
Halaman 4
Tapak-Tapak Presidensi Indonesia
G-20 terbentuk pada 1999. Ia lahir sebagai respons atas krisis ekonomi dunia pada 1997-1998.
Oleh Lipsus HUT ke-77 Kemerdekaan RI
OLEH KAMRAN DIKARMA
Kota Przemysl, Polandia. Kereta siap berangkat untuk mengantarkan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) ke Kiev, Ukraina.
"Dari peron 4 Stasiun Przemysl Glowny di Kota Przemysl, Polandia, pukul sembilan malam, saya dan rombongan terbatas berkereta menuju Kiev, Ukraina. Kami memulai misi perdamaian ini dengan niat baik. Semoga dimudahkan,” kata Jokowi lewat akun Twitter resminya pada 29 Juni.
Kunjungan itu tidak biasa. Jokowi ingin menjadi "jembatan" bagi konflik yang kini membelah sebagian dunia. Itulah konflik yang dimulai dengan invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari silam.
Jokowi memilih berkunjung langsung ke dua negara itu. Di Kiev, Ukraina, Jokowi disambut Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Dari sana, Jokowi ke Moskow dan bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin.
“Spirit perdamaian jangan pernah luntur. Saya menawarkan diri untuk membawa pesan pesan Presiden Zelenskyy untuk Presiden Putin yang akan saya kunjungi pula,” cicit Jokowi di Twitter, 30 Juni lalu.
Konflik Rusia-Ukraina memicu terjadinya krisis pangan dan energi. Sebagai pemegang kursi kepresidenan dari blok yang anggotanya mencakup 80 persen PDB dunia, penanganan dua krisis itu menjadi tugas tambahan bagi Indonesia.
Terlepas dari upaya Jokowi, konflik Rusia-Ukraina hingga kini masih berlangsung. Kendati demikian, dalam kunjungannya ke kedua negara tersebut, Jokowi mengundang Putin dan Zelenskyy untuk berpartisipasi dalam pertemuan puncak G-20 yang diagendakan digelar di Bali pada 15-16 November mendatang.
Sejatinya, presidensi Indonesia di G-20 mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”. Lewat forum ekonomi tersebut, Indonesia di periode presidensinya mendorong pemulihan dunia yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Terdapat tiga sektor prioritas dalam presidensi Indonesia di G-20. Ketiganya adalah penguatan arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi. Tentunya dengan tambahan tugas, yaitu konflik Rusia-Ukraina dan dampaknya secara global. Kini, krisis tersemai pula di Selat Taiwan.
G-20 terbentuk pada 1999. Ia lahir sebagai respons atas krisis ekonomi dunia pada 1997-1998. Tujuannya adalah memastikan dunia keluar dari krisis serta menciptakan pertumbuhan ekonomi global yang kuat dan berkesinambungan. Awalnya, G-20 merupakan pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral. Kini, ia telah berkembang dengan pembahasan di berbagai bidang pembangunan. Sejak 2008, G-20 juga mulai menghadirkan kepala negara dalam pertemuan KTT.
Saat ini, G-20 merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia. Komposisi anggotanya mencakup 80 persen PDB dunia, 75 persen ekspor global, dan 60 persen populasi global.
Anggota G-20 terdiri atas 19 negara dan satu blok kawasan. Mereka adalah Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Cina, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
***
Retno: Presidensi G-20 Indonesia Masih On Track
Presidensi Indonesia di G-20 dihadapkan pada situasi dunia yang tidak mudah. Tujuan mendorong pemulihan dunia dari pandemi Covid-19 terusik oleh pecahnya konflik Rusia-Ukraina yang memicu krisis pangan dan energi. Berikut petikan wawancara Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan wartawan Republika Kamran Dikarma dan Fergi Nadira.
Bagaimana presidensi Indonesia di G-20 sejauh ini?
Pertama tentunya presidensi Indonesia dijalankan di tengah situasi dunia yang tidak mudah. Pandemi Covid-19 belum selesai, sekarang sudah mulai ada peringatan mengenai monkeypox. Aspek kesehatan ini dampaknya tentunya kepada masalah ekonomi. Ditambah lagi situasi politik yang sangat dinamis, rivalitas semakin tajam.
Perang Ukraina sudah memberikan dampak yang cukup dahsyat terhadap ekonomi, paling tidak jika dilihat dari sisi availability serta naiknya harga-harga pangan dan minyak. Kita belum tahu situasi Selat Taiwan. Jadi, kalau semuanya dikumpulkan, singkat cerita, situasi dunia dalam situasi yang tidak baik, penuh tantangan, tensinya sangat tinggi. Di situ Indonesia harus menjalankan presidensi di G-20.

Apakah kondisi itu mengubah presidensi Indonesia?
Alhamdulillah, bisa dikatakan sejauh ini tidak terganggu. Jadi, kita punya beberapa target yang ingin dikejar. Prioritas kita tiga: kesehatan, transisi energi, transformasi digital. Ini terus bekerja.
Untuk bidang kesehatan, misalnya, sudah terlihat nyata (hasilnya). Di pertemuan para menteri keuangan di Bali Juli lalu, disepakati dana untuk menghadapi pandemi akan datang yang dinamakan Financial Intermediary Fund (FIF) dan sejauh ini sudah terkumpul 1,3 miliar dolar AS.
Jadi, sekali lagi, pertanyaannya apakah mengubah? Tidak. Menyesuaikan, iya. Kita sudah tetapkan prioritas, kita jalan di prioritas itu. Semua prioritas deliverables-nya masih on the right track.
Dapat dijelaskan mengenai transisi energi?
Transisi energi sekali lagi kita ingatkan, keketuaan Indonesia di G-20 tidak hanya membawa suara Indonesia. Indonesia membawa suara negara-negara berkembang, negara-negara kepulauan kecil. Saat kita berbicara mengenai transisi energi, kita bahas dan ke depankan bagaimana kerja sama itu dapat membantu negara-negara berkembang melakukan transisi energi.
Banyak yang dibahas (perpindahan) dari energi fosil menjadi energi terbarukan. Untuk berpindah jalur, ini bukan hal mudah. Di situ ada investasi, teknologi, dan macam-macam.
Negara berkembang, mau tidak mau, harus melakukan kerja sama dengan yang lain untuk dapat melakukan transisi energi ke energi terbarukan tanpa menggoyang ketahanan energinya.
Negara berkembang, mau tidak mau, harus melakukan kerja sama dengan yang lain untuk dapat melakukan transisi energi ke energi terbarukan tanpa menggoyang ketahanan energinya. Jadi, ada isu mengenai masalah transisi energinya, ada isu mengenai masalah energy security-nya.
Sejauh mana dukungan anggota G-20 terhadap presidensi Indonesia sejauh ini?
Kita mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari semua negara anggota G-20 dan negara undangan. Dukungan mereka (terhadap presidensi Indonesia) terlihat sangat kuat dan itu harus diapresiasi.
Bagaimana dengan multilateralisme saat ini?
Kalau multilateralisme bekerja, seharusnya kan bisa segera diatasi. Tapi, ada yang terus berkepanjangan. Ada pertanyaan, apa multilateralisme itu masih ada? Pertanyaan itu sah karena melihat situasi seperti sekarang ini.
Tapi, kita juga perlu mengingatkan, ada contoh yang bisa dicapai lewat multilateralisme. Pilihannya ada di kita. Apakah kita mau menyelesaikan masalah dengan baik lewat multilateralisme? Kalau tidak, situasinya akan berkepanjangan, apalagi kalau sudah konflik terbuka. Indonesia termasuk negara yang percaya bahwa konflik terbuka pada akhirnya tidak akan menguntungkan siapa pun.
Jangan Lupa Soal Kebersamaan
Para pendiri bangsa ini telah memberikan teladan untuk bahu-membahu, saling membantu menghadapi tekanan penjajah.
SELENGKAPNYAStrategi Menuju Merdeka dari Covid-19
Pandemi membuat sadar sistem kesehatan nasional butuh diperbaiki.
SELENGKAPNYADi Balik Layar Panggung Ekonomi Digital
Relasi dalam ekosistem digital Indonesia saat ini, masih belum seimbang.
SELENGKAPNYA