Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Anak Belum Balig Bertransaksi, Apakah Sah?

Transaksi anak yang belum balig dan mumayyiz itu dikenal dengan ahliyatul ada’ annaqishah.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia 

Assalaamu’alaikum Wr Wb

Bagaimana ketentuan syariah terkait transaksi anak yang belum balig? Apakah sah transaksinya atau tidak? Bagaimana menurut fikih dan fatwa? Mohon penjelasannya, Ustaz. -- Azmi, Depok

Wa’alaikumussalam Wr Wb

Pertama, pelaku akad harus balig, mumayyiz, dan rusyd. Artinya, ia bisa membedakan antara yang bermanfaat dan merugikan sehingga terpenuhi hak dan kewajibannya. Dalam bahasa hukum kekinian dikenal dengan cakap hukum. Jadi, pembeli, penjual, investor, dan pelaku transaksi lainnya itu harus cakap hukum.

Sebagaimana fatwa DSN Nomor 110 tentang Jual Beli, “Penjual dan pembeli wajib cakap hukum sesuai dengan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kemudian, fatwa DSN Nomor 112 tentang Ijarah, “Mu’jir, Musta’jir, dan Ajir wajib cakap hukum sesuai dengan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Fatwa DSN Nomor 113 tentang Wakalah bi Al-Ujrah, “Muwakkil dan wakil wajib cakap hukum sesuai dengan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Akan tetapi, anak belum balig boleh bertransaksi dengan persetujuan walinya menurut mayoritas ahli fikih.

Kedua, dalam fikih kriteria pelaku transaksi itu merujuk pada konsep ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’. Cakap hukum itu dikenal dengan ahliyatul ada' al-kamilah. Sedangkan, transaksi anak yang belum balig dan mumayyiz itu dikenal dengan ahliyatul ada’ annaqishah.

Secara detail, dalam bukunya, Nazhariyyatu al-Aqd fi al-Fiqh al-Islami, Izzudin Khujah menjelaskan bahwa kelaikan seseorang melakukan transaksi itu dibagi dua, yakni (1) secara prinsip ia cakap untuk menunaikan kewajiban dan menerima hak (ahliyatul wujub). Baik kompetensi dan kelaikan tersebut itu sempurna, di mana ia bisa menunaikan kewajiban dan menerima hak seperti masa kecil (dimulai sejak melahirkan hingga sebelum mumayyiz). Atau, kecakapan yang tidak sempurna, di mana ia tidak bisa menunaikan kewajiban dan hanya menerima hak seperti usia janin dalam masa kandungan.

(2) Cakap untuk mengeksekusi dan melakukan transaksi (ahliyatul ‘ada) baik kecakapan tersebut sempurna (ahliyatul ‘ada al-kamilah), di mana personal atau entitas tersebut bisa melakukan seluruh aktivitas tanpa bergantung pada pendapat orang lain seperti transaksi yang dilakukan oleh usia dewasa (rusyd).

Atau, kecakapan tersebut tidak sempurna, di mana ia hanya bisa melakukan transaksi tertentu, tetapi atas izin pandangan orang lain sehingga transaksi tidak bisa berakibat hukum kecuali atas izin tersebut. Itu seperti transaksi yang dilakukan oleh usia mumayyiz (dimulai sejak tujuh tahun hingga balig pada umumnya).

Ketiga, ada perbedaan pendapat di antara ahli fikih terkait transaksi mumayyiz, tetapi belum balig, di mana menurut mazhab Hanbali transaksi yang dilakukan anak kecil (mumayyiz tetapi belum balig) itu sah dengan seizin walinya atau tidak sah tanpa seizin walinya.

Berbeda dengan mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa seluruh transaksi yang dilakukan anak mumayyiz dan belum balig itu sah walaupun tanpa izin walinya. Kemudian, mazhab Hanafi memilah kelaikan tersebut dalam tiga kategori.

(a) Jika yang dilakukan adalah aktivitas yang bermanfaat, seperti mengambil hadiah, maka transaksinya sah walaupun tanpa izin walinya. (b) Transaksi yang jelas merugikan seperti memberi dan meminjamkan, maka tidak sah walaupun diizinkan walinya. (c) Sedangkan transaksi yang bisa bermanfaat atau merugikan seperti berjualan dan investasi, maka sah, tetapi dengan syarat izin walinya (Nazhariyyatu al-Aqd, Izzudin M Khujah, Dallah al-Baraka, 32-33).

Keempat, saat ini banyak terjadi anak-anak tersebut sudah mulai bertransaksi di supermarket, niaga daring, dan lainnya. Di antara tuntunannya, yakni (1) orang tua memberikan aturan, pengawasan, dan bimbingan terkait pengelolaan keuangan anak agar mandiri bisa mengelola dana, tapi tidak boros. Semua transaksi atas pengetahuan dan izin dari orang tua. (2) Jika terjadi akibat hukum dari transaksinya, seperti wanprestasi dan lainnya, maka itu menjadi kewajiban orang tuanya.

Wallahu a’lam.

 

Cara Baru Atasi Kebotakan

Alasan orang transplantasi lebih banyak untuk mengatasi kebotakan

SELENGKAPNYA

Di Balik Gudang Tua Jakarta

Batavia sebagai titik nol mengalibrasi waktu hingga jarak

SELENGKAPNYA

Dinamika Atmosfer dan Cuaca Ekstrem

Agar kita tidak mengalami masalah akibat peningkatan curah hujan, perlu dilakukan penataan lingkungan

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya