Nani Wartabone. Pada 23 Januari 1942, ia dengan didampingi RM Koesno Danoepojo membacakan teks Proklamasi RI. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Gema Proklamasi RI 1942

Nani Wartabone menyatakan kemerdekaan Indonesia tiga tahun sebelum Sukarno-Hatta melakukannya.

OLEH HASANUL RIZQA

Pada Agustus ini, Indonesia merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-77. Perayaan umumnya berlangsung meriah di seluruh penjuru Tanah Air. Semua warga memperingati momen historis, Proklamasi RI, yang berlangsung pada 17 Agustus 1945 M atau 9 Ramadhan 1364 H.

Namun, Proklamasi RI sesungguhnya pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Itu tidak bertempat di pekarangan rumah Ir Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) Nomor 56, Jakarta. Lokasinya pun berada jauh dari Ibu Kota, tepatnya di Provinsi Gorontalo.

Pada Jumat tanggal 23 Januari 1942 M atau 6 Muharram 1361 H, pemimpin dan rakyat Gorontalo mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi itu dibacakan tiga tahun lebih awal daripada Proklamasi Kemerdekaan RI yang teksnya ditandatangani Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Saat hari itu, khalayak ramai berkerumun di lapangan Kantor Kabupaten (Afdeling) Gorontalo. Sumber lain menyebutkan lokasinya adalah halaman Kantor Pos Gorontalo. Mereka menyaksikan momen bersejarah tersebut.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Yang bertindak sebagai pembaca teks Proklamasi RI 1942 adalah Nani Wartabone. Ia didampingi para rekan seperjuangannya, terutama RM Koesno Danoepojo. Oleh masyarakat lokal, keduanya disebut sebagai “Dwi Tunggal dari Tanah Sulawesi".

Seperti dikutip dari buku Abad Besar Gorontalo, isi teks yang dibacakan itu adalah sebagai berikut.

Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita, bangsa Indonesia yang berada di sini, sudah merdeka, bebas lepas dari penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita Merah Putih. Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil alih oleh Pemerintah Nasional. Mari kita menjaga keamanan dan ketertiban.”

Walaupun singkat, pembacaan teks Proklamasi RI 1942 itu amatlah bermakna. Sebab, kejadian tersebut menandakan besarnya spirit nasionalisme rakyat Gorontalo. Aspirasi mereka bukanlah untuk menjadi berdaulat atau mendirikan negara sendiri.

Bukan pula menjadi bagian dari kekuatan luar, semisal Kekaisaran Jepang—yang berhasil mendepak Belanda dari Tanah Air sejak Maret 1942. Yang mereka inginkan adalah tegaknya Republik Indonesia, yang di dalamnya termasuk Gorontalo.

Kini, peristiwa itu dikenang sebagai Hari Patriotik 23 Januari. Benih yang memunculkannya bukan hanya rasa kebangsaan, melainkan juga persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Kalangan terpelajar setempat, khususnya dari golongan muda, menaruh perhatian yang besar pada pergerakan antipenjajahan yang dicetuskan tokoh-tokoh Muslim.

Joni Apriyanto dalam artikelnya, “Tumbuhnya Nasionalisme di Gorontalo: Sebuah Pencitraan Historiografi” menjelaskan, Gorontalo pada awal abad ke-20 menjadi tempat suburnya organisasi-organisasi sosial dan politik yang didirikan kalangan pribumi. Di daerah tersebut, hadirlah berbagai motor pergerakan, semisal Sarekat Islam (SI) atau Muhammadiyah.

Banyak pemuda Gorontalo yang aktif dalam organisasi-organisasi demikian. Mereka mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk mengembangkan upaya-upaya kebangkitan nasional. Apriyanto menilai, di balik tumbuhnya pergerakan kebangsaan di daerah tersebut, ada pengaruh dari dinamika atau tokoh-tokoh asal Jawa.

photo
Peta Provinsi Gorontalo. Dahulu, daerah kebudayaan suku bangsa Gorontalo ini adalah sebuah kesultanan yang dikuasai Ternate - (DOK RESEARCHGATE )

Pulau Jawa menjadi tujuan banyak elite lokal. Mereka mengidamkan, anak-anaknya mendapatkan pendidikan menengah maupun tinggi di sana. Nyatanya, selama bersekolah di kota-kota besar pulau tersebut sebagian remaja Gorontalo tidak hanya menekuni pembelajaran akademik. Anak-anak muda ini pun terlibat dalam organisasi-organisasi sosial dan politik pribumi.

SI, organisasi kebangsaan pertama di Tanah Air, lahir pada 16 Oktober 1905. Dalam perkembangannya kemudian, pergerakan ini memikat hati kaum muda terpelajar.  Menurut Apriyanto, di Gorontalo SI dibawa oleh Karel Panamo dan Jusuf Sabah.

Tokoh sentral organisasi tersebut, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pada 1923 mengunjungi daerah itu guna menggembleng kesadaran rakyat. Tujuh tahun berselang, eksistensi SI di Gorontalo mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Rezim kolonial lantas melarang aktivitasnya.

Nasib serupa dialami pula oleh Partai Indonesia (Partindo)—sebuah metamorfosis dari Partai Nasional Indonesia (PNI)—cabang Gorontalo yang diinisiasi Nani Wartabone.

Kaum muda Gorontalo tidak patah arang. Apriyanto mengatakan, sebagian dari mereka—termasuk Nani—beralih ke organisasi-organisasi yang bekerja khususnya di ranah sosial-budaya, alih-alih politik terbuka. Inilah awal mulanya Muhammadiyah berkembang pesat di sana.

