
Teraju
De-Dolarisasi Meluas
Cina menguatkan upaya mengikis hegemoni dan dominasi mata uang dolar AS di kawasan Asia.
OLEH AGUNG P VAZZA
Seiring laju inflasi yang semakin meninggi, banyak bank sentral menaikkan suku bunga. The Federal Reserve (The Fed) pekan lalu kembali menaikkan suku bunga sebanyak 75 basis poin ke kisaran 3,25 persen.
Banyak kalangan menilai kenaikan ini dinilai sangat agresif. Saat yang nyaris bersamaan, Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin menjadi 4,25 persen. Tren serupa terjadi pula di banyak negara Asia.
Dalam kondisi ini, perekonomian globa maupun regional, Asia khususnya, sedang menghadapi situasi serupa dengan saat krisis keuangan Asia pada 1997 lalu; kenaikan suku bunga The Fed yang agresif dibarengi dengan menguatnya mata uang dolar AS. Inflasi jelas menjadi risiko bagi pertumbuhan ekonomi global maupun regional Asia.
Lembaga-lembaga perekonomian global sudah pula memangkas atau merevisi turun pertumbuhan ekonomi dunia, sekaligus menjadi inflasi sebagai risiko terbesar. Banyak negara di Asia pun sibuk menyiapkan beragam kebijakan terkait kemungkinan menaikkan suku bunga termasuk mengantisipasi dampaknya terhadap perekonomian dalam negeri. Upaya memitigasi badai inflasi tersebut memang penting dilakukan.
Hanya saja, sebagian kalangan justru melihat, di Asia sesungguhnya bukan hanya meningginya inflasi yang dicemaskan. "Inflasi memang mengkhawatirkan, tapi melemahnya nilai tukar mata uang terhadap dolar AS lebih mengkhawatirkan. Likuiditas dolar AS berpeluang menyusut sehingga bisa menjadi masalah besar, setidaknya dari sisi neraca pembayaran," ungkap Taimur Baig, managing director DBS Bank Singapura, dilansir CNBC.
Kondisi ini memunculkan tekanan berupa melemahnya nilai tukar di berbagai negara berkembang terhadap dolar AS. Permintaan mata uang dolar AS yang terus menguat cenderung menghadirkan tekanan lebih besar di banyak negara berkembang Asia. Kawasan ini tercatat sudah dua kali sepanjang sejarah mengalami dampak serupa.
Di era nilai tukar tetap, sekitar 1967, mata uang Inggris poundsterling didevaluasi, sehingga membuat permintaan dolar AS meninggi di AS. Situasi yang mirip terjadi ketika The Fed secara agresif menaikkan suku bunga dalam kurun 1994 sampai 1995, sehingga menyulut krisis keuangan Asia 1997.
Saat itu, menguatnya dolar sulit ditahan sehingga pemerintahan Asia melakukan devaluasi. Krisis 1997 pada dasarnya dipicu kombinasi ketidakimbangan makroekonomi dengan arus modal keluar sangat besar, yang memantik spekulasi pada mata uang baht Thailand dan merambat pada mata uang regional.
Saat itu, menguatnya dolar sulit ditahan sehingga pemerintahan Asia melakukan devaluasi.
Kini, pascapandemi, kecenderungan menguatnya mata uang dolar AS, sebagai akibat pengetatan keuangan guna meredam laju inflasi, hampir pasti menghadirkan risiko bagi banyak perekonomian di Asia. Semakin agresifnya The Fed menaikkan suku bunga, maka pelajaran dari krisis keuangan 1997 penting pula mendapat perhatian serius. Hanya saja, situasi dan kondisi ekonomi di Asia saat ini jauh berbeda dibanding ketika terjadi krisis-krisis lalu. Setidaknya di kawasan Asia.
Di Asia Tenggara, negara-negara di kawasan sudah sejak lama membentuk jaring pengaman finansial sampai senilai 8,8 triliun dolar AS guna memperkuat cadangan devisa ASEAN+3 (Cina, Jepang, dan Korea Selatan) yang totalnya mencapai tujuh triliun dolar AS.
Selain itu masih ada pula kesepakatan multilateral seperti Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM). Kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan mampu memperkuat ketahanan perekonomian dan mata uang regional manakala terjadi penguatan permintaan dolar AS.

Langkah yang kemudian dinilai banyak kalangan sebagai upaya untuk agak lepas dari ketergantungan pada dolar AS, masih diperkuat lagi dengan kebijakan dan bentuk kolaborasi yang lebih konkret, khususnya antar bank sentral di Asia Tenggara.
Saat ini, ketika banyak negara berkembang di Asia mulai berusaha memoderasi meningginya permintaan mata uang dolar AS, yang disebut banyak kalangan sebagai 'de-dolarisasi', lima negara Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia dan Filipina) bahkan sudah bukan lagi pada level kebijakan, sebagian bahkan sudah pada tahap implementasi.
Kelima negara tersebut mulai menekan permintaan mata uang dolar AS sekaligus beranjak meninggalkan ketergantungan pada mata uang tersebut, dengan menerapkan sistem pembayaran tanpa dolar AS dalam. Pesatnya perkembangan teknologi keuangan memungkinkan transaksi tanpa dolar AS di lima negara Asia Tenggara itu dilakukan.
Hanya dengan menggunakan smartphone dan memindai QR Code, setiap orang maupun bisnis dapat melakukan transaksi dan pembayaran secara instan dan nyaris tanpa biaya. Bank Indonesia (BI), bank sentral Indonesia sebagai otoritas sistem pembayaran, sudah meluncurkan teknologi tersebut dengan nama BI-FAST sejak 2021, yang disebut-sebut Bloomberg News dua tahun lebih dulu sebelum Amerika Serikat (AS) mengaplikasikan teknologi serupa.
Soal ini, Indonesia memang sudah bergerak lebih maju, tak hanya di Asia Tenggara, tapi merambah pula ke negara-negara utama Asia seperti Cina dan Jepang. Dengan menyebutnya sebagai Local Currency Settlement (LCS) antar negara, selain dengan negara Asia Tenggara, BI juga sudah mengimplementasikan LCS dengan Cina pada September 2021.
Setahun sebelumnya, pada Agustus 2020 kerja sama serupa juga telah diimplementasikan dengan Jepang. Khusus dengan Jepang, BI mencatat kenaikan nilai signfikan dalam penyelesaian transaksi bilateral mata uang lokal antara pelaku usaha di Indonesia dan Jepang.
Pada awal penerapannya, nilai transaksi per bulannya hanya setara 9,8 juta dolar AS per bulan. Sampai September 2021, meningkat hingga 10 kali lipat, menjadi setara 109,4 juta dolar AS per bulan.

Meluas
Kebijakan serta langkah-langkah de-dolarisasi itu, kini mulai dipertimbangkan pula di kawasan lain Asia. Dalam pertemuan puncak pertengahan September lalu, Shanghai Cooperation Organisation (SCO), yang beranggotakan Cina, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Rusia, Tajikistan, Uzbekistan, India, Pakistan, Iran, Belarus, secara tegas menyatakan penguatan penggunaan mata uang lokal. SCO bahkan sudah pula menyusun road map untuk perluasan perdagangan dengan mata uang lokal sekaligus mengembangkan alternatif sistem pembayaran.
Agenda tersebut sesungguhnya sejalan juga dengan kebijakan di masing-masing negara SCO. India sudah menerapkan transaksi non-dolar AS dalam perdagangan dengan Rusia. Iran melangkah lebih jauh dengan menyodorkan proposal mata uang tunggal SCO.
Cina tak kalah maju dengan menyodorkan konsep pembentukan SCO Development Bank. Upaya-upaya meninggalkan dolar AS ini dianggap dapat mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Bagi Rusia de-dolarisasi dapat membantu meredam tekanan dari sanksi-sanksi Barat. Bagi Cina, langkah serupa dilakukan dengan mempertimbangkan menurunnya hubungan dengan AS.
SCO memang tidak secara khusus mengaitkan upaya-upaya tersebut dengan persoalan-persoalan geopolitik. Namun, bagi Cina, muncul kekhawatiran yang cukup besar terkait rapuhnya perekonomian Cina terkait hegemoni dolar AS dan risiko dari dominasi dolar AS.
Karena itulah, Cina berkeinginan mengembangkan sistem pembayaran alternatif. Langkah ini dilakukan Beijing disebut-sebut tidak bertujuan menduniakan mata uang yuan (renminbi) atau melengserkan dominasi mata uang dolar AS, setidaknya saat ini. Tapi, upaya menghadirkan alternatif tersebut merupakan langkah penting untuk menjadikan yuan memiliki kekuatan regional, terutama melalui SCO.

Dalam konteks itu, Beijing agaknya lebih menginginkan meluaskan penggunaan yuan dalam penyelesaian perdagangan dan investasi lintas negara. Langkah ini dianggap mampu mengurangi ketergantungan pada dolar AS, meminimalkan risiko nilai tukar, sekaligus menjaga akses ke pasar global selama krisis geopolitik.
Upaya ini bahkan tidak hanya didorong antarnegara, tapi sudah pula dilakukan di pemerintahan dan institusi finansial lokal. Tak heran kalau Cina juga terus mengadvokasi anggota SCO melalui kerja sama perbankan sekaligus memfasilitasi kerja sama pembayaran dan settlement di kawasan. Apalagi, sejak 2011, Cina dan seluruh anggota SCO sudah menandatangani swap agreement dengan denominasi yuan.
Terlepas dari SCO, Cina juga mengusung penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi di institusi multilateral lain seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), juta lembaga multilateral lain di Asia Pasifik.
Dalam pertemuan G220 awal tahun ini, Gubernur People Bank of China (PBOC, bank sentral Cina), Yi Gang, dilansir Foreign Policy, menegaskan Cina siap bekerja sama dengan negara-negara Asia untuk meluaskan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi demi menguatkan ketahanan finansial regional terhadap tekanan eksternal.
Juni 2022 lalu, PBOC bersama Bank for International Settlements (BIS) juga membuat Renminbi Liquidity Arrangement dengan sejumlah bank sentral di kawasan seperti BI, Bank Negara Malaysia, Hongkong Monetary Authority, Monetary Authority of Singapore, dan the Central Bank of Chile.
Upaya dan langkah-langkah de-dolarisasi jelas bukan lagi di atas kertas. Sejumlah inisiatif bahkan sudah pula dipraktikkan. Eksportir dan investor memang tidak bisa didikte untuk memilih mata uang yang digunakan dalam penyelesaian transaksi perdagangan, juga mata uang untuk investasi.
Namun upaya mengurangi ketergantungan pada dolar AS setidaknya bisa membantu meminimalkan tekanan dan risiko-risiko eksternal terkait mata uang, baik kawasan maupun masing-masing negara. Bukan sekadar meredam risiko ancaman isolasi ekonomi dari Barat.
Misteri Cakra Madura pada G30S
Mengapa Kompi Pasopati yang dipimpin Lettu Dul Arief yang ditugaskan menculik para jenderal?
SELENGKAPNYAKekejaman PKI dari Masa ke Masa
Penyiksaan sebelum pembunuhan juga terjadi terhadap sejumlah orang di Solo pada 1965.
SELENGKAPNYABooster tak Ada, Elin Urung Naik Kereta
Penerima bantuan dari kompensasi kenaikan harga BBM wajib sudah mengikuti vaksinasi booster.
SELENGKAPNYA