
Nasional
Prof Haedar: Cegah Polarisasi di Pemilu
Polri memprediksi kontestan pemilu bakal gunakan politik identitas lagi.
YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Prof Muhammadiyah Haedar Nashir menyoroti ancaman isu pembelahan politik pada Pemilu 2024 mendatang. Haedar menyarankan agar polarisasi dicegah dan diantisipasi agar tidak terjadi kembali.
Menurutnya, perlu prakondisi selama 1,5 tahun sebelum pencoblosan digelar untuk mencegah polarisasi. "Kita juga berharap ada waktu kita untuk 1,5 tahun ini menciptakan pra kondisi agar apa yang selama ini menjadi isu yang masih diangkat yaitu pembelahan politik tidak terjadi," kata Haedar di Kantor Pusat PP Muhamadiyah, Kamis (29/12).
Haedar mengajak semua pihak untuk menutup buku pembelahan politik sebagaimana pengalaman Pemilu 2019. Ia menegaskan, kalau ada pihak yang memeringatkan bahwa tugas pemerintah sangat berat di Pemilu 2024 akibat potensi polarisasi, sebaiknya upaya mencegah dilakukan sejak diri.
"Jangan tunggu di 2024, tapi satu tahun ini, 2023, kita justru harus bersama menciptakan kondisi agar pembelahan politik tidak terjadi," ujarnya.

Ia menambahkan, perbedaan pilihan politik merupakan hal yang demokratis dan alamiah, namun pembelahan politik yang menyebabkan kekuatan bangsa terbelah harus dihindari. Haedar mengajak elite dan masyarakat untuk memproduksi sikap, pernyataan, narasi yang positif. Dengan demikian diharapkan bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa yang bersatu.
Haedar juga meminta agar isu penundaan pemilu dihentikan. Ia mengingatkan kembali hasil Muktamar Muhammadiyah ke-48 beberapa waktu lalu yang mengharapkan kepastian pelaksanaan Pemilu 2024. "Saya pikir (isu penundaan pemilu) ini harus diakhiri. Tutup buku di akhir tahun ini, tidak lagi ada diskusi yang mengambangkan pelaksanaan pemilu karena itu kan sudah menjadi komitmen negara, sudah menjadi komitmen pemerintah secara prosedural," tegas dia.
Dalam pidatonya saat konsolidasi nasional Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Presiden Joko Widodo juga mengingatkan bahayanya politik identitas bagi Indonesia menjelang Pemilu 2024.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro mengatakan, politik identitas yang dimaksud Jokowi yakni identitas yang disalahgunakan dan dipakai sebagai instrumen politik kebencian. Menurutnya, hal ini bisa memunculkan potensi polarisasi di masyarakat.
“Kita perlu detailkan bahwa yang dimaksud adalah identitas yang merusak atau identitas yang dipakai untuk politik kebencian. Harusnya identitas untuk memperkuat persatuan, dan bukan untuk politik pecah belah,” kata Juri, dikutip dari siaran pers KSP pada Kamis (29/12).
Juri mengakui, politik identitas masih menjadi isu strategis yang harus diwaspadai seluruh pemangku kepentingan pemilu. Apalagi di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan penggunaan media sosial saat ini.
Pengawasan
Sebelumnya, Bawaslu bakal mengawasi media sosial secara khusus. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengaku, pengawasan medsos secara ketat untuk mencegah politisasi SARA yang membuat polarisasi di masyarakat.
"Ke depan, kami ingin membuat suatu program pengawasan media sosial untuk menurunkan ketegangan politisasi SARA, hoaks, dan black campaign," ujar Bagja.
Terkait politik identitas ini, Badan Intelijen Keamanan Polri juga sudah memasukkannya sebagai salah satu isu yang menjadi perhatian. Direktur Politik pada Badan Intelijen Keamanan Polri, Brigadir Jenderal Yuda Gustawan menyatakan, pihaknya memberikan atensi khusus terkait isu politik identitas. Sebab, penggunaan politik identitas dalam kontestasi Pemilu 2019 terbukti membuat masyarakat terbelah, bahkan hingga sekarang.
Yuda memperkirakan, para kontestan Pemilu 2024 bakal meramaikan kemabali narasi politik identitas layaknya 2019, seperti isu perbedaan agama, suku, dan golongan. Ia memprediksi kontestan akan memainkan isu pemecah belah bangsa itu demi meraup suara pemilih. "Efek domino politik identitas itu nanti akan banyak menimbulkan gangguan keamanan, baik menjelang, saat pelaksanaan, dan saat pelantikan hasil Pemilu dan Pilkada serentak 2024," ujarnya.
Anggota DPR dari Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan, konsolidasi politik penghujung 2022 dan memasuki 2023 perlu dikawal agar konsolidasi demokrasi tidak terus terkikis.
Fadli memberi catatan pertama tentang menjaga kepastian penyelenggaraan pemilu 2024. Pada 14 Desember lalu, pemilu sudah masuk dalam tahapan penetapan peserta. Ada 17 partai politik dan 6 partai politik lokal Aceh yang telah ditetapkan KPU.

Namun, ia menekankan, bukan berarti penyelenggaraan pemilu 2024 sudah aman dari ancaman penundaan. Bulan lalu, misalnya, sejumlah media melaporkan masih saja muncul wacana-wacana penundaan pemilu yang datang dari aktor-aktor politik.
"Sebagai wacana yang inkonstitusional, pemerintah hendaknya tak lagi membiarkan ketidakpastian penyelenggaraan pemilu karena bisa merusak aspek konstitusionalitas, struktural dan politis pada sistem demokrasi Indonesia," kata Fadli, Kamis (29/12).
Kedua, yang perlu dikawal bersama pada tahun politik 2023 mengenai kualitas jalannya pemilu itu sendiri. Ia menilai, Indonesia perlu mengambil pelajaran berharga dari Pemilu 2019 dan menyisakan masalah mendasar yang sangat serius.
Mulai dari permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan netralitas penyelenggara pemilu. Lalu, persoalan hitung cepat dan meninggalnya ratusan petugas pemilu, sampai permasalahan terkait ancaman jaminan kebebasan sipil dan berpendapat.
Ketua BKSAP DPR RI itu menambahkan, 2023 akan menjadi sejarah dan tikungan baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Apalagi, Fadli menyebut, Indonesia masih dalam kondisi demokrasi yang masih cacat atau disebut flawed democracy.
Dalam kondisi seperti itu, bangsa ini dihadapkan satu agenda besar yaitu pemilu serentak. Karenanya, Fadli berpendapat, tidak berlebihan kalau pada 2023 nanti dikatakan pula sebagai momen pertaruhan bagi konsolidasi demokrasi Indonesia. "Apakah bergerak maju atau semakin terkikis," ujar Fadli.
KPU Diminta Berbenah untuk Setop Isu Penundaan Pemilu
KPU juga harus memastikan komisionernya untuk menjalani proses hukum.
SELENGKAPNYATantangan Mediamorfosis Menghadapi Generasi Kaca
Pandemi Covid-19 sejak 2020 juga mengakselerasi perilaku digital warga global.
SELENGKAPNYA