Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Selfie Bencana

Sebuah gejala patologi sosial, yaitu menguapnya rasa empati.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

“Ini Bukan Wisata Bencana”. Imbauan ini tertera pada papan dari kardus yang dipasang di tiang bambu di pinggir jalan Desa Gasol. Salah satu tempat yang rusak parah akibat gempa di Cianjur, Jawa Barat.

Ini dibuat sebagai respons atas banyaknya pengunjung, entah relawan, pengantar bantuan, yang datang, lalu sebagian bergaya bak wisatawan sesuka hati selfie (swafoto) dengan latar kehancuran akibat bencana.

"Banyak yang ke sini hanya berfoto," ujar Ujang Maulana, ketua RT di  Desa Sarampad yang juga rusak parah. “Tidak hanya kehilangan benda dan orang tercinta. Warga saya pun berhak dijaga hatinya," katanya bijak.

 
Selfie bencana, fenomena memprihatinkan yang terjadi tidak hanya di Cianjur, tetapi ‘tren’ di berbagai penjuru dunia.
 
 

Beralasan, sebab di antara jejak di media sosial, terdapat gambar emak-emak melakukan swafoto berlatar rumah yang ambles di belakangnya, juga para remaja berswafoto sambil tersenyum dan berganti pose, di antara puing dan kehancuran yang seharusnya menyesakkan batin.

Selfie bencana, fenomena memprihatinkan yang terjadi tidak hanya di Cianjur, tetapi ‘tren’ di berbagai penjuru dunia. Banyak pendatang ke daerah musibah lalu swafoto dan mengunggahnya ke media sosial sebagai pernyataan mereka berada di sana.

Beberapa mungkin awalnya hadir tulus ingin membantu, tapi tak sedikit yang hanya melihat-lihat. Terlepas bagaimana niat awal mereka, swafoto berlatar bencana bukan saja tak terpuji, melainkan juga menunjukkan kemiskinan empati.

Di Tunisia, seorang relawan kesehatan dikecam karena menggunakan tongkat swafoto saat berfoto dengan teman-temannya di sebuah pantai, tempat 38 orang terbunuh oleh seorang penembak yang diduga memiliki hubungan dengan ISIS.

 
Di Tunisia, seorang relawan kesehatan dikecam karena menggunakan tongkat swafoto saat berfoto dengan teman-temannya di sebuah pantai.
 
 

Di Sumatra Utara, sekelompok orang bergaya di depan bangkai pesawat yang jatuh di Medan pada Juli 2015. Berpose dan tersenyum di tempat penuh darah sebab di sana pesawat terjatuh dan menyebabkan seratus jiwa meninggal.

Di daerah Kampung Melayu, sekelompok orang mengunjungi lokasi penyerangan teroris pada pertengahan 2017, dengan ringan mereka berswafoto.

Seorang gadis berusia 18 tahun asal Jawa Tengah rela menempuh perjalanan berjam-jam menuju Banten untuk melihat lokasi bencana. Menggenggam ponsel di tangan kanannya, ia tersenyum manis, meski latar fotonya orang-orang yang sedang mengevakuasi korban.  

Saat ditanya berapa jumlah gambar swafoto yang diambil, ia menjawab, "Banyak! Untuk media sosial, grup WhatsApp," tuturnya santai.

 
Selfie bencana ada juga yang dilakukan korban. Seperti saat banjir di Brebes. Seorang ibu dengan santai berswafoto di atas perahu karet.
 
 

Selfie bencana ada juga yang dilakukan korban. Seperti saat banjir di Brebes. Seorang ibu dengan santai berswafoto di atas perahu karet, padahal di saat yang sama pakaian relawan basah oleh keringat dan banjir demi menarik perahu karet tersebut.

Selfie bencana buruk saat dilakukan masrayakat, apalagi aparat yang seharusnya sibuk bertugas membantu, justru ikut swafoto. Ternyata ini terjadi. Sempat viral di media, polisi wanita berswafoto ria di daerah bencana longsor, wilayah Susukan, Jawa Tengah (2016).  

Petugas perempuan dengan seragam lengkap ini menunjukkan dua jari membentuk huruf 'V' ketika tersenyum di depan kamera bersama rekannya. Lebih memprihatinkan, ia menulis caption yang membuat kita mengurut dada.

"Liburan kita kali ini lumayan capek naik-naik ke puncak gunung, lokasi tanah longsor wilayah susukan." Di mana simpati, ke mana perginya empati? Entahlah.

 
Di Rusia, dua pemadam kebakaran dipecat karena swafoto membelakangi tempat kebakaran.
 
 

Di Rusia, dua pemadam kebakaran dipecat karena swafoto membelakangi tempat kebakaran. Di lokasi yang mereka seharusnya bertarung dengan waktu, dan memanfaatkan setiap detiknya untuk memadamkan api, sulit untuk diterima akal, keduanya berswafoto.

Saya teringat kebakaran tak jauh dari rumah. Api membesar, cemas kebakaran meluas. Masalah aksi keramaian di sekitar kami tak menyurutkan kekhawatiran, malah menambahnya. Awalnya, masyarakat bersyukur dengan padatnya lingkaran orang mendekat.

Logikanya, makin banyak tenaga bantuan. Mereka berlomba menyiramkan air agar api segera padam. Namun, ternyata bukan itu yang terjadi. Saya terperangah melihat para pendatang yang mendekat ternyata bukan untuk memadamkan api.

Alasan mereka ke lokasi kebakaran, untuk swafoto berlatar jilatan api. Ini memprihatinkan. Pertama, menunjukkan pupusnya sensitivitas atas perasaan orang lain. Kita tak lagi menghargai perasaan korban. 

Mereka yang kehilangan rumah, yang anggota keluargan menjadi korban. Sebuah gejala patologi sosial, yaitu menguapnya rasa empati.

 
Mereka yang kehilangan rumah, yang anggota keluargan menjadi korban. Sebuah gejala patologi sosial, yaitu menguapnya rasa empati.
 
 

Badan SAR Nasional (Basarnas) dalam berbagai kesempatan mengimbau masyarakat tak selfie (swafoto) ataupun berfoto di lokasi bencana, karena terkesan tidak berempati terhadap warga yang mengalami musibah.

Kedua, semangat eksis yang tidak lagi diisi ambisi dan tindakan meraih prestasi, sebaliknya memanfaatkan kesusahan orang lain.  

Ketiga, swafoto di tempat yang sangat tidak tepat ini juga mengganggu. Seperti kasus gempa di Cianjur. Sebagian besar jalanan sempit dan susah diraih.  Bantuan kian sulit mencapai lokasi bencana jika banyak orang berkerumun sekadar menjadi turis lokal di sana.

Padahal, jika kita menanyakan kepada diri sendiri, adakah yang rela bila penderitaan pribadi ataupun keluarga dijadikan konten dan komoditas oleh orang lain? Saya yakin kita akan memiliki satu jawaban, dan itu adalah tidak! 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Maroko dan Pengembaraan Ibnu Battuta

Selama kurang lebih 29 tahun, Ibnu Battuta telah singgah di 44 negara.

SELENGKAPNYA

Penyesalan Para Pendurhaka

Tidak mungkin para pendurhaka akan diperlakukan sama seperti orang-orang yang patuh dan taat.

SELENGKAPNYA

Adab-Adab Nobar Piala Dunia

Dengan adab itu, Muslim bisa menyaksikan nobar Piala Dunia, tetapi dalam koridor tuntunan syariah.

SELENGKAPNYA