Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Makar pada Malam Tahun Baru

Peristiwa ini terjadi pada malam tahun baru 1722.

 

OLEH ALWI SHAHAB

Berbelok ke arah kiri dari Stasiun Kereta Api Beos di Jakarta Kota, kita akan memasuki Jalan Pangeran Jayakarta. Di sini, kita akan mendapati sebuah showroom Astra, pabrik mobil terbesar di Jakarta. Di gedung ini, pernah menjadi tempat bersejarah di Batavia.

Peristiwa ini terjadi pada malam tahun baru 1722. Di rumah yang pernah menjadi tempat tinggal Pieter Erberveld, keturunan Jerman dan ibu seorang Jawa pada malam pergantian tahun merencanakan untuk melakukan pemberontakan terhadap Belanda (VOC).

Dia memilih makar untuk membunuh seluruh warga Belanda, termasuk orang tua dan anak-anak di Batavia. Pieter melakukan perbuatannya ini dibantu para pengikutnya yang terdiri atas seorang Pangeran Mataram dan beberapa ningrat dari kesultanan Islam Banten.

Mereka beserta pasukannya akan menghabisi seluruh warga Belanda. Dipilihnya malam pergantian tahun karena seperti juga kebiasaan saat ini, masyarakat, khususnya warga Belanda tengah mabuk-mabuk dan berdansa. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak mereka menduduki Batavia pada 1619. Bahkan, nama Batavia diberikan oleh salah seorang serdadu yang sedang mabuk.

 
Dia memilih makar untuk membunuh seluruh warga Belanda, termasuk orang tua dan anak-anak di Batavia.
 
 

Sayangnya, program makar yang bila berhasil akan menggemparkan Hindia Belanda, ternyata gagal karena karena beberapa hari menjelang tahun baru rencana ini terbongkar. Pieter dan pengikutnya dihukum, termasuk Raden Kartadi dari Mataram dengan hukuman berat. Badan mereka ditarik empat ekor kuda yang berlari dari berbagai arah hingga kulitnya terpecah-pecah. Sampai kini, di dekat lokasi tersebut terdapat Kampung Pecah Kulit.

Di belakang kediaman Pieter, tempat mereka merencanakan pemberontakan, Belanda memasang patung dengan tengkorak manusia dan di bawahnya tertulis ancaman mereka yang hendak melawan Belanda akan mengalami nasib yang sama. Patung itu kemudian dihancurkan pada masa pendudukan Jepang. Kini, tiruannya terdapat di Gedung Museum Sejarah Jakarta.

Pesta menyambut malam tahun baru dengan mabuk-mabukan dan dansa merupakan kebiasaan yang dilakukan warga Belanda sejak mereka bercokol di Jakarta. Kebiasaan inilah yang ditiru di setiap datangnya malam tahun baru.

Dansen dan drinken (minum minuman keras), kebiasaan itu sering dilakukan orang Belanda, utamanya orang Indo, yaitu para sinyo dan noni (sebutan untuk pemuda dan pemudi Indo-Belanda). Pada malam hari, mereka membuka pintu lebar-lebar rumahnya untuk didatangi musik tanjidor yang ngamen dari rumah ke rumah. Mereka berdatangan dari daerah pinggiran, seperti Cisalak, Ciganjur, dan Tambun.

 
Pesta menyambut malam tahun baru dengan mabuk-mabukan dan dansa merupakan kebiasaan yang dilakukan warga Belanda.
 
 

Seperti juga sekarang, pesta tahun kala itu juga diselenggarakan di hotel-hotel bergengsi, seperti Hotel des Indes (kini Pertokoan Duta Merlin), Hotel der Nederlanden (kini gedung Bina Graha tempat kepresidenan), dan hotel du Pavilion kepunyaan warga keturunan Arab.

Orang-orang Belanda yang berkocek tebal tiap tahun juga mengadakan pesta pora semalam suntuk menyambut pergantian tahun di Harmonie Club yang kini merupakan bagian dari Sekretariat Negara. Warga Belanda juga mengadakan pesta-pesta di gedung Concordia, sebuah klub militer yang kini merupakan bagian dari gedung Departemen Keuangan di Lapangan Banteng.

Sementara, bioskop-bioskop dalam menyambut pergantian tahun mengadakan pertunjukan semalam suntuk. Seperti, Metropole (kini Megaria), Capitol, Garden Hall, dan Cinema juga mengadakan pertunjukan semalam suntuk. Waktu itu, belum ada mal dan pusat-pusat perbelanjaan.

 
Sementara, bioskop-bioskop dalam menyambut pergantian tahun mengadakan pertunjukan semalam suntuk.
 
 

Pesta menyambut tahun baru paling meriah terjadi pada masa Gubernur Ali Sadikin dengan pesta semalam suntuk. Begitu  meriahnya malam muda-mudi, hingga banyak terjadi kecelakaan lalu lintas. Padahal, kala itu itu jumlah penduduk belum banyak.

Khusus untuk roda dua, pemerintah Kolonial kala itu menyediakan jalur khusus. Sepeda merupakan salah satu angkutan yang paling banyak, termasuk digunakan oleh para petingginya. Kalau sekarang Jalan Thamrin dan Sudirman terlarang untuk dilewati, ketika itu belum ada pemikiran demikian.

Disadur dari Harian Republika Edisi 22 Desember 2014. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman yang wafat pada 2020.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat