Sejumlah mahasiswa Papua di Bandung, Jawa Barat, Rabu (10/12/2014), menggelar aksi unjuk rasa terkait tewasnya tujuh warga sipil yang tertembak aparat keamanan di Paniai, Papua. Mereka menuntut penghentian kekerasan di tanah Papua dan meminta tanggung jaw | ANTARA FOTO

Nasional

Isak Sattu Dituntut 10 Tahun Penjara

Isak Sattu menilai dakwaannya tak adil karena tidak ada pihak kepolisian yang didakwa.

JAKARTA—Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu dituntut penjara sepuluh tahun dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Tuntutan itu disampaikan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Makassar pada Senin (14/11).

Tim JPU meyakini Isak terbukti bersalah dalam kasus HAM berat Paniai Berdarah yang terjadi pada 2014. Kejahatan yang dilakukan Isak disebut tim JPU pantas digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan. "Menyatakan terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusian," kata JPU Emilwan Ridwan dalam persidangan, Senin (14/11). 

Tim JPU menuntut Isak melanggar dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan dakwaan kedua yaitu Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Selain itu, tim JPU menilai semua unsur tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu dan kedua telah terbukti sah dan meyakinkan selama persidangan. Sehingga pada diri Isak tidak terdapat alasan pembenar dan pemaaf yang dapat menghapuskan pidana. "Maka terdakwa harus dinyatakan bersalah," tegas Ridwan. 

Atas dasar itu, tim JPU menuntut Isak agar dihukum penjara selama satu dekade. "Menjatuhkan pidana kepada Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu oleh karenanya dengan pidana penjara selama 10 tahun," ujar Ridwan.

JPU turut membeberkan sejumlah faktor meringankan dan memberatkan atas tuntutan itu. Dalam pertimbangan yang memberatkan, pertama, Isak dinilai tidak mampu mengetahui informasi peristiwa penyerangan oknum TNI pada 7 Desember di Pondok Natal. Hal itulah yang membuat warga tidak terima dengan perlakuan oknum TNI sehingga pada 8 Desember warga berunjuk rasa ke lapangan Karel Gobay. 

Kedua, Isak dinilai tidak mampu melakukan koordinasi dengan aparat Polres Paniai dan Polsek Paniai Timur hingga terjadinya aksi perusakan markas Koramil Enarotali dan Polsek Paniai Timur. "Tiga, (Isak) tidak mampu mengendalikan anggota TNI yang bertugas di Koramil Enarotali dalam peristiwa unjuk rasa pada 8 Desember yang menyebabkan empat orang meninggal dan 10 orang luka-luka," kata Emilwan Ridwan. 

photo
Anggota Komnas HAM Ridha Saleh (kanan) menerima Ketua Dewan Adat daerah Paniai Papua John NR Gobai (tengah) dan anggota dewan Ruben Gobai (kiri) di ruang pengaduan Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (7/12). - (ANTARA)

Berikutnya, JPU juga mempertimbangkan beberapa faktor yang pantas menjadi alasan meringankan hukuman terhadap Isak. Yakni, Isak belum pernah dihukum, bersikap koperatif sehingga proses sidang berjalan lancar, memberikan keterangan tidak berbelit-belit, sudah berusia lanjut, dan menjadi kepala keluarga.

JPU kemudian mempertimbangkan pengabdian Isak selama 37 tahun kepada negara dan tidak pernah dihukum pidana serta disiplin militer selama menjalani karir. "Terdakwa pernah terima Satya Lencana Kesetiaan," ujar Ridwan. 

Selain itu, JPU mempertimbangkan Isak yang mengabdikan diri sebagai pelayan agama di gereja setelah pensiun dari TNI. "Sembilan, bahwa dari keterangan saksi, pada pokoknya terangkan bahwa Pemkab Paniai sudah memberikan bantuan uang 300 juta (kepada korban)," ucap Ridwan. 

Tak adil

Dalam sidang, Isak Sattu menganggap tuntutan kepadanya tidak adil. Sebelum menutup sidang, hakim sempat mempersilakan Isak untuk memberi tanggapan. Ia mengungkapkan kekecewaannya atas sidang ini yang hanya menetapkan dirinya seorang sebagai terdakwa.

"Dakwaan saya ini prematur dan dipaksakan, tidak adil karena dari pihak kepolisian atau aparat lain tidak ada yang dikenai sanksi atau didakwa, padahal ini secara bersama-sama," ujar Isak. 

Isak juga mensinyalir mestinya ada personel kepolisian yang turut bertanggungjawab dalam kasus itu. Sebab insiden Paniai memang terjadi di lokasi yang berdekatan dengan kantor Polsek Paniai Timur dan Koramil Enarotali.

"Saya kalau hanya (anggota) Koramil saja (bertanggungjawab) mungkin masuk akal dari pendapat saya. Tapi justru ini kok kepolisian enggak ada yang didakwa, dimana keadilannya disini? Hanya itu saja yang saya sampaikan," tegas Isak. 

Sidang dengan agenda pleidoi dari kubu terdakwa dijadwalkan berlangsung pada 21 November 2022. Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai.

Peristiwa itu terkait pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Pelita Jaya Juara Indonesia Cup 2022

Pelatih SM Youbel Sondakh mengakui, timnya masih jauh dari penampilan terbaik.

SELENGKAPNYA

Gagasan Liga Golf Indonesia Terus Digodok

LGJ 2022 bisa dijadikan sebagai tolak ukur bagi klub untuk mengetahui perkembangan atletnya.

SELENGKAPNYA

FIFA Diyakini Ingin Selamatkan Piala Dunia U-20

PSSI bukan satu-satunya pihak yang berperan dalam persiapan menuju gelaran Piala Dunia U-20 nanti.

SELENGKAPNYA