Guru besar ilmu komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Prof Asep Saeful Muhtadi. | DOK IST

Hiwar

Prof Asep: Konvergensi Media Itu Niscaya

Menurut akademisi Prof Asep Saeful Muhtadi, konvergensi media dapat menjadi pilihan pers masa kini.

Perkembangan teknologi digital membuka peluang dan sekaligus mendatangkan tantangan besar. Dalam bidang komunikasi, misalnya, para pelaku media massa ikut terimbas. Prof Asep Saeful Muhtadi mengatakan, perubahan yang ada tidak mungkin dihindari. Yang mesti dilakukan adalah memberikan respons terbaik.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati itu menjelaskan, media-media massa dapat memilih konvergensi media sebagai metode. Bahkan, ia berpandangan bahwa hal itu telah menjadi suatu keniscayaan yang mesti ditempuh mereka.

“Di satu sisi, konvergensi media diharapkan dapat mempertahankan eksistensi media mainstream. Pada saat yang sama, ia tetap sanggup membaca selera masyarakat yang sudah demikian bergeser dari selera lama, khususnya dalam hal mengonsumsi informasi,” ujar profesor yang akrab disapa Kang Samuh itu.

Tentu saja, semua perusahaan media ingin terus bertahan dan berkembang. Namun, pada faktanya hanya mereka yang mampu beradaptasi, itulah yang dapat mewujudkan keinginan tersebut. Kang Samuh mengapresiasi media-media massa yang sudah lebih dahulu meggerakkan lini online, seperti Republika.co.id selaku portal berita daring pertama di Indonesia.

Apa dan bagaimanakah konvergensi media itu? Bagaimana metode demikian dapat menjadi solusi bagi media-media massa arus utama (mainstream)? Kemudian, adakah kaitannya dengan peningkatan literasi digital masyarakat?

Untuk menjawabnya, berikut ini adalah petikan wawancara yang dilakukan wartawan Republika, Muhyiddin, dengan alumnus University of Wisconsin-Madison Amerika Serikat itu. Bincang-bincang dilakukan beberapa waktu lalu melalui sambungan telepon.

 
Konvergensi media diharapkan dapat mempertahankan eksistensi media mainstream.
 
 

Bagaimana internet mengubah pola-pola konsumsi masyarakat dalam mencari informasi?

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan perubahan yang mendasar pada pola-pola konsumsi masyarakat. Efek itu sudah menjadi keniscayaan. Masyarakat tidak bisa menghindar dari serbuan informasi yang datang dan membanjiri kehidupan mereka. Sebaliknya, ketersediaan teknologi itu menyebabkan masyarakat kian bebas dan terbuka dalam memilah dan memilih informasi sesuai selera mereka.

Akibatnya, terjadilah pergeseran kebiasaan. Sebelumnya, masyarakat apabila ingin mencari informasi tentang berbagai hal, maka mereka harus mencari orang yang dianggapnya “tahu.” Kini, mereka tidak perlu lagi bersusah payah menemuai orang yang berpengetahuan. Cukup mengambil ponsel (smart-phone), memijit tombol-tombol yang dikehendaki, mengeklik tautan, dan akhirnya sampai pada apa-apa yang mereka cari.

Agar terus relevan, bagaimana media-media massa arus utama (mainstream) menyikapi perubahan?

Jelas bahwa perkembangan teknologi informasi memunculkan lahirnya media baru (new media). New media ini lebih fleksibel dan sekaligus sederhana. Maka, ia menjadi “ancaman” bagi eksistensi media arus-utama.

Jika para pelaku media mainstream tidak kreatif dalam menemukan cara-cara ataupun menerapkan strategi penyajian informasi kepada publik, maka tidak menutup kemugkinan mereka terimbas. Bahkan, suatu saat sebagian mereka akan gulung tikar. Habis tergeser oleh “serbuan” new media.

Dari segi waktu, misalnya, sebuah koran harus menunggu hingga satu hari untuk menyajikan informasi tentang sesuatu peristiwa kepada khalayak. Nah, new media, khususnya media daring (online) dapat langsung menyajikan itu pada saat itu juga (real time).

Maka, ada keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki media cetak. Karena itu, para insan pers yang bekerja untuk koran, misalnya, harus lebih kreatif dalam menyajikan narasi peristiwa sehingga bisa tetap dikonsumsi audiensnya. Mereka bisa memanfaatkan, katakanlah, konvergensi media. Hal itu bisa ditambah pula dengan membuat spesialisasi topik-topik pemberitaan.

