Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Fikih Air

Sejatinya, fikih air harus menjadi bagian dan filosofi dari kehidupan kita.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

“Banjir di rumah, dua laptop saya terendam air!” Begitu isi pesan salah satu penulis di grup Whatsapp Lomba Kepenulisan Blog KBM App–B’Erl yang ikut saya amati.

Ternyata bukan hanya dua laptop, sebab pesan berikutnya, si penulis mengirimkan gambar motornya yang terendam. Sebelum menyusulkan penggalan video meluapnya air sungai. “Saya tinggal di Majene, Sulawesi Barat. Ini banjir terbesar di kabupaten kami.”

Mungkin tidak semua peristiwa banjir di daerah menghiasi berita nasional. Sering kali, hanya banjir di Jakarta dan kota-kota besar yang mendapatkan sorotan. Namun, pesan bernuansa curhat penuh keprihatinan ini sebenarnya satu potongan kecil dari peristiwa besar.

 
Mungkin tidak semua peristiwa banjir di daerah menghiasi berita nasional.
 
 

Dalam kolom opini Republika berjudul, "Gerakan Menabung Air", yang ditulis Muhbib Abdul Wahab, dosen pascasarjana FTIKUIN Syarif Hidayatullah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 227 bencana alam yang terjadi sejak awal Oktober 2022.

Dijelaskan, nyaris semua bencana alam itu bisa dikategorikan bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir, banjir bandang, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Yang menarik dari opini ini, penulisnya menyinggung konsep fikih air yang rasanya belum akrab di telinga kaum Muslimin.

Jika kita perhatikan, sebagian besar bencana alam sebenarnya, insya Allah, masih memiliki ruang untuk bisa dihindari atau diantisipasi. Khususnya, jika fikih air dijalankan sesuai syariah.

Bicara fikih air, saya teringat perbincangan singkat dengan ulama Nusa Tenggara Barat, Tuanku Guru Haji Hasanain Juaini, di sela-sela penganugerahan Tokoh Perubahan Republika tahun 2015, saat beliau menjadi salah satu penerimanya. 

Ulama yang telah lama berkhidmat pada persoalan umat ini mengatakan, “Kaum Muslimin mungkin termasuk paling banyak menghabiskan air saat berwudhu.” Sementara, menurutnya, di daerah panas seperti Nusa Tenggara, air tidaklah mudah didapat dan berlimpah.

 
Jika kita perhatikan, sebagian besar bencana alam sebenarnya  insya Allah masih memiliki ruang untuk bisa dihindari atau diantisipasi.
 
 

Menjawab kebutuhan fundamental itu, beliau mewajibkan santrinya, selain menghemat air, juga menyimpan cadangan air dengan menanam pohon.

Jika tak salah ingat, beliau sempat menyebutkan, “Setiap manusia selama hidup menghabiskan 20 pohon. Karena itu, wajib bagi setiap kita sedikitnya menanam 20 pohon dalam hidupnya.”

Gagasan-gagasan demikian muncul dari pemahaman atas fikih air. Sejatinya, fikih air harus menjadi bagian dan filosofi dari kehidupan kita.

Di rumah, kami menampung air wudhu dengan ember. Sehingga, tidak banyak air terbuang. Air sisa bilasan wudhu yang ditampung dapat digunakan untuk membilas toilet atau kebutuhan bersih-bersih.

Di masjid, fikih air seharusnya sudah diterapkan. Sebelum pembangunannya, setiap masjid harusnya diwajibkan menyiapkan serapan air yang kembali menjadi cadangan air di tanah.

 
Gagasan-gagasan demikian muncul dari pemahaman atas fikih air. Sejatinya, fikih air harus menjadi bagian dan filosofi dari kehidupan kita.
 
 

Air wudhu yang dibuang ke selokan, seperti kebanyakan masjid saat ini, akan berkontribusi menambah volume air sungai. Pada musim hujan, akan memberi andil terjadinya banjir.

Jika volume air yang naik sampai ke perairan laut, ia menyumbang kenaikan permukaan air laut yang dalam puluhan tahun ke depan bisa menjadi penyebab tenggelamnya kota-kota pesisir. Menyedot air tanah dan tidak mengembalikannya ke tanah pun berpotensi membuat tanah amblas atau membuat air laut menyusup ke bawah tanah.

Masjid yang lebih maju, bisa memiliki water treatment. Air yang terpakai bisa diolah dan disaring, lalu dipakai kembali hingga tak ada atau minim yang terbuang.

Di Dubai, mengingat sepanjang Ramadhan pemakaian air melimpah, dikembangkan water-saving device yang bisa menghemat pemakaian air hingga 95 persen.

Masjid yang peduli lingkungan bisa membuat keran wudhu yang bisa dikendalikan kaki. Saat berwudhu, air tidak selalu mengalir, tapi berhenti saat sudah cukup membasahi dan dibuka lagi jika butuh.

Silakan cek masing-masing rumah, setiap wudhu, berapa air sisa yang terpakai. Rata-rata, bisa setengah atau satu ember. Berwudhu dengan duduk dan menggunakan gayung seperti di kampung-kampung atau menyediakan teko untuk berwudhu, justru menghemat air.

Masjid juga bisa menempatkan ruang wudhu di posisi lebih tinggi, airnya ditampung, dan bisa untuk menyiram pohon atau membersihkan lantai masjid. Intinya, donatur dan pembangun masjid harus memikirkan sejak awal cara agar air tidak banyak terbuang ke selokan.

 
Masjid juga bisa menempatkan ruang wudhu di posisi lebih tinggi, airnya ditampung, dan bisa untuk menyiram pohon atau membersihkan lantai masjid.
 
 

Pada tataran rumah, fikih air juga bisa diterapkan. Jangan mencuci piring satu per satu, lebih baik mengumpulkanya hingga banyak. Tumpuk piring kotor, sehingga ketika membersihkan satu piring, airnya ikut membasahi piring di bawahnya.

Membangun rumah, termasuk toilet, tentu harus memperhatikan keberadaan resapan air. Buangan air setelah mandi, bisa ditampung untuk menyiram pohon. Pun, air hujan bisa ditampung dahulu sebelum langsung dibuang.

Infrastuktur kota juga harus dibenahi. Setiap selokan harus memiliki resapan air. Untuk sungai-sungat besar, harus ada desain beton berlubang yang kuat, tapi mampu menyerap air. Ini tidak saja menghemat bahan semen, tapi juga ramah lingkungan.

Sekalipun masalah lingkungan jauh lebih kompleks dari sekadar air sebab ada perubahan iklim dan persoalan lain, tapi banyak bencana alam terkait ini yang bisa diselesaikan. Kuncinya, setiap individu memahami dan memopulerkan fikih air, demi masa depan lebih ramah, cerah, berkesinambungan, dan memiliki harapan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Tragedi Amir Sjarifuddin Sang Bendahara Kongres Pemuda

Amir Sjarifuddin adalah salah seorang otak Sumpah Pemuda 1928.

SELENGKAPNYA

Dari Sumpah Palapa Hingga Sumpah Pemuda

Sama dengan Sumpah Palapa Gajah Mada, Sumpah Pemuda pun bernilai idiologis, politis, dan mitologis.

SELENGKAPNYA

Kasus Gagal Ginjal Akut Terus Naik, Kematian Bertambah

Hasilnya terbukti bahwa kerusakan pada ginjal disebabkan oleh senyawa etilen glikol.

SELENGKAPNYA