
Konsultasi Syariah
Bank Syariah tidak Siap Rugi?
Jika bank syariah abai terhadap mitigasi risiko hingga usaha rugi, maka telah melakukan penyimpangan atau wanprestasi.
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum wr wb.
Saya mendengar dalam beberapa forum obrolan dan diskusi bahwa bagi hasil di bank syariah itu tidak sesuai syariah karena salah satu syarat dari mudharabah, yakni masing-masing pihak itu siap untung dan siap rugi. Hal itu tidak terjadi di bank syariah. Mohon penjelasan, Ustaz! -- Irwan, Ciracas
Waalaikumussalam wr wb.
Bank syariah siap rugi sebagaimana ketentuan syariah terkait bagi hasil (tahammul al-khasarah) dengan perjanjian keuntungan dalam bentuk persentase dan realisasi usaha sebagai sumber bagi hasil. Apa yang dilakukan bank syariah sebagai pemilik modal atau pengelola adalah menunaikan amanah para pemilik tabungan/deposito dengan memitigasi risiko usaha agar menguntungkan.
Dengan kontrol dan pengawasan yang dilakukan dewan pengawas syariah, audit internal bank, dan otoritas pengawasan terkait telah meminimalisasi potensi penyimpangan agar bank syariah tetap on the track dan sesuai dengan tuntunan regulasi dan syariah, tak terkecuali dalam skema bagi hasil.
Sebelumnya, perlu diperjelas maksud tidak siap rugi. Apakah yang dimaksud bank syariah sebagai pengelola melakukan mitigasi risiko dengan beberapa cara mitigasi? Atau yang dimaksud adalah penyimpangan yang terjadi dalam perjanjian, misalnya, keuntungan yang disepakati dalam bentuk nominal (bukan persentase).
Pertama, sesungguhnya pada saat bank melakukan mitigasi risiko agar usaha yang dikelolanya tidak rugi itu bukan berarti tidak siap rugi, tetapi itu sesuai tuntunan syariah dan fitrah setiap orang.
Beberapa cara mitigasi risiko dalam bagi hasil itu dibolehkan, di antaranya (1) memilih mitra terbaik (amanah dan profesional). (2) Proyeksi. Kedua belah pihak boleh membuat ekspektasi keuntungan, tetapi ekspektasi ini hanya perencanaan.
Sedangkan, keuntungan yang menjadi hak keduanya itu merujuk kepada realisasi hasil usaha. Proyeksi dalam pembiayaan mudharabah diperkenankan dalam fikih, selama itu bagian dari mitigasi dan perencanaan, memenuhi rukun dan syarat mudharabah, serta bagi hasil didasarkan pada realisasi usaha mudharabah.
(3) Menyepakati adanya kolateral/garansi yang akan dicairkan untuk mengganti modal saat kerugian terjadi karena wanprestasi pengelola. Sebagaimana Fatwa DSN MUI, “Barang jaminan (marhun) dalam akad amanah hanya dapat dieksekusi apabila pemegang amanah (al-Amin, antara lain, syarik, mudharib, dan musta’jir) melakukan perbuatan moral hazard.” (Fatwa DSN MUI Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn).
Bahkan, income smoothing dengan merujuk pada ketentuannya dalam Fatwa DSN MUI Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Income Smoothing Dana Pihak Ketiga.
Hal ini juga sebagaimana hadis Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas, “Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR Thabrani dari Ibnu Abbas).
Sebaliknya, jika bank syariah abai terhadap mitigasi risiko hingga usaha rugi, ia telah melakukan penyimpangan atau wanprestasi. Sebagaimana firman Allah SWT, “... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan...” (QS Al-Baqarah: 195).
Kedua, berbeda halnya jika tidak siap rugi tersebut ditunjukkan dengan bagian keuntungan para pihak dalam berbentuk nominal tertentu (bukan persentase), itu bertentangan dengan nash dan maqashid (target) mudharabah.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Dari Aisyah RA, ... manfaat (didapatkan oleh seseorang) disebabkan ia menanggung risiko” (HR Tirmidzi). Kaidah fikih, “Risiko berbanding dengan manfaat.” Kesepakatan dan keuntungan harus berbentuk persentase (juz’ sya’i). Wallahu a’lam.
Oase di Tengah Lahan Sawit
Industri kelapa sawit secara tidak langsung mengundang bencana banjir dan tanah longsor.
SELENGKAPNYAArsitek Mimar Sinan dan Karya pada Tiap Era Utsmani
Mimar Sinan mengalami empat masa kepemimpinan khalifah Daulah Utsmaniyah.
SELENGKAPNYASang Arsitek Kebanggaan Utsmani
Arsitek utama Kekhalifahan Utsmani ini memulai kiprahnya di militer Janissary.
SELENGKAPNYA