
Tokoh
Munir dan Keberaniannya
Munir belum pantas meninggal, ia berumur masih 39 tahun.
SUNARWOTO PRONO LEGSONO, Wartawan Republika
Saya bertemu pertama kali dengan Munir pada pertengahan 1994. Tanggal tepatnya saya tidak ingat. Pada sebuah siang yang terik di bawah pohon trembesi di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk.
Desa Nglundo adalah tempat kelahiran dan disemayamkannya jenazah Marsinah, seorang buruh pabrik di Sidoarjo--yang ditemukan tewas dengan tubuh mengenaskan setelah memimpin unjuk rasa menuntut kenaikan upah.
Saya datang di TPU Nglundo untuk meliput prosesi pemakaman Marsinah, yang saat itu dianggap kematiannya amat kontroversial. Sebaliknya, Munir datang di TPU Nglundo --dengan mengajak sekitar 200-an buruh dari Sidoarjo dan Surabaya-- untuk berkabung sekaligus menggelar aksi demo, dengan semangat meminta kematian Marsinah diungkap tuntas.
Saat itu, dalam menunggu prosesi pemakaman jenazah, kami berdua saling ngobrol tentang penyebab kematian Marsinah. Ada dua versi kuat saat itu penyebab Marsinah meninggal. Pertama, diduga Marsinah meninggal dihabisi oleh 'bosnya' dengan bantuan centheng dan orang dekatnya.
Kedua, diduga Marsinah dianiaya oknum aparat--yang saat itu institusinya menjadi penyangga kekuatan rezim pemerintahan Orba. Militer!
Dengan haqul yakin, Munir memilih versi kedua. Di zaman Orba, hampir semua orang takut menunjuk atau mendiskreditkan militer sebagai pelakunya. Barang siapa berani mendiskreditkan militer, bisa-bisa mereka akan tinggal nama. Bisa ''diselesaikan' dengan seksama, 'dihabisi' secara habis-habisan, atau 'diculik' untuk dicekik. Menyeramkan!
Saat itu, dalam menunggu prosesi pemakaman jenazah, kami berdua saling ngobrol tentang penyebab kematian Marsinah.
Namun, Munir yang masih debutan aktivis LBH Surabaya saat itu, punya nyali. Dengan lantang ia menuding oknum aparat sebagai pembunuh Marsinah. Orang pun terperangah. Melihat keberaniannya, banyak orang yang belum mengenalnya sosok Munir, menyangka bertubuh tinggi besar berotot kawat bertulang besi. Padahal ia berpostur kecil. Berpenampilan kurang meyakinkan; suka bercelana jins belel dan kaos oblong. Akan tetapi ia punya nyali.
Terangkatnya kasus kematian Marsinah, semua orang mengakui, berkat kegigihan perjuangan Munir. Ia dan kawan-kawan buruh hampir setiap hari menggelar aksi demo 'Marsinah'. Berawal dari TPU Nglundo, lalu aksi demo menjalar di Surabaya dan Jakarta. Dan, kematian Marsinah pun tak bisa dianggap kasus kriminal biasa.
Marsinah tak hanya mengharu-biru pergolakan buruh di Tanah Air. Nama Marsinah mendunia; menjadi topik perbincangan penting pada sebuah pertemuan buruh sedunia di Auckland, Selandia Baru, 1 Mei 1995. Ia ditetapkan sebagai tokoh buruh nasional, dan almarhum mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Human Right Award. Penghargaan itu diberikan karena ia dianggap berjasa memperjuangkan hak-hak buruh.
Munir sendiri namanya melambung tinggi. Ia juga meraih penghargaan serupa dengan Marsinah, mendapat Yap Thiam Hien Award. Kemudian perjalanan kariernya, Munir tak sekadar aktivis LBH Surabaya, akan tetapi sudah memiliki seabrek penggawean yang bersinggungan dengan penegakan HAM di Jakarta, sebagai koordinator Kontras dan direktur Imparsial--jabatan yang terakhir
***
Pada pertengahan 2004, saya bertemu dengan Munir di Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta. Kami berdua berjalan setelah melakukan penerbangan dari Surabaya ke Jakarta. Saya akan menghadiri rapat kantor di Jakarta, Munir sehabis melakukan diskusi di PW Muhammadiyah Jawa Timur, Surabaya. Saya dan Munir hanya ngobrol pendek, menanyakan kabar masing-masing. Tidak lebih sekadar say hallo, sebagai teman yang pernah bertemu di TPU Nglundo.
Saya melihat ia tak suka bercakap lebar lagi. Mungkin terbawa oleh usia tua atau sudah mapan hidupnya, hingga ia pun menerapkan ilmu padi; merunduk sejadinya ketika usia tua dan kian berisi.
Saya melihat ia tak suka bercakap lebar lagi. Mungkin terbawa oleh usia tua atau sudah mapan hidupnya, hingga ia pun menerapkan ilmu padi; merunduk sejadinya ketika usia tua dan kian berisi. Tidak seperti kali pertama saya berjumpa dengannya di TPU Desa Nglundo itu, ia suka bercakap.
Apalagi bila bertemu dengan wartawan. Juga, saya melihat Munir sudah tak lincah. Tubuhnya tampak sedikit tambun, mungkin sudah makmur. Gaya berjalannya lamban.
Awal September 2004, saya mendengar Munir meninggal. Saya berseru: Innalillahi Wainnaailaihi Rojiun. Menurut saya, Munir belum pantas meninggal--berumur masih 39 tahun. Ia meninggal saat dalam penerbangan menuju Belanda, untuk menempuh program master di bidang hukum di negeri kincir angin itu.
Semula kematiannya dianggap akibat serangan jantung, karena sebelum menghembuskan napas terakhir ia merasa mual dan kemudian mulutnya mengeluarkan cairan berbuih. Dalam catatan medis, Munir memang pernah sekali dirawat karena levernya ngadat, namun setelah itu ia tak pernah sakit gawat alias sehat walafiat.
Belakangan, sesuai hasil otopsi yang dilakukan Nerderlands Forensich Instituut (NFI), diketahui Munir meninggal tidak wajar. Hasil otopsi menunjukkan bahwa kandungan zat arsenik di tubuh Munir mencapai 465 miligram. Padahal, 150 miligram saja, membuat orang sehat sekalipun bisa wes.. hewes.. hewees..., bablas nyawane!
Masuknya arsen ke dalam lambung Munir, berdasarkan dugaan ada yang sengaja menginginkan kematiannya.
Masuknya arsen ke dalam lambung Munir, berdasarkan dugaan ada yang sengaja menginginkan kematiannya. Tatkala menghapus dahaga saat transit di Bandara Changi, Singapura, minumannya sengaja dibumbui arsen. Masih berdasarkan dugaan, mereka yang meracuni Munir hingga meninggal itu adalah orang-orang yang akan dikuak boroknya dalam kasus korupsi oleh Munir.
Ini pun masih sebatas hipotesis. Artinya, masih dalam hitungan dugaan-dugaan. Bicara dugaan, itu bisa benar dan tidak. Dalam hidup ini, mana yang benar dan mana yang tak benar tidak selamanya bisa dikatakan secara gamblang. Bahkan sering tak dapat ditemukan.
Munir, kau ingat bukan, mayat Marsinah yang ditemukan di pinggiran hutan jati kawasan Wilangan, Nganjuk yang tercabik-cabik itu? Kita tidak tahu siapa pembunuhnya. Hingga kini kematian Marsinah itu tetap sebagai unsolved crimes, kejahatan yang tak terungkapkan--bersama deretan panjang kasus serupa lainnya.
Kendati begitu, saya tetap berharap terkuak siapa pembunuh dirimu, juga Marsinah itu? Saya ingin tahu kepada siapa pembunuh sebenarnya, bukan pelaku dari hasil sebuah rekaan petugas. Saya ragu, mungkin dirimu Munir dan Marsinah, di alammu sana kau berdua (pasti) juga tersenyum kecut melihat petugas yang kini sibuk mereka-reka. Siapa pembunuhnya?
Disadur dari Harian Republika edisi 14 Desember 2004
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mengenang Penangkapan DN Aidit
Saat-saat menjelang G30S, Aidit banyak membuat pernyataan yang memanaskan situasi.
SELENGKAPNYASang Ratu di Pusaran Laju Teknologi
Ratu Elizabeth menjadi salah satu tokoh yang paling banyak dijadikan meme
SELENGKAPNYADPRD: Rekomendasi Pj Gubernur Jangan Menjadi Beban DKI
Calon yang direkomendasikan perlu mengetahui seluk beluk Jakarta
SELENGKAPNYA