
Sastra
Maulid Nabi, dari Al-Burdah Hingga Barzanji
Dari segi kritik sastra puisi-puisinya memang berbobot dan mendapat tempat sebagai karya estetis, lembut dan memikat.
OLEH ALI AUDAH
Ada suatu tradisi kepenyairan dalam sejarah sastra Islam yang terasa agak unik, yakni mengolah puisi lama yang secara bertangga digubah kembali oleh seorang penyair dari penyair yang lain.
Puisi al-Burdah yang sudah sangat terkenal, juga di Indonesia, yang ada hubungannya dengan kehidupan pribadi Nabi Muhammad, mula-mula digubah oleh penyair Ka'b bin Zuhair (w. 662 M./40 H.) -- anak Zuhair bin Abi Sulma, yang juga penyair besar kenamaan menjelang kedatangan Islam.
Ka'b ini sangat memusuhi Nabi dan dengan syair-syairnya ia memaki dan mengejek Nabi sehingga sangat melukai perasaannya, bahkan penyair ini berusaha hendak membunuhnya. Seperti biasa, penyair-penyair di sekitar Nabi juga membalas syair-syair yang dalam tradisi syair-syair Arab disebut hija', syair sindiran atau ejekan.
Ketika kota Makkah kemudian dibebaskan oleh kaum Muslimin di bawah pimpinan Muhammad SAW, kaum musyrik yang tadinya begitu keras memusuhinya dengan segala cara, sekarang dalam ketakutan. Mereka yakin, pasti mereka dijatuhi hukuman mati, sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan terhadap Nabi dan kaum Muslimin.
Sebagian ada yang sempat melarikan diri, termasuk penyair Ka'b bin Zuhair ini, bahkan ada yang sudah siap menyeberangi lautan. Tetapi ketakutan mereka rupanya tak beralasan karena ternyata Nabi memaafkan mereka semua.
Ketakutan mereka rupanya tak beralasan, karena ternyata Nabi memaafkan mereka semua.
ALI AUDAH
Melihat keadaan demikian, Bujair, saudara sang penyair yang memang sudah menjadi pengikut Muhammad, cepat-cepat menghubungi saudaranya itu dan memintanya agar segera kembali ke Makkah menemui Nabi. Na'b kembali ke Makkah dan mula-mula menemui Abu Bakar, yang kemudian membawanya menghadap Nabi.
Setelah bertemu pribadi, melihat sikap Muhammad yang begitu lemah lembut dan menerimanya dengan ramah serta memaafkan segala perbuatannya terhadap dirinya selama itu, bergetar hati dan perasaannya. Terharu sekali dia.
Tiba-tiba syairnya mengalir begitu lancar dan spontan. Secara improvisasi penyair ini membaca serangkaian puisi yang mengharukan sekali, menyatakan kekagumannya menghadapi sikap dan perangai Muhammad. Nabi tidak saja memaafkannya, malah memberikan mantel yang dipakainya, Burdah, kepada penyair itu.
Syair yang dibaca Ka'b itu baris pertamanya dibuka dengan kata-kata Banat Su'ad dan itulah yang menjadi judul puisinya. Tetapi kemudian dikenal juga dengan nama al-Burdah, setelah penyair Busiri menerbitkan kumpulan puisinya berjudul al-Kawakib ad-Durriyah, ("Bintang-bintang Gemerlapan"), juga syair puji-pujinya kepada Nabi.
Syair yang dibaca Ka'b itu baris pertamanya dibuka dengan kata-kata Banat Su'ad dan itulah yang menjadi judul puisinya. Tetapi kemudian dikenal juga dengan nama al-Burdah.
ALI AUDAH
Syarafuddin Muhammad al-Busiri (1213-1297/608-696 H), penyair Sufi asal Barbar di Afrika Utara, lahir di Mesir. Menurut cerita konon ia sedang menderita kelumpuhan akibat stroke ketika dalam mimpinya ia bertemu dengan Rasulullah dan Nabi memberikan mantel (Burdah) itu kepadanya, seperti yang dulu diberikan kepada Ka'b.
Ia terkejut dan terlompat dari tidurnya, sehingga lumpuhnya tak terasa lagi. Begitu bangun. ia merasa terharu sekali, lalu menulis puisinya yang dikenal dengan judul al Kawakib ad-Durriyah.
Puisi-puisi itu begitu hidup dan indah sekali. Karena ada hubungannya dengan mantel itulah, maka puisi ini kemudian lebih dikenal dengan nama "al-Burdah". Sebelum itu penyair sufi ini memang sudah terkenal sebagai ulama yang mendalami hadis, ahli khat yang mahir dan sudah menulis beberapa kumpulan puisi, tetapi namanya baru terkenal luas sesudah kumpulan puisi ini.

Kata burdah sebenarnya berarti mantel dari wol yang dapat dipakai sebagai jubah di waktu siang dan dipakai selimut malam hari. Syair Burdah ini terkenal di mana-mana, juga di Indonesia, dan sangat diagungkan oleh sebagian masyarakat Islam serta dibaca pada setiap acara keagamaan, dibaca beramai-ramai pada setiap bulan Maulid, bulan Rabiulawal seperti sekarang ini.
Dari segi kritik sastra puisi-puisinya memang berbobot dan mendapat tempat sebagai karya estetis, lembut dan memikat, sehingga banyak orang yang menghafalnya, diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di Timur: Turki, Persia, dan Indonesia, juga ke dalam beberapa bahasa di Barat. Mula-mula diterbitkan di Leiden berikut terjemahan Latinnya, Carmen Mysticum Borda Dictum, kemudian dalam bahasa-bahasa Jerman, Inggris dan Prancis.
Di Turki penyiar kenamaan Suleyman Chelebi (w. 1429/833 H.), anak seorang menteri, lahir di Bursa dan menjadi imam masjid besar kota itu, juga menulis puisi maulid. Walaupun kehidupan pribadinya tak banyak diketahui, namun karyanya Mevlid ("Maulid") dalam bentuk masnawi 600 bait, merupakan karya satu-satunya yang telah menjadi karya baku (master-piece) keagamaan yang besar dan membuatnya sangat terkenal -- mengisahkan riwayat Nabi dari lahir, masa perjuangan, sampai wafatnya serta perjalanan isra dan mikraj, dengan bahasa Turki dan sangat memikat, dan karya ini merupakan yang tertua di Turki.
Dalam lima abad berikutnya, kendati banyak yang menulis puisi serupa di Turki dan Persia, tetapi dinilai jauh di bawah karya Sulcyman Chelebi itu. Puisi "Maulid" ini juga sering dibaca dalam acara-acara keagamaan dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, di antaranya dalam bahasa Bosnia, Yunani, dan dua versi dalam bahasa Albania.
Syair lain yang juga terkenal, terutama di Indonesia, mengisahkan Maulid Nabi, al-Maulid an-Nabawi oleh Ja'far al-Barzanji (w. 1763/1177 H.), khatib dan imam Masjid Nabawi di Madinah. Tetapi dari segi kritik sastra puisi ini hampir tidak pernah dibicarakan.
Barzanji terkenal karena kumpulan syairnya itu sehingga yang kemudian disebut hanya nama penyairnya, Barzanji, bukan judul karyanya. Seperti Burdah, dalam masyarakat tertentu, juga di Indonesia, Barzanji sangat dimuliakan, dibaca beramai-ramai dalam acara-acara keagamaan, khusus dalam bulan Maulid.
Kedua buku ini sudah diterbitkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, dan oleh beberapa seniman Barzanji sudah pula dipentaskan.
Barzanji terkenal karena kumpulan syairnya itu sehingga yang kemudian disebut hanya nama penyairnya, Barzanji
ALI AUDAH
Dalam beberapa generasi kemudian ada penyair-penyair yang mengubah puisi maulid dalam bahasa Arab dengan judul, irama, dan gaya yang hampir sama, tetapi dengan warna yang berbeda. Dan yang terakhir barangkali penyair Mesir terkenal, yang mendapat julukan "pangeran para penyair", Ahmad Syauqi (1868-1932/1284-1350 H) manusia puisi maulid, Nahjul Burdah.
Puisi ini kemudian dijadikan lirik musik gubahan seorang komponis kenamaan di Mesir dan dinyanyikan oleh Umi Kalsum yang tersohor itu, dengan judul "Wulidal Huda", yang di Indonesia juga sudah tidak asing lagi.
Disadur dari Harian Republika Edisi 5 Agustus 1995
Sejarah dan Perdebatan Syara' Maulid Nabi
Tema-tema yang diangkat dalam Maulid Nabi umumnya pengentasan kemiskinan.
SELENGKAPNYAJumatan di Cendana, Khatibnya Pernah Jadi Tahanan Orba
Meskipun ia pernah 'disakiti' penguasa Orde Baru itu, namun ia tak pernah dendam kepada Soeharto
SELENGKAPNYAKapten Visser dan Baret Merah Kopassus
Kapten Visser justru lebih memilih baret merah daripada baret hijau. Padahal, pasukan komando Belanda menggunakan baret hijau.
SELENGKAPNYA