
Safari
Menikmati Salju di Lereng Alborz
Putihnya Alborz kali ini juga dibumbui dengan kontur batu berwarna cokelat kehitaman
Krek, krek, krek. Tali besi penghubung telekabin mulai berbunyi. Gerbong itu bergerak pelan. Dibantu beberapa petugas, gerbong merah berisi empat wartawan dan satu penerjemah itu beranjak mendaki lereng Pegunungan Alborz di utara Kota Teheran.
Tali besi menjuntai dari stasiun per tama hingga ke salah satu anggota keluarga pegunungan Alborz. Namanya, Gunung Tochal. Gunung ini merupakan bagian Alborz yang berbatasan langsung dengan Kota Teheran. Tingginya 3.694 meter dari permukaan laut. Selain dengan telekabin, pengunjung bisa mendaki dengan berjalan kaki untuk sampai ke puncak Tochal.
Rasa oleng agak terasa saat saya menduduki satu gerbong mini telekabin bermuatan enam orang dewasa. Tapi, semua terbayar tuntas saat melihat keindahan dari stasiun ke stasiun berikutnya. Ada empat stasiun yang harus dilewati sebelum mencapai puncak.
Setiap stasiun menyuguhkan pemandangan berbeda. Stasiun pertama contohnya. Pemandangannya, gunung kebanggaan rakyat Iran yang masih tandus kecoklatan. Tidak ada satu pun hijau di sana. Hanya tanah kering dan beberapa batu besar. Sesekali putihnya salju membumbui tubuh gunung itu. Mirip es krim cokelat dengan vanila di atasnya.

Semakin menanjak, laju kabin semakin perlahan. Saya berkesempatan melihat indahnya Kota Teheran di stasiun ke dua. “Subhanallah,” ungkap salah satu jurnalis asal Palestina, Hasan.
Teheran seperti tumpukan gedung dan perumahan lengkap dengan jalan raya yang berjumpa dalam satu cekungan. Kepadatan kota berpopulasi 14 juta jiwa itu terasa di pelupuk mata. Meski terkena berbagai macam sanksi ekonomi, ibu kota Iran masih tampak sibuk dari perkantoran hingga bazar.
Ada empat stasiun yang harus dilewati sebelum mencapai puncak. Setiap stasiun menyuguhkan pemandangan berbeda.
Meski tidak berbicara banyak, mata Hasan tidak pernah lepas menatap keindahan Alborz. Pria tinggi kekar itu tetap menerawang sambil merekam Alborz dengan telepon seluler mini hitam merek Samsung. Sampai stasiun ke tiga dan ke empat, salju menutupi seluruh badan Alborz.
Hanya, seperti di stasiun pertama, putihnya Alborz kali ini juga dibumbui dengan kontur-kontur batu berwarna cokelat kehitaman. Hmm, kali ini mirip es krim vanila dengan bulir cokelat di atasnya. Bibir Hasan pun kembali berucap mesra. “Subhanallah.”
Stasiun terakhir
Setibanya di stasiun terakhir, saya dan rekan-rekan wartawan lainnya mirip anak kecil yang baru saja dibelikan mainan. Kami berlomba untuk sampai ke puncak. Ketebalan salju pun terasa. Semua putih itu membawa kami dalam kondisi dingin yang menusuk.
Memang, sungguh jarang mengharap kejatuhan bulir-bulir salju pada sore di akhir Januari. Akan tetapi, ini sudah cukup membuat rombongan wartawan memeriahkan suasana dengan parade bersin berkat suhu yang berada di angka minus.
Pada terminal terakhir, terdapat berbagai aktivitas yang bisa dilakukan pengunjung. Lempar bola salju, main ski, atau duduk-duduk di tepi lereng untuk menikmati indahnya pemandangan sekitar. Bagi pengunjung yang hendak menghangatkan tubuh, pengelola pun menyediakan kabin luas berbahan kayu lengkap dengan minuman hangat, seperti kopi dan teh, juga roti bakar.
Selain itu, ada pipa panjang yang menjalar di tembok kayu kabin. Pipa ini beraliran uap panas. Sehingga, jika tangan terasa menggigil, pengunjung bisa menggenggam pipa berbahan besi itu.

Di sana, saya bertemu dengan lelaki muda Iran, Paima, tepat di luar kabin. Pria bule itu menarik perhatian saya karena tidak mengenakan jaket. Hanya kaus oblong berlengan sampai siku. Sebatang rokok di sela-sela jarinya agaknya sudah cukup menjadi pelarian dari rasa dingin.
“Saya orang Rusia tapi saya tinggal di sini,” ujarnya. Pengakuan Paima menjadi pemafhuman saya kalau dia bisa tiba di sini hanya dengan kaus oblong.
Paima berjalan kaki untuk tiba ke lereng. Dia mengenakan sepatu daki bergerigi khusus untuk medan bersalju. Memang ada jalur bagi pejalan kaki untuk turut menikmati Alborz. Paima bercerita, dia tinggal di Iran sejak balita. Hobinya adalah menjelajah. “Kalau saya banyak uang, saya akan mengunjungi kamu,” ujarnya ramah.
Paima berkelakar kalau saya beruntung sampai di Gunung Tochal. Pasalnya, selepas Februari, salju akan habis dan gunung itu pun akan gersang.
Harga
Untuk naik telekabin agak mahal. Penumpang harus merogoh 50 ribu real Iran untuk sampai ke setiap stasiun. Sementara stasiun tiga, karena jaraknya yang agak jauh, membuat penumpang harus membayar 80 ribu real Iran.
Jika dihitung pulang pergi, ongkos telekabin hingga stasiun empat adalah 460 ribu real Iran atau sekitar 45 dolar AS, setara dengan Rp 405 ribu.

Disadur dari Harian Republika 4 Maret 2012
Sultan Selim I, Khalifah Pertama Turki Utsmaniyah
Pada masa Selim I, pertama kalinya Turki Utsmaniyah menyandang titel kekhalifahan.
SELENGKAPNYASulaiman al-Qanuni, Sang Penerus Kejayaan Utsmaniyah
Di bawah pemerintahan Sulaiman al-Qanuni, Utsmaniyah meneruskan kejayaan yang sudah dimula dahulu.
SELENGKAPNYAIkhlas yang Membuat Iblis Angkat Tangan (2-habis)
keikhlasan itu tidak dikatakan, tetapi diwujudkan dan dibudayakan.
SELENGKAPNYA