khususnya dari kalangan militer. 

"Yang tak kalah penting, proses penghukuman terhadap seluruh pelaku militer harus disertai dengan hukuman tambahan, berupa dipecat secara tidak hormat dari institusi militer," ujar perwakilan LBH Papua, Emanuel Gobay. 

Ketiga, koalisi menganggap proses hukum ini jauh dari harapan keluarga. Dari awal kasus ini ditangani para penyidik Subdenpom XVII/C Mimika dan Satreskrim Polres Mimika, koalisi mengeklaim, keluarga menuntut agar tersangka diadili melalui peradilan umum di Mimika agar dapat turut memantau proses jalannya persidangan. 

"Hal yang tampak dari negara justru menunjukkan ketidakseriusannya dengan mengadili secara terpisah para pelaku, bukan malah diadili melalui peradilan umum. Selain itu, upaya perlindungan bagi keluarga yang akan diperiksa sebagai saksi dalam proses persidangan masih belum mendapatkan kejelasan dari LPSK," kata perwakilan PAHAM Papua, Gustaf Kawer. 

photo
Keluarga menyalakan api saat prosesi kremasi jenazah korban pembunuhan dan mutilasi di Mimika, Papua, Jumat (16/9/2022). Empat korban pembunuhan dan mutilasi dengan tersangka prajurit TNI AD dan warga sipil yang dilatarbelakangi rekayasa pembelian senjata api senilai Rp 250 juta tersebut diambil oleh keluarga untuk dikremasi. - (ANTARA FOTO/Saldi Hermanto)

Atas hal tersebut, koalisi meminta panglima TNI melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para anggotanya, yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Timika. Koalisi juga mendesak Ketua LPSK segera memutuskan permohonan untuk memberikan perlindungan serta pemulihan yang telah diajukan oleh keluarga para korban. 

"Ketua Mahkamah Agung melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat peradilan, yang menyidangkan para terdakwa, baik anggota militer maupun sipil," ujar perwakilan ALDP, Latifah Anum Siregar. 

Diketahui, koalisi ini terdiri atas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, bersama Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP).  

Sebelumnya diberitakan, empat warga sipil diduga dibunuh dan dimutilasi di Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Potongan tubuh para korban dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke Sungai Pigapu, Distrik Iwaka.

photo
Tiga tersangka melakukan adegan saat mengikuti rekonstruksi pembunuhan dan mutilasi empat warga di Timika, Papua, Sabtu (3/9/2022). - (ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding)

Potongan tubuh pertama ditemukan pada 27 Agustus 2022. Dua hari berselang, potongan tubuh korban lainnya ditemukan. Kemudian, pada Senin (29/8/2022), potongan tubuh ketiga didapati. Hingga akhirnya, potongan tubuh korban keempat ditemukan pada Rabu (31/8/2022).

Motif dugaan pembunuhan ini menurut kepolisian adalah perampokan dengan modus transaksi jual beli senjata. Korban ditawari senjata api jenis FN dan AK 47 seharga Rp 250 juta. Namun, para tersangka justru menyerahkan senjata api palsu kepada korban. Keempat korban kemudian dibunuh hingga dimutilasi dan uang sebesar Rp 250 juta itu dibawa kabur para tersangka.

Berdasarkan keterangan istri dari salah satu korban, Irian Nirigi, ada banyak barang berharga milik korban mutilasi yang tidak ditemukan. Barang-barang itu, menurut pihak keluarga, dibawa Irian dari Nduga.

Di antara barang-barang tersebut adalah buku tabungan Bank Papua KCP Nduga yang berisi uang senilai Rp 520 juta. Kemudian e-KTP milik korban, satu unit telepon genggam yang terdaftar dalam sistem aplikasi pengelolaan dana desa, kunci koper berisi keuangan gereja. Dari korban Arnold Lokbere yang masih hilang adalah satu buku rekening Bank Papua KCP Nduga dengan saldo Rp 50 juta.

photo
Keluarga menyaksikan prosesi kremasi jenazah korban pembunuhan dan mutilasi di Mimika, Papua, Jumat (16/9/2022). - (ANTARA FOTO/Saldi Hermanto)

Komnas HAM telah melansir penyelidikan peristiwa pembunuhan dan mutilasi tersebut pada September 2022. Kasus itu diduga merupakan isu serius dalam penegakkan HAM. "Informasi tersebut memunculkan dugaan adanya tindakan kekerasan, penyiksaan, dan perlakuan lainnya yang merendahkan harkat dan martabat manusia yang menjadi isu serius dalam hak asasi manusia," kata ketua Komnas HAM saat itu, Ahmad Taufan Damanik.

Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa, sebelumnya menjanjikan penindakan yang adil terhadap para pelaku. Saleh menuturkan, sesuai dengan arahan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman, kasus ini harus dibuka secara transparan dan memenuhi nilai akuntabilitas, baik dari sisi penegakan hukum maupun kecepatan pengusutan kasusnya. Jadi, ada kepastian dan keadilan hukum bagi semua pihak, serta para pelaku mendapat hukuman yang setimpal.

LPPOM Masih Audit Mixue, Sanksinya Terlalu Ringan

Pada 2024 nanti, produk yang tanpa memiliki sertifikasi halal harus diberikan sanksi yang lebih berat.

SELENGKAPNYA

Mereka Berjibaku Membayar UKT

Seribuan mahasiswa mengaku tak bisa membayar UKT di UNY.

SELENGKAPNYA

Jamaah Haji Lansia Sebaiknya Ditempatkan di Lantai Bawah

Menurut Liliek, ada 76,1 persen lebih jamaah risti dari sisa kuota haji tahun 2020.

SELENGKAPNYA