Bendera Nahdlatul Ulama. (ilustrasi) | NU Online

Opini

Partai NU di Jakarta

Waktu pemilu tahun 1955 tinggal dua tahun lagi sejak Partai NU berdiri di Jakarta.

RAKHMAD ZAILANI KIKI, Peneliti dan Penulis Buku NU di Jakarta

Setelah keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik yang berdiri sendiri pada tahun 1952, NU segera disibukkan dengan persiapan pemilihan umum pertama tahun 1955. Waktu yang dimiliki NU untuk bertarung dalam Pemilu 1955 relatif pendek jika dibandingkan dengan partai-partai besar lainnya.

Namun demikian, NU berhasil meraih 18,4 persen suara (45 kursi) di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mendapatkan 22,3 persen suara (57 kursi) dan Masyumi yang memperoleh 20,9 suara (57 kursi).

Khusus di Jakarta, hasil Pemilu 1955 menjadikan Partai NU mampu mewarnai khasanah politik lokal di masa Pemerintahan Kotapraja Jakarta maupun Daerah Chusus Ibu Kota (DCI) Jakarta.

Keberhasilan Partai NU di Jakarta pada Pemilu 1955 tidak terlepas dari sosok dan peran KH Achmad Mursyidi. Ketika itu, pimpinan Partai NU sedang mencari sosok yang dapat membesarkan Partai NU di Jakarta. KH Achmad Murysidi dipandang sebagai salah seorang yang memiliki potensi besar untuk menjadi kader dan membesarkan Partai NU di wilayah Jakarta.

 

 
Khusus di Jakarta, hasil Pemilu 1955 menjadikan Partai NU mampu mewarnai khasanah politik lokal.
 
 

 

Hal ini didasarkan pada latar belakang kegiatan KH Achmad Murysidi sebelumnya. Pertama, KH Achmad Mursyidi adalah seorang tokoh ulama, pembela paham Ahlussunnah Wal Jamaah dalam bidang akidah dan pengikut salah satu mazhab empat dalam bidang syariah.

Kedua, KH Achmad Murysidi adalah salah seorang murid Guru Marzuqi Cipinang Muara, Jakarta Timur yang menjadi pendukung utama jam'iyah NU di wilayah Jakarta.

Ketiga, KH Achmad Murysidi adalah salah seorang pejuang kemerdekaan yang memiliki jaringan dengan para pejuang lainnya di wilayah Jakarta. Kalau mereka (warga Jakarta) mendengar nama Haji Darip, tentu akan mendengar juga nama KH Hasbiyallah, demikian juga nama KH Achmad Mursyidi.

Keempat, KH Achmad Mursyidi adalah tokoh ulama dan mubaligh yang bukan hanya aktif mengajar di berbagai majelis taklim dan menyampaikan khutbah Jumat di berbagai masjid di wilayah Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga memiliki Lembaga Pendidikan Islam al-Falah yang cukup besar.

Dengan empat hal tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, KH Achmad Mursyidi mempunyai massa pendukung di Jakarta yang jumlahnya cukup besar. Karenanya, KH Achmad Djunaidi, ayahanda H Mahbub Djunaidi, wartawan senior yang pernah menjabat sebagai salah satu Ketua PBNU dari Tanah Abang, berkunjung ke rumah KH Achmad Murysidi. Tujuannya tidak lain adalah mengajak KH Achmad Murysidi membentuk dan memimpin Partai NU wilayah Jakarta.

Meskipun agak ragu, akhirnya dengan segala kerendahan hati, KH Achmad Mursyidi menerima tawaran tersebut. Dengan demikian, maka tercapailah kata sepakat untuk membentuk Partai Nahdlatul Ulama di wilayah DKI Jakarta.

Untuk merealisasikan kesepakatan tersebut, dibentuklah Panitia 9 yang bertugas membentuk 5 cabang Partai NU di wilayah DKI Jakarta, yaitu Partai NU Cabang Matraman, Partai NU Cabang Tanjung Priok, Partai NU Cabang Gambir, Partai NU Cabang Kebayoran, dan Partai NU Cabang Penjaringan.