Bisa dijelaskan perihal “konvergensi media” itu?

Secara sederhana, konvergensi media adalah suatu bentuk media baru yang mengolaborasi kelebihan-kelebihan media baru dengan media arus utama, atau sebaliknya. Di satu sisi, konvergensi media diharapkan dapat mempertahankan eksistensi media mainstream.

Pada saat yang sama, di sisi lain, ia tetap sanggup membaca selera masyarakat yang sudah demikian bergeser dari selera lama, khususnya dalam hal mengonsumsi informasi.

Dua jenis media itu dapat saling mengisi dan melengkapi. Atau, bisa juga media mainstream (cetak) sekaligus menyediakan fasilitas baru yang relevan dengan perkembangan zaman. Misalnya, koran-koran tidak hanya menyajikan beritanya lewat medium cetak. Mereka pun tersedia dalam wujud lainnya, seperti media online atau elekronik yang paling memungkinkan.

Bagaimana konvergensi media memengaruhi pola kerja institusi dan insan pers?

Sudah pasti pergeseran media ini akan memengaruhi pola-pola kerja para pegiat media, termasuk institusi dan insan pers. Pengaruh itu terasa mulai pada pola pengambilan berita, pemilihan sumber berita, penyajian berita, hingga pemasarannya. Semua akan berubah secara signifikan.

Jika tidak ikut berubah, tidak tertutup kemungkinan media mainstream akan ditinggalkan konsumen. Perubahan pola kerja ini sesungguhnya merupakan akibat dari adanya pergeseran bentuk medium yang menjadi sarananya. Misalnya yang tadinya hanya sarana cetak, lalu muncul daring.

Apa saja peluang yang dimunculkan konvergensi media untuk media-media massa?

Saya kira, peluangnya terbuka lebar. Itu selama media mainstream mau berubah. Peluang itu juga sekaligus menjadi sebuah “keniscayaan” pada masing-masing pihak. Media mainstream yang tidak melakukan konvergensi media bisa dipastikan akan ditinggalkan konsumennya.

Pada akhirnya, ia otomatis akan gulung tikar. Besarnya peluang ini juga terjadi karena teknologi tetap terbuka untuk dimanfaatkan oleh siapapun. Hal itu berlangsung selama demokratisasi dalam berekspresi masih dijamin undang-undang atau aturan negara.

Bagaimana konvergensi media dapat meningkatkan literasi digital?

Digitalisasi media memang merupakan hal baru bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Karena itu, untuk dapat bebas mengonsumsi informasi lewat media digital perlu kemampuan literasi yang memadai. Konvergensi media adalah jembatannya. Ia diharapkan dapat menghubungkan antara dua kutub yang sebelumnya berjauhan, yakni masyarakat umum dan dunia digital.

Peningkatan literasi masyarakat ini secara lambat atau cepat toh akan terjadi juga. Hal itu terutama disebabkan “desakan” perkembangan teknologi informasi yang kian memasyarakat.

Sekadar contoh sederhana. Gara-gara pandemi Covid-19 yang “memaksa” masyarakat melek media, pelan-pelan tingkat keakraban publik terhadap media juga meningkat. Pada akhirnya, mereka kian terbiasa mengonsumsi informasi lewat media online, misalnya.

Bagaimana seharusnya negara berperan dalam menguatkan ekosistem digital, termasuk perlindungan terhadap kebebasan pers?

Yang perlu diwaspadai ini, antara lain, adalah terpeliharanya ekosistem digital. “Perang” informasi akan terbuka dan menjadi kenyataan. “Peperangan” itu akan berlangsung semakin tidak sehat. Dan, yang menjadi korban pertamanya adalah masyarakat sendiri sebagai konsumen informasi.

Untuk menghindari terjadinya sisi-sisi yang kurang atau bahkan tidak produktif, negara sebagai pemegang regulator harus lebih waspada. Negara mesti menyediakan regulasi yang demokratis dan berkeadilan.

Regulasi itu tidak intimidatif. Aturan itu semestinya juga tidak otoriter yang hanya memihak penguasa ataupun pemilik modal. Contoh kasus sederhana. Saat ini, ketika TV digital diluncurkan, tidak sedikit masyarakat yang berteriak menjerit “ketertindasan” ekonomi. Sebab, mereka terpaksa menyediakan perangkat penangkap (sinyal) TV digital.

