Direktur Bidang Kajian Institut Pemikiran Islam (IPI) Bentala, Ayub MA | DOK IST

Hiwar

Mahasiswa dan Pandangan Dunia Islam

Pandangan-dunia Islam itu berarti cara pandang seorang yang terbentuk oleh totalitas ajaran Islam.

 

 

Islamisasi ilmu merupakan wacana yang populer pada era kontemporer. Di antara para pengusungnya adalah Syed M Naquib al-Attas, Ismail al-Faruqi, dan Sayyid Hossein Nasr. Menurut Direktur Bidang Kajian Institut Pemikiran Islam (IPI) Bentala, Ayub MA, sudah banyak kajian konseptual mengenai diskursus tersebut.

Akan tetapi, riset yang secara empiris berupaya menyelidikinya cenderung sedikit. Maka dari itu, IPI Bentala terpanggil untuk mengisi rumpang penelitian tersebut. Ayub menjelaskan, pihaknya telah melakukan kajian lapangan pada 2020-2021.

“Subjek penelitian ini adalah mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Universitas Negeri Yogyakarta, dan UGM. Total sampel ada 301 mahasiswa, dan 16 orang yang menjadi responden wawancara in-depth,” katanya.

Pekan lalu, institut yang bernaung di bawah Bentala Tamaddun Nusantara itu melakukan diseminasi riset tersebut. Ayub menuturkan, hasil penelitian itu berhasil mengungkapkan bagaimana pandangan-dunia (weltanschauung) Islam dalam perspektif mahasiswa.

Berikut ini perbincangan wartawati Republika, Ratna Ajeng Tejomukti, dengan pengajar sejarah peradaban Islam dan ushul fiqh itu, beberapa waktu lalu.

Apa yang menjadi latar penelitian IPI Bentala baru-baru ini?

Kami, Bentala Tamaddun Nusantara, adalah sebuah komunitas keilmuan yang ingin turut menumbuhkan budaya ilmu dan adab di Tanah Air dengan worldview (pandangan dunia) Islam. Yang kami lakukan bisa dikatakan sebagai dakwah keilmuan. Visi itu tentunya mesti dilakukan dengan membaca medan, seperti mengenal lebih dekat para mahasiswa yang sesungguhnya menjadi teman seperjuangan kami, khususnya di Yogyakarta.

Kami melihat, kajian-kajian yang bersifat konseptual mengenai, umpamanya, gerakan-gerakan keislaman sudah cukup subur. Itu suatu kabar baik. Namun, riset tentang kondisi keagamaan yang riil di tengah sebagian masyarakat—misal mahasiswa—tampaknya belum begitu subur. Ini rumpang yang coba kami isi.

Apa tujuan riset itu?

Riset yang kami lakukan ini bertujuan mengenal lebih dekat kawan-kawan seperjuangan kami (para mahasiswa). Kami memang fokus ke mahasiswa, khususnya yang pascasarjana. Sebab, mereka adalah pemegang simpul-simpul strategis di masa depan.

Kami ingin mengetahui keberagamaan mereka, yakni worldview Islam dan karakter religiusnya. Banyak riset sebelumnya yang menunjukkan, religiositas generasi muda Muslim justru naik di tengah menurunnya religiositas pemuda-pemuda di Barat. Di Indonesia pun, kami melihat berbagai macam fenomena yang mengindikasikan hal itu.

Jika religiositas memang meningkat, kami ingin tahu, seperti apa polanya. Bagaimana sebenarnya agama membentuk pemikiran dan kepribadian generasi muda Muslim. Itu yang ingin kami jawab.

Seperti apa gambaran mahasiswa yang menjadi subjek penelitian tersebut?

Mereka adalah para mahasiswa pascasarjana dari tiga kampus besar di Yogyakarta. Kami memilih mahasiswa yang pascasarjana karena, setidaknya di atas kertas, mereka adalah pemegang masa depan gerakan keilmuan di Indonesia. Mereka kelak dapat berperan sebagai pendidik maupun profesional dengan bekal keilmuan tingkat lanjut yang mereka pilih.

Dalam konteks Indonesia, yang masih belum merata akses pendidikannya, mereka menanggung kewajiban kolektif. Dalam istilah syariat, kewajiban itu fardhu kifayah, di samping fardhu ‘ain. Kami menggunakan konsep tadayun Syed Naquib al-Attas, yakni bahwa perbaikan (pemahaman) ilmu dan pendidikan di tingkat pascasarjana akan berdampak pada mutu pendidikan yang lebih rendah. Sebab, kelak para pembuat kebijakan, kurikulum, dan pendidik di jenjang tersebut berasal dari lulusan pascasarjana.