KH Achmad Murysidi akhirnya menempati posisi sebagai Ketua Cabang Matraman tahun 1953.

 
Waktu pemilu tahun 1955, tinggal dua tahun lagi sejak Partai NU berdiri di Jakarta.
 
 

Setelah terbentuk, maka segera dibuat pula kartu anggota. Karena koordinasinya belum sempurna, maka kartu anggota Partai NU yang berdomisili di Jakarta, semua diteken oleh KH Achmad Murysidi, termasuk kartu anggota atas nama KH Idham Chalid. Padahal, status resmi KH Achmad Murysidi hanya sebagai Ketua Partai NU Cabang Matraman.

Waktu pemilu tahun 1955, tinggal dua tahun lagi sejak Partai NU berdiri di Jakarta. Karenanya, seluruh pengurus Partai NU di semua cabang di Jakarta melakukan gerakan cepat, kerja keras dan kerja cerdas, untuk konsolidasi kekuatan, sosialisasi dan menjaring simpati warga Jakarta seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya.

Walhasil, sebagai partai politik yang pertama kali ikut pemilu di tahun 1955, di luar dugaan, Partai NU, juga di Jakarta, dapat menduduki urutan ketiga dari ”empat besar” partai yang unggul. 

Kemenangan Partai NU di Pemilu 1955 semakin memperburuk hubungan NU dengan Masyumi. Namun demikian, kedua partai Islam ini tetap bekerja sama dalam koalisi kabinet serta ’perjuangan ideologis’ di dalam konstituante.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, peran dan keberadaan Partai NU DKI Jakarta tetap eksis dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD GR). Banyak tokoh Nahdlatul Ulama DKI Jakarta yang berkiprah sebagai politisi DPRD GR. Sebut saja H Ali Dimung, H Husin Saleh, H Zayadi Amin.

 
Peran Partai NU, dalam hal ini Partai NU Jakarta, menjadi penting ketika terjadi peristiwa G30-S/PKI.
 
 

Peran Partai NU, dalam hal ini Partai NU Jakarta, menjadi penting ketika terjadi peristiwa G30-S/PKI. KH Achmad Mursyidi --yang ketika itu menjadi anggota DPR-MPRS dan pimpinan Partai NU Jakarta-- mengintensifkan pengganyangan orang-orang PKI, baik melalui perjuangan fisik maupun jalur politik.

Seluruh jajaran ormas yang bernaung di bawah Partai NU Jakarta bersatu dengan kekuatan lain mengikis habis sisa-sisa kekuatan G30-S/PKI.

Pada tahun 1966, KH Achmad Mursyidi diangkat sebagai Rois Syuriah Partai NU DKI Jakarta untuk masa jabatan 1966-1968 melalui Konferensi Wilayah di Matraman, Jakarta Timur. Beliau didampingi oleh KH AM Baidlowi Tafsir yang terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah.

Namun, setahun kemudian, mulai timbul keretakan dalam tubuh NU karena adanya gugatan dari kelompok Husein Saleh bersama KH Ayatullah Saleh yang menghendaki jabatan itu diisi oleh warga asli Betawi.

Dalam kelompok ini, terdapat nama H Fachrurrazy AH. Mereka mengembuskan isu pribumi alias warga asli Betawi dengan non Betawi

Saat itu, KH AM Baidlowi Tafsir dianggap tidak berhak menjadi Ketua Tanfidziyah NU DKI Jakarta. Karena bukan orang Betawi, tetapi orang Jawa.

KH Achmad Mursyidi yang berada di dalam posisi sulit karena isu ini, memilih untuk tidak ikut campur.

NU DKI Jakarta kemudian pecah menjadi dua kepengurusan di tingkat tanfidziyah. KH Achmad Murysidi tidak ikut dalam perpecahan ini, walaupun pada waktu itu dia menjabat sebagai Rais Syuriah NU DKI Jakarta.