Kebebasan pers adalah jantung utama pers. Jika “jantung” itu disumbat, pilihannya hanya satu, yakni “mati”. Karena itu, regulasi tidak boleh mematikan pers. Bahkan, negara harus melindunginya secara sehat dan produktif.

photo
ILUSTRASI Republika telah bermigrasi ke dunia digital, dan terus berinovasi menghadirkan konten-konten menarik, informatif dan mendidik. - (DOK REP THOUDI BADAI)

Apresiasi Migrasi Digital Republika

Sejarah perkembangan media daring di Indonesia bermula pada dekade akhir abad ke-20. Tepatnya pada 17 Agustus 1995, Republika menjadi media massa pertama yang meluncurkan portal berita online. Laman itu, republika.co.id, hingga kini terus eksis dan menyediakan berbagai konten informatif dan mendidik.

Guru besar ilmu komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Prof Asep Saeful Muhtadi mengapresiasi kepeloporan Republika dalam jagat media daring di Tanah Air. Terlebih lagi, ia mengamati, media massa ini menghadirkan lebih banyak variasi, semisal Republika.id dan konten e-paper. Menurut profesor tersebut, migrasi digital yang dilakukan media massa ini sudah tepat.

“Saya kira, Republika telah mengambil langkah yang tepat, yakni dengan melakukan migrasi secara sistematis ke media digital,” ujar akademisi yang akrab disapa Kang Samuh itu melalui sambungan telepon, beberapa waktu lalu.

Namun, realitas tidak pernah berupa “garis lurus". Selalu ada tantangan dan bahkan rintangan untuk dihadapi. Ia pun mengingatkan kepada awak Republika untuk terus meningkatkan brand awareness di tengah masyarakat, khususnya generasi milenial, Z, dan yang lebih muda lagi. Sebab, media ini memiliki kekhasan dengan menyasar komunitas Muslim.

 
Eksistensi misi Republika akan tetap terpelihara selama masih sanggup melayani kebutuhan dan selera para pembacanya.
 
 

“Eksistensi misi Republika akan tetap terpelihara selama masih sanggup melayani kebutuhan dan selera para pembacanya,” kata lelaki kelahiran Bandung, Jawa Barat, itu.

Kang Samuh bukan sekadar akademisi. Ia pun aktif di dunia dakwah tulis. Di antara karya-karyanya adalah Komunikasi Dakwah: Teori, Pendekatan dan Aplikasi. Melalui buku tersebut, tertuang pemikirannya mengenai penerapan konsep-konsep ilmu komunikasi untuk lebih mengefektifkan syiar Islam.

Kang Samuh meraih gelar sarjana dari UIN (dahulu IAIN) Sunan Gunung Djati pada 1985. Kemudian, dirinya melanjutkan pendidikan ke luar negeri, tepatnya University of Wisconsin-Madison AS. Adapun studi doktoral ditempuhnya di Universitas Padjadjaran.

Selain mengajar, ia juga aktif dalam banyak kegiatan ilmiah dan kemasyarakatan. Ada berbagai jabatan yang pernah atau sedang diembannya. Di antaranya adalah, direktur Institute for Religious and institutional Studies (IRIS) Bandung, kepala Pusat Studi Pesantren dan Madrasah (PSPM), serta jajaran pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung.

Hingga kini, Kang Samuh aktif mengikuti pelbagai seminar dan lokakarya, baik sebagai pembicara maupun peserta. Tentunya, kebiasaan berkarya tidak ditanggalkannya. Di antara buku-buku karyanya adalah Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, Pribumisasi Islam, Era Baru Politik Muhammadiyah, dan Jurnalistik: Pengantar Teori dan Praktik.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Qanaah ketika Berlimpah

Begitu sulit qanaah, merasa cukup bukan hanya saat kekurangan juga ketika berlimpah.

SELENGKAPNYA

Rezeki yang Baik dan Kekal

Pada hakikatnya, semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati oleh seseorang adalah rezeki.

SELENGKAPNYA

Kisah Runtuhnya Keluarga Kaya

Surah al-Qalam sempat menceritakan secara detail tentang keluarga kaya pemilik kebun.

SELENGKAPNYA