Belum ada penelitian yang spesifik mempelajari pandangan mahasiswa pascasarjana Muslim tentang Islam dan ilmu pengetahuan, terutama yang berangkat dari pandangan hidupnya. Anggota IPI Bentala, Anita, pada 2019 sempat meneliti karakter keagamaan mahasiswa pascasarjana Muslim di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Maka penelitian ini melanjutkan riset tersebut dengan memperluas subjek penelitian ke dua perguruan tinggi negeri lain serta menambahkan analisis tentang sikap mereka terhadap sains.

Bagaimana penelitian ini dilakukan?

Persiapannya sejak 2020 hingga September 2021. Kendala pandemi sempat membuat penelitian ini agak molor waktunya. Namun, alhamdulillah, pada medio 2022 pengumpulan dan analisis data telah usai. Pada 17 September lalu, kami melakukan diseminasi sebagai bentuk pertanggungjawaban, agar diketahui lebih banyak kalangan.

Penelitian ini menggunakan metode campuran antara kuantitatif dan kualitatif dengan strategi eksplanatoris sekuensial. Secara kuantitatif, data kami kumpulkan dengan mengedarkan kuesioner daring. Secara kualitatif, kami melakukan wawancara mendalam secara daring juga karena pandemi.

Kami mengadopsi kuesioner The Muslim Religiosity-Personality Inventory (MRPI) yang dikembangkan Steven Eric Krauss (Abdul Latif Abdullah). Ia menurunkan tadayyun Syed Naquib al-Attas menjadi kuesioner yang bisa dipakai secara kuantitatif. Namun, kami tambahkan butir-butir pertanyaan epistemologis yang kami sarikan sendiri dari konsep al-Attas. Adapun perihal (topik) sikap terhadap sains, kami mengadopsi instrumen dan klasifikasi audiens sains yang dikembangkan Mike S Schafer.

Apa sajakah temuan menarik dari sana?

Ada dua variabel besar yang kami teliti, yakni religiositas dan sikap terhadap sains. Secara kuantitatif, kami menemukan hubungan antara variabel religiositas dan sikap terhadap sains. Kemudian, hal itu kami dalami secara kualitatif, baik per variabel maupun pada hubungannya itu.

Variabel religiositas terbagi menjadi dua, yakni dimensi worldview Islam dan kepribadian religius. Pada dimensi yang pertama, salah satu temuan menariknya adalah, ternyata responden yakni para mahasiswa pascasarjana memiliki skor yang cukup tinggi pada aspek-aspek yang terkait dengan pengenalan Allah sebagai Rabb.

Mereka mengetahui dan meyakini sepenuhnya, Allah Maha Mengetahui keseluruhan keadaan ciptaan-Nya; bahwa Dia Maha Mengatur dan mencukupi kebutuhan. Pengetahuan dan keyakinan ini berdampak bagi para responden.

Misalnya, ada responden yang menjadikan ini sebagai motivasi untuk lebih profesional. Sebab, ia menilai, kerja kerasnya akan selalu dipantau oleh Allah. Jika dirinya ikhlas, maka akan dibalas oleh-Nya.

Ada juga yang mengaitkannya dengan isu-isu yang lebih luas seperti ekologi dan krisis Covid-19. Mereka yakin, Allah pasti mengatur semua berdasar kasih sayang dan pengetahuan-Nya. Namun, pada saat yang sama, ada tuntutan agar umat Islam, utamanya tokoh-tokoh umat, lebih berfokus memperhatikan isu-isu itu.

Bagaimana gambaran sikap mereka terhadap sains?

Responden kami, jika dilihat dari skor kuantitatifnya, masuk ke dalam kategori critically interested terhadap sains. Artinya, mereka sangat mendukung dan peduli pada pengembangan sains. Namun, mereka punya sikap kritis, baik pada proses maupun hasil sains.

Nah, analisis kualitatif kami menunjukan, pola kaitan sikap ini dengan religiositas mereka. Mereka sangat mendukung pengembangan sains terkait dengan konsep ketuhanan. Mereka meyakini, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengatur, dan Dia menganugrahkan akal kepada kita, maka kita harus mengeskplorasi ciptaan-Nya. Bentuk eksplorasi itu adalah dengan mengembangkan sains.

Di sisi lain, kekritisan mereka dibentuk oleh keberagamaan mereka. Misalnya, mereka menekankan keterbatasan sains secara epistemologis. Sebab, sains pada akhirnya adalah aktivitas manusia, sedangkan pengetahuan manusia itu terbatas. Maka, sains tentu ada juga batasannya.

Juga keterbatasan secara ontologis. Sains tidak akan bisa menjangkau hal-hal di luar alam syahadah (rasional-empiris). Inilah mengapa mereka menganggap sains tidak bisa menjadi satu-satunya tumpuan dalam menyelesaikan masalah manusia yang kompleks.

Kekritisan mereka terhadap proses kegiatan saintifik juga terkait dengan konsep ilmu dalam Islam, yakni ilmu harus bermanfaat. Nah, banyak responden yang mengartikan ini sebagai ilmu yang tidak mendatangkan efek negatif bagi manusia dan alam.

