DN Aidit sedang berpidato. | istimewa

Kronik

Jargon dan Slogan di Masa Pra-Gestapu

Karakter bahasa yang dipakai pada waktu itu benar-benar bercorak agresif.

OLEH LUKMAN ALI

Saat Soekarno sedang kuasa-kuasanya sampai pecahnya Gerakan 30 September (G30S), rakyat mengalami berbagai macam tekanan secara politis dan ekonomis. Indonesia telah digiring ke arah kiri oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengikuti garis-garis komunis dalam rangka cita-cita mereka menggantikan pemerintahan yang sah dengan pemerintahan yang berbau Marxis.

Dalam bidang ekonomi Soekarno didorong untuk melakukan embargo terhadaap barang-barang produksi negara-negara Barat (nonkomunis).

Semua kegiatan PKI dilakukan melalui sorak-sorai, seperti tuntutan reformasi pertahanan (landreform) untuk mengatur kembali pemakaian tanah, sampai ada yang menimbulkan peristiwa berdarah. Lalu terjadilah perampasan tanah-tanah oleh golongan komunis yang bernaung di bawah panji-panji negara, baik tanah-tanah negara yang disewakan kepada kapitalis-kapitalis maupun tanah-tanah yang dimiliki tuan tanah.

Untuk mencapai tujuan ini digunakan slogan-slogan, jargon-jargon, semboyan-semboyan, bersuara kutukan-kutukan terhadap pemilik tanah dalam rangka mematangkan situasi menuju terciptanya negara komunis. Diciptakanlah ungkapan-ungkapan yang terdiri dari paduan kata yang dimaksudkan untuk membangkitkan sentimen revolusi.

Umpamanya: "Ganyang setan desa", "Gulung setan kota", "Hancurkan antek-antek Nekolim", "Sikat kepala batu", "Brantas cecunguk-cecunguk", "Gilas kapitalis birokrat", ''Ganyang manipolis munafik", "Gasak kontra revolusi", "Hantam kapitalis birokrat", dan "Jungkirkan Jenderal S".

Seperti dikatakan Gunawan Mohammad, "karakter bahasa" yang dipakai pada waktu itu benar-benar bercorak agresif, yang bertebaran di mana-mana dengan bombastis, yang kadang-kadang dipakai pula secara tidak senonoh untuk menghina pribadi. Cara ini khas cara PKI.

Dalam bidang kebudayaan golongan komunis yang disuarakan oleh Lekra, ungkapan-ungkapan kasar dan menghina tidak kurang pula peranannya. Mereka menyerang kelompok budayawan yang bersatu pendapat dalam Manifes Kebudayaan, yang diejek oleh Lekra dengan sebutan akronim Manikebu.

Manifes ini mereka katakan sebagai alat nekolim dalam mengaburkan revolusi dengan antirevolusi serta melemahkan revolusi itu sendiri. Soekarno rupanya terpengaruh juga, yang menyebabkan akhirnya ia melarang Manifes Kebudayaan (1964).

Maka terjadilah perburuan budayawan-budayawan dan simpatisan-simpatisan Manifes Kabudayaan. HB Jassin dan Wiratmo Sukito diritul, budayawan-budayawan yang tidak tergabung dalam Lekra tidak dapat mencipta karena takut ditangkap. Udara berbau pengap oleh asap ''revolusi yang belum selesai''.

 
Maka terjadilah perburuan budayawan-budayawan dan simpatisan-simpatisan Manifes Kabudayaan. 
 
 

Kata-kata kotor dimunculkan terus oleh golongan komunis karena mendapat ilham dari Soekarno untuk menghangatkan tuntutan revolusi. Soekarno makin berapi-api. Diciptakan lagi akronim Nefo, Oldefo (New Emerging Forces and Old Established Forces).

Hampir pada setiap pidato, Soekarno menggunakan secara berkobar-kobar kata-kata atau akronim Manipol, Usdek, Tubapin, Jarek, Panca Azimat, dan lain-lainnya -- yang semuanya ini adalah judul-judul ajaran Soekarno yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, yang langsung dikumpulkan dalam apa yang disebut "Ajaran Pemimpin Dasar Revolusi".

Di samping itu untuk membangkitkan semangat rakyat, Soekarno pun menyelipkan ungkapan-ungkapan untuk meyakinkan pendengar, antara lain cecunguk, antek-antek, ganyang, plintat-plintut, jor-joran, gontok-gontokan, sontoloyo, dan sebagainya.

Semua kata-kata yang berasal dari bahasa asing dan daerah (Jawa) ini digunakan secara maksimal dan kekerapan (frekuensi) yang tinggi dalam menghidupkan api revolusi yang tak boleh padam, tetapi yang akhirnya padam juga. Dengan turunnya Soekarno, hilang pula kata-kata seperti tersebut di atas dalam penggunaan Bahasa Indonesia seterusnya.

Dapatkah kita lihat pula situasi penggunaan Bahasa Indonesia sesudah masa Soekarno sampai dewasa ini? Umpamanya makin maraknya kata-kata atau ungkapan dari daerah yang sebenarnya tidak perlu sebagaimana yang digunakan Soeharto dan yang diikuti pula oleh pejabat-pejabat lainnya? Bagaimana sikap kita?

Disadur dari Harian Republika edisi 13 Oktober 1998 

Perempuan dan Peradaban

Dua perempuan yang teguh menyiapkan generasi untuk tegaknya peradaban, yaitu istri Imran dan Maryam binti Imran.

SELENGKAPNYA

Ratu Siti Aisyah We Tenriolle, Penyelamat Epos La Galigo

Siti Aisyah berjasa mengumpulkan naskah La Galigo dan menulis ulang ke dalam bahasa bugis kuno

SELENGKAPNYA