Dikarenakan KH Ayatullah Saleh adalah besan dari KH Achmad Murysidi dan rumahnya berhadap-hadapan dengan KH Achmad Murysidi. Beliau tidak ingin berkonflik dengan besannya.

 
NU DKI Jakarta kemudian pecah menjadi dua kepengurusan di tingkat tanfidziyah.
 
 

Saat Muktamar ke-24 NU di Bandung tahun 1968, perpecahan di tubuh NU DKI Jakarta semakin meruncing. Kelompok KH Ayatullah Saleh karena tidak mengakui kepengurusan hasil Konferensi Wilayah DKI Jakarta di Matraman, Jakarta Timur yang membentuk Majelis Musyawarah Cabang (MMC). Kelompok ini memiliki dukungan 24 cabang NU di DKI Jakarta.

Pada masa itu, cabang NU berada di tingkat kecamatan. Ada 30 kecamatan di DKI Jakarta yang berarti ada 30 Pengurus Cabang NU di DKI Jakarta. Sedangkan kepengurusan NU hasil Konferensi Wilayah NU DKI Jakarta hanya memiliki 6 cabang. Berarti hanya seperempat dari jumlah cabang yang dimiliki kelompok MMC.

Di Muktamar ke-24 NU di Bandung, kedua kelompok ini hadir. Mereka membawa bendera masing-masing. Uniknya, baik pengurus sah hasil Konferensi Wilayah DKI Jakarta maupun kelompok MMC mengantongi dukungan dari Pengurus Besar (PB) NU.

Kelompok MMC mendapat dukungan --dan tentu saja surat resmi dari PBNU-- dari KH Idham Chalid dan KH Jamaluddin Malik. Sedangkan KH AM Baidlowi Tafsir, selain merupakan Ketua Tanfidziyah NU DKI Jakarta yang sah, juga mengantongi dukungan dari KH Masykur dan KH A Sjaichu.

Di Bandung, kedua kelompok yang bertikai ini diterima dan mengikuti muktamar hingga selesai. 

Dukung mendukung dan sokong menyokong kepada dua kelompok ini tampaknya imbas dan friksi yang terjadi di PBNU menjelang berlangsungnya Muktamar ke-24 NU di Bandung dikarenakan oleh politik pemerintah Orde Baru yang sedang menggalang kekuatan dan mulai menyalakan mesin politiknya.

Hubungan dua kelompok NU DKI Jakarta ini baru mesra kembali setelah diadakan Konferensi Wilayah NU DKI Jakarta pada 1971 yang memilih KH Ayatullah Saleh sebagai Ketua Tanfidziyah NU DKI Jakarta. Setelah itu, tidak ada lagi dualisme kepengurusan NU di DKI Jakarta walau beberapa periode kepengurusan berikutnya. Di era tahun 1990-an, dualisme kepengurusan ini terjadi kembali di NU DKI Jakarta.

Pasca pemilu 1971, perwakilan NU DKI Jakarta berperan di lembaga eksekutif Badan Pemerintahan Harian, pada masa kepemimpinan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Ali Sadikin, yakni H Muzaini Ramli, H Romas Djajasaputra.

Pada tahun 1975, Konferensi Wilayah NU DKI Jakarta memilih H Fachrurrazy, AM sebagai Ketua Tanfidziyah, dan KH Achmad Mursyidi sebagai Rais Syuriah PWNU DKI Jakarta periode 1975- 1977.

Mulanya Paganisme Pra-Islam

Sebagian kaum Arab di Makkah pra-Islam meninggalkan tauhid yang diajarkan Nabi Ibrahim.

SELENGKAPNYA

Cina Buka Data, 60 Ribu Meninggal Akibat Covid-19

Cina hanya menghitung kematian akibat Covid-19 di rumah sakit.

SELENGKAPNYA

Adab Berjalan Kaki

Islam pun mengatur tata cara atau adab berjalan yang baik.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya