
Analisis
UUS Wajib Spin Off
Tentu ada risiko bagi BPD melakukan strategi “spin off, kemudian jual sebagian” ini.
OLEH ADIWARMAN A KARIM
Arahan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin sangat jelas tentang kewajiban spin off unit usaha syariah bank (UUS). Majelis Ulama Indonesia melalui Ketua Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH Sholahuddin al Aiyubi, juga menegaskan kewajiban spin off UUS.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seakan mengamini hal tersebut. Untuk pertama kali dalam sejarah, OJK menerbitkan POJK khusus untuk Bank Umum Syariah (BUS) yaitu POJK No 16 tahun 2022 tentang Bank Umum Syariah. Sebelumnya, OJK selalu menyandingkan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam kerangka pikir itu, dapat diduga Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI juga akan menerbitkan fatwa khusus untuk Bank Umum Syariah.
Suara yang menolak kewajiban spin off semakin redup dan terpetakan pada dua sampai tiga UUS beraset besar dan satu sampai dua media massa yang menyuarakannya. Alasan utama penolakan segelintir UUS beraset besar ini untuk spin off adalah skala usaha.
Bila kita ikuti logika ini, maka seharusnya skala usaha tidak diukur dengan pangsa pasar, tapi diukur dengan besaran aset UUS. Misalnya, diatur UUS dengan aset Rp 20 triliun wajib spin off. Bukan malah memaksakan aturan “UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50 persen dari nilai aset bank induknya wajib spin off”.
Suara yang menolak kewajiban spin off semakin redup dan terpetakan pada dua sampai tiga UUS beraset besar dan satu sampai dua media massa yang menyuarakannya.
Angka 50 persen itu pasti tidak akan pernah tercapai kalau induknya sejak awal memang tidak mau spin off. Inilah cara mengkerdilkan bank syariah melalui penolakan spin off UUS. Sebaliknya, bila induknya memang mau spin off sejak awal, maka UUS-nya akan segera di-spin off. Ini tampaknya yang terjadi pada Bank Sinarmas yang telah melakukan RUPS Pemisahan UUS-nya menjadi Bank Umum Syariah.
Bila ukurannya adalah UUS dengan aset Rp 20 triliun wajib spin off, maka ukuran ini memberikan kejelasan yang pasti. Merujuk regulasi OJK, modal minimal bank sebesar Rp 3 triliun. Masih merujuk regulasi OJK, dengan menjaga rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 15 persen, maka dengan mudah dapat dihitung aset bank senilai Rp 20 triliun.
Dari perhitungan ini, dapat dikatakan bahwa UUS beraset Rp 20 triliun tidak memiliki alasan untuk menolak spin off. Merujuk data OJK, UUS yang memiliki aset Rp 20 triliun atau lebih adalah UUS CIMB Niaga, UUS Maybank --keduanya dimiliki Malaysia, UUS Permata dimiliki Thailand, dan UUS BTN. Pemilik dan pengurus Bank BTN menyampaikan pemisahan UUS akan dilakukan tahun 2023 untuk memenuhi ketentuan perundangan yang berlaku.
Bagaimana dengan UUS beraset kecil yang sebagian besar dimiliki BPD? Inilah saat yang paling tepat untuk memperkuat permodalan BPD melalui aksi spin off. Pertama, kepemilikan BPD tetap tidak berubah. Kedua, BPD mendapat tambahan modal segar dari investor. Ketiga, BPD memiliki BUS hasil spin off dengan skala nasional.
Dari perhitungan ini, dapat dikatakan bahwa UUS beraset Rp 20 triliun tidak memiliki alasan untuk menolak spin off.
Ini saat yang paling tepat untuk memperkuat permodalan BPD melalui “penjualan izin” Bank Umum Syariah hasil spin off. Strategi “spin off, kemudian jual sebagian” merupakan pilihan tepat bagi pengembangan dan penguatan sistem keuangan. BPD yang kuat akan menguatkan ekonomi daerah yang selanjutnya menguatkan ekonomi nasional.
Saat ini banyak investor yang mencari bank-bank kecil yang akan dijual. Bak gayung bersambut, POJK No 16 Tahun 2022 mengatur modal minimal Bank Umum Syariah sebesar Ro 10 triliun. Sedangkan modal minimal Bank Umum Syariah hasil spin off sebesar Rp 1 triliun. Hal ini menjadi daya tarik besar bagi investor baru untuk memiliki bank tanpa harus menyiapkan modal minimal sebesar Rp 10 triliun.
Berikut ini ilustrasi strategi BPD “spin off, kemudian jual sebagian”. Investor membeli saham BUS hasil spin off seharga Rp 8 triliun. Dari Rp 8 triliun tersebut, Rp 3 triliun menjadi modal BUS hasil spin off. Investor menjadi single majority 75 persen senilai Rp 2,25 triliun, sedangkan BPD memiliki 25 persen senilai Rp 0,75 triliun. Dari Rp 8 triliun tersebut, Rp 5 triliun menjadi keuntungan bagi BPD yang akan disetorkan sebagai tambahan modal BPD.
Mengapa investor mau melakukan hal itu? Karena investor tidak perlu membayar senilai aset UUS yang di-spin off, cukup membayar sebagian saham BUS hasil spin off. Sebagai pemilik pengendali utama, seluruh aset UUS terkonsolidasi ke neraca investor. Kisaran harga BUS hasil spin off antara Rp 1 triliun sampai dengan Rp 9 triliun, bergantung pada kinerja UUS yang di-spin off, porsi kepemilikan, dan kerja sama strategis antara investor dan BPD.
Ini saat yang paling tepat untuk memperkuat permodalan BPD melalui “penjualan izin” Bank Umum Syariah hasil spin off.
Siapakah calon investor yang tertarik? Investor baru ini dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pemilik fintek yang membutuhkan izin penghimpunan dana masyarakat untuk memenuhi ekosistemnya yang mendukung strategi bisnis berkelanjutan mereka. BUS hasil spin off akan menjadi mesin penghimpun dana masyarakat secara nasional untuk disalurkan melalui ekosistem fintek.
Kedua, Bank Umum Syariah yang mengembangkan bisnis model holding. Bank ini akan memiliki beberapa Bank Umum Syariah sebagai anggota Kelompok Usaha Bank (KUB)-nya. BUS ABC akan memiliki beberapa BUS hasil spin off sebagai anggota KUB-nya. Neraca terkonsolidasi BUS ABC akan meningkat secara anorganik.
Bila BUS hasil spin off dilakukan rights issue, Bank ABC akan mendapatkan keuntungan. Bila BUS hasil spin off dilakukan initial public offering (IPO), BUS hasilspin off dan Bank ABC akan mendapatkan dinamika kapitalisasi pasar.
Ketiga, pengelola dana besar yang mengincar instrumen investasi. Investor ini lebih memilih saham free float untuk mengambil keuntungan, bukan sebagai investor strategis. Mereka membeli untuk diperdagangkan di bursa dan mengambil keuntungan dari pergerakan sahamnya.
Tentu ada risiko bagi BPD melakukan strategi “spin off, kemudian jual sebagian” ini. Pertama, risiko persaingan bisnis BPD dengan BUS hasil spin off.
Tentu ada risiko bagi BPD melakukan strategi “spin off, kemudian jual sebagian” ini. Pertama, risiko persaingan bisnis BPD dengan BUS hasil spin off. Kedua, risiko terdilusi saham BPD di BUS hasil spin off. Ketiga, risiko sosial seakan-akan BPD tidak lagi mengakomodasi aspirasi bank syariah sebagian masyarakat.
Risiko tersebut dapat dimitigasi. Pertama, mitigasi risiko persaingan bisnis dilakukan dengan mengatur perjanjian kerja sama strategis antara BPD dan investor sehingga BPD mendapat transfer of technology. Kedua, mitigasi risiko terdilusi saham BPD dilakukan dengan convertible sukuk, buy-back options, dan instrumen keuangan lainnya.
Ketiga, mitigasi risiko sosial dilakukan dengan tetap menggunakan call name BPD di BUS hasil spin off. Misalnya “BUS BPD Daerah A, anggota KUB Bank ABC”.
Apakah ada solusi lain bagi BPD? Solusi lain yang lebih mudah dan lebih cepat adalah melakukan konversi BPD konvensional menjadi BPD syariah. Kelemahan solusi ini adalah BPD tidak mendapat modal segar dari investor.
Seyogianya RUU Pengembangan Penguatan Sektor Keuangan benar-benar mengembangkan dan menguatkan perekonomian daerah untuk menopang perekonomian nasional. Bukan malah berpihak pada segelintir UUS besar yang menolak spin off.
Wamakaru wamakarullah, wallahu khairul makirin.
BSI Pastikan Integrasi dengan UUS BTN
Integrasi ini akan memperkuat posisi perseroan guna memajukan ekosistem halal.
SELENGKAPNYASpin Off UUS Butuh Masa Transisi
UUS tetap menyiapkan strategi spin off apabila regulasi mengharuskan.
SELENGKAPNYAWapres: Semua UUS Harus Spin Off
POJK bank umum syariah memudahkan bank yang akan spin off.
SELENGKAPNYA