Kronik
Penyengat dan Raja Ali Haji
Abdullah menjadi kebanggaan Malaysia dalam hal bahasa Melayu bersaing dengan Raja Ali Haji kebanggaan Indonesia.
OLEH PRIYANTONO OEMAR
Sepulang dari acara Prakonvensi Bahasa Media Massa, saya membolak-balik kembali halaman buku-buku tentang Abdullah. Pertama, Hikajat Abdullah (dengan anotasi oleh RA Datoek Besar dan Dr Roolvink, Penerbit Djambatan, 1953) dan kedua, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (Amin Sweeney, KPG, 2008).
"Abdullah yang tersirat dalam teks Hikayat Abdullah, baik sebagai narator maupun sebagai tokoh utama, merupakan ciptaan yang belum tentu dapat disamakan kisahnya dengan riwayat hidup Abdullah biologis," tulis Amin Sweeney di Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Sebagai “ciptaan yang belum tentu dapat disamakan dengan riwayat hidup Abdullah biologis”, Hikajat Abdullah menunjukkan pemanfaatan bahasa Melayu untuk menampilkan citra diri Abdullah. Abdullah menerbitkan Hikajat Abdullah edisi cap batu pada 1849. Seratus enam puluh lima tahun kemudian, bahasa Indonesia digunakan di media sosial untuk menampilkan citra diri pemilik akun media sosial itu.
Seratus enam puluh lima tahun kemudian, bahasa Indonesia digunakan di media sosial untuk menampilkan citra diri pemilik akun media sosial itu.
Membaca pesan di media sosial, orang tak lagi ingin mengetahui isi pesannya, tapi untuk mengetahui citra pribadi pemilik akunnya. Membaca pesan di media sosial, orang menjadi tahu si pemilik akun berafiliasi ideologi tertentu. Terlihat secara kasat mata.
Hal ini oleh Marshall McLuhan pernah disinggung secara implisit dalam “The Gadget Lover: Narcissus As Narcosis" yang menjadi bagian dari isi buku Understanding Media yang terbit pada 1911. McLuhan tak sebatas melontarkan adagium "media adalah pesan". Secara implisit, ia juga menyatakan "pesan adalah media".

Pesan di media sosial adalah media penyampai citra diri. Pun demikian halnya pesan yang ada di dalam Hikajat Abdullah adalah media penyampai citra diri Abdullah. Abdullah menjadi kebanggaan Malaysia dalam hal bahasa Melayu bersaing dengan Raja Ali Haji yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Meski Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menulis dalam bahasa Melayu, kata dosen UMRAH Tanjungpinang Abdul Malik, ia "tak menghasilkan karya dalam bidang bahasa." Tapi, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi berhasil menggambarkan kondisi pada masanya. Yaitu, ketika orang-orang Melayu enggan mempelajari bahasanya sendiri dan orang-orang bule meremehkan bahasa Melayu dengan sangkaan sebagai bahasa yang mudah dipelajari. Abdullah menujukkan betapa bahasa Melayu pun susah dipelajari.
Raja Ali Haji telah melampaui usaha Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Raja Ali Haji telah melampaui usaha Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Ia membuat karya-karya linguistik sehingga bahasa Melayu berkembang dari sekadar bahasa pergaulan menjadi bahasa ilmu pengetahuan.
Raja Ali Haji juga mengenalkan perlunya tertib bertutur dan berbahasa. "Setiap orang harus memahiri secara benar dan baik, terutama harus dikaitkan pembelajaran bahasanya dengan matlamat untuk mencapai makrifat mengenali Allah, mengagungkan-Nya, dan mensyukuri nikmat dan rahmat ilmu dan akal yang dianugerahkan-Nya sehingga manusia menjadi makhluk yang lebih mulia dibandingkan makhluk yang lain," ujar Abdul Malik mengutip Raja Ali Haji.
Abdul Malik menilai Raja Ali Haji menekankan pengkajian pada pembinaan konsep tentang wujud, alam, dan ilmu Melayu Islam. Maka, menurut Raja Ali Haji, pengkajian, pembelajaran, dan penggunaan bahasa Melayu menjadi media pembawa manusia ke arah pengenalan, pengertian, dan pengakuan terhadap Allah.
Raja Ali Haji lahir di Penyengat pada 1808 dan meninggal pada 1873. Ia Melayu keturunan Bugis. Hidup di lingkungan istana kerajaan lantaran Penyengat adalah pusat kerajaan Melayu Riau-Lingga.

Ayahnya, Raja Ahmad, adalah penulis Tuhfat al-Nafis yang kemudian dilanjutkan penulisannya oleh Raja Ali Haji. "Bersama Bilal Abu dan Daeng Woh, Raja Ahmad merupakan perintis tradisi kepengarangan di Kerajaan Riau-Lingga," ujar Abdul Malik.
Raja Ahmad merupakan anak dari Raja Haji yang bergelar Yang Dipertuan Muda Riau IV. Raja Haji meninggal di Teluk Ketapang dalam pertempuran melawan Belanda pada 1784.
Raja Haji inilah keturunan pertama dari Daeng Celak (Yang Dipertuan Muda Riau II). Daeng Celak merupakan salah satu bangsawan Bugis yang datang di Melayu untuk membantu perebutan kerajaan, yang kemudian menikah dengan Engku Putri.
Mulanya, ketika kerajaan Melayu Malaka pindah ke Pulau Bintan, keluarga kerajaan juga mempertahankan kerajaan di Johor. Itu terjadi setelah Portugis menaklukkan Malaka pada 1511. Kerajaan Melayu yang di Johor ini pernah mengalami kekosongan pemerintahan lantaran terjadi konflik internal.
Di buku Di Dalam Berkekalan Persahabatan, Van der Putten menyebut pengangkatan Bendahara Tun Abdul Jalil sebagai sultan di Johor —untuk mengisi kekosongan pemerintahan itu— mendapat tentangan, salah satunya dari kelompok Minang di Siak. Raja Kecik dari Siak menuntut takhta yang mengundang pihak Melayu di Johor meminta bantuan kepada bangsawan Bugis.
Lima bangsawan Bugis itu (Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Kamboja, Daeng Perani, dan Daeng Menambun) bisa memukul mundur kekuatan Siak sehingga mendapat penghormatan jabatan Yang Dipertuan Muda.

Raja Ali Haji, kata Abdul Malik, menjadi sosok yang paling masyhur di antara kaum intelektual Riau-Lingga. Bustanul Katibin (1850), Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), adalah dua buku bahasa Melayu yang ia tulis. Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan kamus yang disusun dengan cara linguistik Arab.
"Dengan cara itu, Raja Ali Haji ingin menegaskan prinsip lakum dinukum waliyadin di hadapan orang-orang Belanda," ujar Totok Suhardiyanto, linguis Universitas Indonesia.
Ia pun menulis buku tentang hukum dan pemerintahan selain juga menulis sejarah Melayu-Bugis dan tentu saja filsafat yang terkenal dengan judul Gurindam Dua Belas. Karya lain Raja Ali Haji, Syair Abdul Muluk, bahkan populer di nusantara sebagai bahan teater rakyat. "Di Palembang, yang dulunya menjadi pusat penyebaran bahasa Melayu kuno, dan di Bangka-Belitung, Syair Abdul Muluk menjadi bahan cerita teater rakyat dengan sebutan Dul Muluk," ujar Abdul Malik.
Buku-buku bahasa Raja Ali Haji memberikan sumbangan besar bagi kemajuan bahasa Melayu dialek Riau.
Buku-buku bahasa Raja Ali Haji memberikan sumbangan besar bagi kemajuan bahasa Melayu dialek Riau ini. Dialek inilah yang oleh Belanda dijadikan sebagai bahasa resmi di sekolah-sekolah hingga ke Maluku dan Irian. Penetapan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah dibuat lantaran bahasa Melayu telah menyebar luas di kalangan masyarakat. Di Jawa, kata Abdul Malik, bahasa Melayu telah menjadi bahasa kedua.
Abdul Malik mengutip pernyataan Francois Valentijn, “Bahasa mereka, bahasa Melayu, bukan sahaja dituturkan di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu dan di segala negeri timur, sebagai suatu bahasa yang difahami di mana-mana sahaja oleh setiap orang, tidak ubah seperti bahasa Perancis atau Latin di Eropah, atau sebagai bahasa lingua franca di Itali dan di Levant. Sungguh luas tersebarnya bahasa Melayu itu sehingga kalau kita memahaminya tidaklah mungkin kita kehilangan jejak kerana bahasa itu bukan sahaja difahami di Parsi, bahkan jauh dari negeri itu, dan di sebelah timurnya sehingga Kepulauan Filipina.”
Gairah mengembangkan bahasa Melayu selain dimiliki Raja Ali Haji juga dimiliki oleh Haji Ibrahim. Ia menulis Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu Johor.

Tradisi kecendekiawanan rupanya tak luntur sepeninggal Raja Ali Haji. Rusydiah Kelab, kata Abdul Malik, lahir pada 1880 menjadi klub para cendekiawan Riau-Lingga. Kegiatan penulisan ditopang dengan percetakan pada masa itu.
Raja Ali Haji mempunyai tempat tersendiri. Presiden Abdurrahman Wahid pada 29 April 2000 menyatakan Raja Ali Haji sebagai pemersatu bangsa dan pencipta bahasa nasional. "Tanpa jasa beliau itu, kita belum tentu menjadi bangsa yang kokoh seperti sekarang," ujar Ab durrahmanwahid, seperti diucapkan kembali oleh Gubernur Kepulauan Riau M Sani.
Presiden Abdurrahman Wahid pada 29 April 2000 menyatakan Raja Ali Haji sebagai pemersatu bangsa dan pencipta bahasa nasional.
Pada 6 November 2004, keluarlah gelar Bapak Bahasa dan anugerah Pahlawan Nasional untuk Raja Ali Haji. "Gelar pahlawan nasional itu diberikan karena Raja Ali Haji telah membina bahasa Melayu Kepulauan Riau sehingga menjadi bahasa Melayu tinggi, yaitu bahasa yang baku, yang kemudian diangkat menjadi bahasa nasional dengan sebutan bahasa Indonesia," tutur Sani.
Menjadi peserta Prakonvensi Bahasa Media Massa memberikan saya kesempatan menyusuri jejak Raja Ali Haji di Penyengat. Makamnya terletak di Kompleks Makam Engku Putri di Jalan Engku Putri Pulau Penyengat.
Inilah pulau yang menjadi salah satu tujuan utama para pedagang lantaran pulau ini dulu menyediakan air tawar. "Dinamakan penyengat karena para pelaut itu dulu mendapat sengatan dari serangga ketika mereka mengambil air," kata Edi, sang pemandu.
Disadur dari Harian Republika edisi 9 Januari 2015.
Selayang Pandang Muktamar ke-48 Muhammadiyah
Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah mengusung tema dan semangat kemajuan.
SELENGKAPNYAMuktamar Muhammadiyah Dalam Sejarah
Setiap muktamar merepresentasikan tonggak sejarah Muhammadiyah.
SELENGKAPNYAKasus Covid-19 Melonjak Lagi, Pintu Masuk Diperketat
Luhut menyebut puncak gelombang akan terjadi dalam satu hingga dua bulan ke depan.
SELENGKAPNYA