
Kisah Dalam Negeri
Remy Sylado Sang Sastrawan yang Melawan Arus
Posisi Remy dalam kesusastraan Indonesia menjadi sangat penting terutama di era 1970-an.
JAKARTA -- Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) E Aminuddin Aziz menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya salah seorang tokoh sastra Indonesia, Remy Sylado.
Semasa hidupnya, Remy merupakan sosok yang amat peduli dengan urusan pengembangan sastra. "Pak Remy Silado merupakan sosok yang sangat peduli dengan urusan pengembangan sastra, khususnya untuk pembinaan para calon sastrawan muda," ujar Aminudin kepada Republika, Senin (12/12).
Ia mengatakan, Remy selalu menekankan pentingnya kegigihan, kesabaran, dan kesungguhan dalam berkarya sastra. “Atas sumbangsihnya kepada dunia sastra Indonesia, Pak Remy dianugerahi Penghargaan Sastra dari Badan Bahasa tahun 2006," kata Aminudin.

Novelis dan sastrawan Japi Panda Abdiel Tambajong yang populer dipanggil Remy Sylado meninggal dunia, kemarin. Istri Remy, Emmy Tambayong, mengatakan, suaminya mengembuskan nafas terakhir di rumah duka di Cipinang Muara, Jakarta, Senin pukul 10.30 WIB.
"Padahal pagi masih saya kasih kopi susu. Masih ngobrol biasa," ujar Emmy.
Emmy mengatakan, suaminya itu memang telah mengidap penyakit stroke sejak lama. Kondisinya semakin memburuk sejak beberapa hari terakhir.
Ketua Humas Pengurus Besar Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Evry Joe dalam pesan suara mengenang Remy sebagai sosok seniman serba bisa yang terampil dalam berkarya, mulai dari penulisan lagu, penulisan cerita dan novel, serta buku puisi.
"Kami dari PB PARFI mengucapkan selamat jalan, Bang Remy Sylado. "Semoga semua karyamu menjadi pelajaran untuk kami yang ditinggalkan," kata dia.

Pria kelahiran Minahasa, Sulawesi Utara, 12 Juli 1945, itu telah berkarya sebagai seorang sastrawan, dosen, novelis, penulis, penyanyi, aktor dan wartawan. Pihak keluarga mengonfirmasi bahwa jenazah Remy dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan, pada Selasa (13/12) hari ini.
Mendiang Remy dianggap telah mewariskan semangat berkarya dengan jujur. Sastrawan sekaligus kritikus Maman S Mahayana menilai bahwa kemunculan Remy Sylado dalam kesusastraan Indonesia bertepatan dengan semangat kebebasan. Setelah terjadi masa kelam tahun 1960-an, munculnya Remy di 1970-an, semakin menyemarakan kehidupan kesusastraan dan kesenian di Indonesia.
Secara keseluruhan, tentu saja kehadiran mendiang kala itu telah menumbuhkan pengembangan pada kebudayaan Indonesia. Kebetulan, Remy Sylado bisa disebut “seniman gila” karena gagasan-gagasannya yang menggungah, inspiratif, kadangkala kontroversial.
“Dia juga cerdas memilih situasi sosial yang pas berkaitan konteks sosial yang terjadi pada masa itu,” kata Maman saat dihubungi, Selasa (12/12/2022).

Posisi Remy dalam kesusastraan Indonesia menjadi sangat penting terutama di era 1970-an. Misalnya, dengan melahirkan majalan Aktuil yang mampu menumbuhkan semangat anak-anak muda di seluruh Indonesia pada sastra musik dan kesenian.
Aktuil kala itu menjadi majalah musik yang paling diikuti. Begitu juga di bidang sastra, Remy menolak kemapanan sastrawan Horison dengan membuka ruang puisi Mbeling.
Dia turut menumbuhkan kepenilisan puisi yang aneh dan melawan arus tapi sekaligus menarik. Ketika situasi berubah dan kesusastraan Indonesia sudah mulai mapan dengan perkembangan eksperimentasinya, Remy tetap berkarya, baik dalam film, seni lukis, seni rupa, drama teater hingga novel.
“Jadi saya kira Remy bukan sekadar serbabisa tapi juga sangat produktif dan karya-karyanya menginspirasi karena dia sadar betul dengan sasaran pembacanya,” lanjut penulis “Kitab kritik sastra”.

Sasaran pembacanya adalah masyarakat sastra yang bergairah pada berbagai eksperimentasi, kebaruan. Bahkan sampai sekarang Remy masih terus berkarya.
“Saya kira hebatnya Remy di situ yang nggak ada duanya. Pantas kalau kemudian pemerintah memberi penghargaan seni budaya atau apa pun pada Remy. Terlepas dari berbagai kontroversinya,” tambah sastrawan 65 tahun tersebut.
Hal yang paling penting dari adalag berkaitan sikap berkesenian Remy, di mana perbedaan pandangan ideologi itu justru memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia. Remy tidak terkooptasi pada ideologi atau berusaha mengusung ideologi tertentu.
Sebaliknya, orang bebas menolak atau mengikuti Remy. Karena pada dasarnya, menurut Maman, kesadaran apa pun boleh ditulis sejauh karya itu baik.
Bagi Maman, banyak orang telah terpengaruh oleh kiprah Remy. Terlebih angkatan awal 70-an yang dipengaruhi oleh kegilaan Remy, baik dalam bidang musik, sastra dan teater.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Delegasi AS akan Kunjungi Cina
Kunjungan kerja ini untuk menindaklanjuti pembicaraan Biden dengan Jinping.
SELENGKAPNYARahasia Umur 40
Seseorang tidak berubah lagi dari kebiasaan yang dilakukannya bila mencapai umur 40 tahun.
SELENGKAPNYAImigrasi Bantah KUHP Mengganggu Iklim Pariwisata
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan adanya KUHP yang baru.
SELENGKAPNYA