Berangkat dari hasil riset itu, menurut Anda, bagaimana menumbuhkan pandangan-hidup Islam, khususnya di tengah Muslim terpelajar?

Pandangan-dunia (weltanschauung) Islam itu berarti cara pandang seorang yang terbentuk oleh totalitas ajaran Islam. Saya yakin, hampir setiap Muslim terpelajar sudah pernah mendapatkan pendidikan agama dari level sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Alhamdulillah, negara kita mengamanahkan hal itu.

Namun, dasar-dasar rukun iman, rukun Islam, dan ihsan perlu dielaborasi lebih mendalam agar bisa menjadi pandangan-dunia yang transparan. Artinya, si pemilik pandangan-dunia ini tahu benar struktur dan bagaimana pandangan-dunianya itu membentuk pengetahuannya tentang segala yang wujud.

Elaborasi semacam itu sebenarnya sudah disediakan ulama-ulama otoritatif. Pemikiran mereka dapat dilihat dalam turats (buku-buku) keilmuan. Maka kajian terhadap tradisi tidak bisa dihindari. Tidak boleh lagi kita melihat tradisi sebagai kemandegan. Buktinya, formulasi Imam Ghazali, misalnya, terhadap persoalan-persoalan filosofis imu pengetahuan masih terus dikaji hingga kini. Kalangan terpelajar Indonesia semestinya ikut ambil bagian.

Muslimin layak dan perlu mengembangkan pandangan kritis-filosofis terhadap ilmu pengetahuan. Ini tidak berarti anti-ilmu, tetapi justru mendorong kita untuk engage (terlibat) dengan ilmu dan segala cabangnya. Jadi, tidak sekadar menjadi konsumen.

 
Muslimin layak dan perlu mengembangkan pandangan kritis-filosofis terhadap ilmu pengetahuan.
 
 

Memadukan Spirit Gontor dan Islah Ghazali

Bentala Tamaddun Nusantara bervisi mewujudkan sebuah lembaga kajian keislaman yang mencerahkan. Yayasan itu diinisiasi sejumlah alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor. Mereka semua berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).  

Salah satu produk Bentala Tamaddun Nusantara adalah Institut Pemikiran Islam (IPI). Menurut Direktur Bidang Kajian IPI Bentala Ayub, pihaknya membawa semangat Gontor dalam menebarkan maslahat dan ilmu yang bermanfaat.

Cita-cita untuk membentuk sebuah yayasan sudah ada dalam rencana para alumni Gontor asal Yogyakarta pada 2016. Barulah tiga tahun kemudian, impian itu terwujud.

Secara struktural, pembina yayasan ini adalah Prof Hamid Fahmy Zarkasyi dan pengawasnya ialah Ustaz Ridwan Hamidi. Ustaz Anton Ismunanto bertindak selaku pemimpin harian.

Tentunya, Bentala tidak menutup diri dari orang-orang non-Gontor. Di dalamnya, ada banyak pula para pengkaji Islam, utamanya dari Yogyakarta dan Jakarta.

Ayub menuturkan, tasyakur pendirian Bentala dilakukan di aula Masjid Syuhada, Yogyakarta. Acara dihadiri kalangan mahasiswa, aktivis, dan para peminat Islamic studies. Pemilihan masjid itu didasari spirit perjuangan, sebagaimana dahulu para syuhada Muslim berjuang mempertahankan kemerdekaan RI.

“Kami juga menggelar Pidato Kebudayaan setiap tahun untuk memperingati milad yayasan. Itu sekaligus merefleksikan persoalan-persoalan keilmuan dan keumatan dari sudut pandang Bentala,” kata Ayub kepada Republika baru-baru ini.

Di antara ikhtiar Bentala Tamaddun Nusantara ialah menyemarakkan penelitian-penelitian yang berlandaskan pada pandangan hidup Islam terhadap khazanah dan wacana kontemporer. Di samping itu, pihaknya pun berkomitmen dalam membina intelektual dan pemimpin muda Muslim dengan adab dan ilmu. Hal itu antara lain terinspirasi dari Gerakan Islah, yang digagas pada masa silam oleh sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali.

 

Hatta dan Kawan-Kawan Ditangkap karena Dianggap Tiru Komunis

Penangkapan Hatta dan kawan-kawan itu rupanya ulah licik dan ngawur dari Westenink.

SELENGKAPNYA

Siapkan Dana Kuliah Buah Hati

Mulai siapkan dana kuliah meski anak masih kecil.

SELENGKAPNYA

Shalat Berdua dengan Lelaki Bukan Muhrim, Sahkah?

Bagaimana hukum bagi perempuan yang shalat berdua dengan laki-laki yang bukan mahram?

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya