
Khazanah
Gus Yahya: NU tak Mau Lagi Politik Praktis
NU harus kembali pada peran utamanya sebagai ormas Islam.
JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau yang biasa dipanggil Gus Yahya mengatakan, pada awalnya konstruksi yang dominan dalam organisasi NU adalah konstruksi politik. Namun, menurut dia, saat ini NU tidak mau terlibat lagi dalam politik praktis.
Menurut Gus Yahya, konstruksi politik tersebut sudah dibentuk dan dimapankan sejak 1952 saat NU berfungsi sebagai partai politik. Kemudian, pada Muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984, NU menegaskan gerakannya untuk tidak terlibat lagi dalam politik praktis atau yang dikenal dengan Khittah 1926.
“Nah, pada tahun 1984 NU mengundurkan diri dari politik praktis, nggak mau lagi politik praktis. Makanya sekarang ini, akhir-akhir ini kita mau kembali kepada prinsip hasil Muktamar tahun 1984. Kita nggak mau terlibat di dalam politik praktis,” ujar Gus Yahya dalam sambutannya pada pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) di Jakarta, Senin (26/12).
Gus Yahya mengatakan, konstruksi politik yang dibangun NU tersebut berlangsung cukup lama, yakni 32 tahun. Karena itu, menurut dia, tidak mudah untuk mengubah konstruksi politik tersebut.
Pada tahun 1984 NU mengundurkan diri dari politik praktis, nggak mau lagi politik praktis.KH YAHYA CHOLIL STAQUF Ketua Umum PBNU
“Tidak mudah untuk mentransformasikan kemapanan ini menjadi sesuatu yang lain. Lembaga-lembaganya, strukturnya, mekanisme-mekanismenya dan pola berpikir dari orang-orangnya masih sangat dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan politik praktis sampai sekarang,” ujar Gus Yahya.
Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Leteh, Rembang ini menegaskan bahwa hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi NU. Sebagai pimpinan NU, Gus Yahya ingin mengubah pola pikir politik praktis tersebut.“Pertama-tama memang kita harus mengatasi dulu tantangan untuk mengendalikan mindset politik praktis yang masih ada sampai sekarang,” ujar dia.
Menjelang tahun politik ini, dia pun mengimbau kepada pengurus NU agar menggunakan rem tangan dalam politik praktis. “Hari-hari ini kita harus sungguh taklid kepada qaulnya Syekh al-Hajj Rhoma Irama. Apa itu? Rem tangan... rem tangan (plesetan 'rintangan' dalam lagu Rhoma Irama). Jadi kita pakai rem tangan sekarang,” ujarnya diiringi tawa para hadirin.
Gus Yahya menambahkan, banyak orang yang terdorong untuk terlibat dalam politik praktis. Bahkan, menurut dia, belum lama ini ada anggota LPBH NU yang mulai mengarah ke politik praktis. “Ini harus di rem tangan ini, kembali ke Haji Rhoma Irama,” kata Gus Yahya.
Pengamat politik Islam, Siti Zuhro, menilai, penegasan Gus Yahya bahwa NU tidak ingin terlibat politik praktis merupakan langkah yang bagus. Menurutnya, NU harus kembali pada peran utamanya sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam.
Siti mengatakan, ormas Islam jelas berbeda dengan organisasi politik yang diwujudkan dalam bentuk partai politik. Partai politik, tentu berpolitik praktis, sedangkan PBNU sebagai ormas Islam harus mengelola semua anggotanya dengan memberikan bekal pendidikan dan sebagainya.
"Ketika berpolitik praktis, seperti yang sudah-sudah, jadi bingung gerbongnya. Akibatnya, konsolidasi internal dan perbaikan kualitas internal ini menjadi kurang diutamakan. Dan NU menyadari dampak-dampak itu sebetulnya," kata peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu.

Siti kemudian menyinggung soal adanya Partai NU pada 1955, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1998, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) pada 2006. Ini artinya, kata dia, ada kegiatan politik riil yang berjuang dan beraktivitas untuk kekuasaan.
"NU bisa jadi sekarang ini mengevaluasi kiprahnya selama 20 atau 10 tahun terakhir ini, yang dinilai tidak menguntungkan dan kurang bermanfaat bagi peningkatan kualitas umat NU. Maka NU saat ini fokus memperbaiki internalnya," ujarnya kepada Republika, Selasa (27/12).
Menurut Siti, ketika NU terlibat dalam politik praktis, tokoh-tokohnya pun diperhitungkan sehingga dapat duduk di posisi strategis. Namun, hal tersebut bersifat elitis sehingga perlu dipertanyakan apakah kemanfaatannya berdampak sangat luas bagi seluruh warga NU yang jumlahnya sekian puluh juta itu.
Sebagai ormas Islam, lanjut Siti, NU tentu harus mementingkan warganya, bukan elitenya. Karena itu, menurut dia, penegasan Gus Yahya soal NU yang tidak ingin berpolitik praktis merupakan cara PBNU melakukan evaluasi demi kemanfaatan umat Islam yang sebesar-besarnya, yang dalam hal ini ialah warga NU.
NU Gelar Muktamar Internasional Fikih Peradaban
Sampai saat ini dunia masih dibayangi konflik identitas dan agama atau yang mengatasnamakan agama.
SELENGKAPNYANU-Kemenkes Kerja Sama Tangani Stunting
Agenda-agenda kesehatan Kemenkes bisa sampai ke posyandu melalui jaringan bulkonah NU.
SELENGKAPNYAFalakiyah PBNU Tegaskan Kembali Posisi Hilal dan Waktu Subuh
Falakiyah PBNU menetapkan angka yang paling aman adalah elongasi 9,9 derajat.
SELENGKAPNYA