Jusuf Otoluwa berjasa dalam memperkenalkan persyarikatan itu kepada masyarakat lokal. Ia mengenal organisasi tersebut saat mengikuti sekolah guru di Jakarta. Sejak 1928, perwakilan ormas Islam itu untuk Gorontalo resmi terbentuk. Seiring bergantinya tahun, perkembangannya kian signifikan.

photo
ILUSTRASI Masjid Sultan Amai di Gorontalo. Sultan Amai merupakan raja Gorontalo pertama yang memeluk Islam. - (DOK WIKIPEDIA)

Derap pejuang

Dalam konteks zaman yang demikian, Nani Wartabone tumbuh mendewasa. Tokoh kunci di balik Proklamasi RI 1942 itu berasal dari keluarga ningrat. Ayahnya, Zakaria Wartabone, adalah aparat Afdeling Gorontalo.

Ia sejak kecil memperoleh jenjang pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah kolonial untuk kaum bangsawan dan pegawai lokal. Bagaimanapun, tidak sekalipun anak muda ini menaruh simpati pada penjajah. Telinganya selalu panas ketika mendengar para guru yang berkebangsaan Belanda terlalu mengagung-agungkan bangsa Barat sembari merendahkan bangsa Indonesia.

Saat bersekolah di Surabaya, Jawa Timur, Nani muda semakin terbuka kesadarannya akan ikatan kebangsaan Indonesia. Ia sangat terinspirasi oleh perjuangan sosok-sosok pergerakan, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta.

Begitu kembali ke Gorontalo pada 1928, ia membentuk perkumpulan tani (hulanga). Kepada mereka, sang pemuda selalu mengobarkan semangat nasionalisme. Lambat laun, orasinya menginspirasi bukan hanya kaum petani, tetapi seluruh masyarakat setempat.

Pada 1936, Partindo bubar akibat tekanan dari Belanda. Cabangnya di Gorontalo pun ikut usai. Sebagai inisiatornya, Nani tidak putus asa. Sebab, partai baginya hanyalah alat. Yang menjadi tujuannya adalah menggerakkan kesadaran nasional di tengah rakyat. Karena itu, tutur Apriyanto, pascabubarnya Partindo Nani melanjutkan perjuangannya melalui Muhammadiyah.

Pada 1942, terjadilah perebutan kekuasaan di Nusantara. Pasukan Jepang mulai memasuki daerah-daerah Hindia Belanda, termasuk Pulau Sulawesi. Pada 11 Januari, Dai Nippon sukses menguasai Manado. Para aparat Belanda kabur ke Poso. Sebagiannya lagi lari ke Gorontalo.

 
Para pemuda sangat antusias begitu mendengar kabar tumbangnya pemerintahan kolonial Belanda di Manado akibat serangan Jepang.
 
 

Para pemuda sangat antusias begitu mendengar kabar tumbangnya pemerintahan kolonial Belanda di Manado akibat serangan Jepang. Sebab, tinggal menunggu waktu saja untuk kevakuman kekuasaan di Sulawesi, termasuk Gorontalo.

Namun, amarah kemudian muncul sesudah mendapati informasi, tentara Belanda yang tersisa di Gorontalo hendak membumihanguskan aset-aset pemerintahan dan ekonomi setempat. Tujuannya agar semua itu tidak jatuh ke tangan musuh.

Mulanya, pemimpin Afdeling Gorontalo membakar gudang-gudang kopra di pelabuhan Gorontalo. Hal itu menyulut emosi para pemuda. Dipimpin Nani Wartabone, mereka melayangkan surat ancaman kepada asisten residen setempat. Isinya menegaskan, rakyat Gorontalo siap berperang melawan Belanda bila aksi bumi hangus terus dilanjutkan.

Pemerintah Afdeling Gorontalo justru mengabaikan gertakan para pemuda lokal itu. Hamzah Harun al-Rasyid dan Saprillah dalam artikel “The Nationality Movement in Gorontalo” menuturkan, momen itulah yang memicu perlawanan kaum muda Gorontalo pada 12-23 Januari 1942.

Subuh hari dari Suwawa, sebanyak 300 orang laskar bergerak ke pusat kota Gorontalo. Mereka berada di bawah komando Nani. Sebagian besar aparat kepolisian yang berasal dari kalangan pribumi lantas membelot atasannya. Para petugas yang dipimpin Pendang Kalengkongan dan Mardani Ali lalu bergabung dengan kekuatan laskar rakyat.

Koesno Danoepojo dengan menyamar sebagai seorang petani mendatangi kantor pos Gorontalo. Bersama dengan Pedi Kalengkongan, ia berusaha memutus jalur komunikasi radio yang keluar daerah tersebut.

Rombongan laskar rakyat mendatangi kantor polisi Gorontalo. Kontak senjata pun terjadi. Karena jumlah personel dari kalangan Belanda-totok yang tidak sebanding, para pejuang pribumi pun dapat menguasai pos polisi tersebut. Dalam waktu beberapa jam, belasan tokoh politik Belanda ditangkapi.

Sejak pukul 09.00 pagi hari Jumat, 23 Januari 1942, seluruh kantor-kantor pemerintahan Afdeling Gorontalo dapat dikuasai laskar-laskar. Nani bersama dengan para pejuang bergerak menuju lapangan depan rumah asisten residen.

Di sana, mereka menurunkan bendera Belanda, dan menggantinya dengan bendera Merah Putih. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” lantas dinyanyikan. Teks proklamasi kemerdekaan RI—bukan “kemerdekaan Gorontalo”—dibacakan Nani melalui pengeras suara. Sesudah itu, rakyat dan para pemimpin lokal larut dalam euforia serta keharuan.

photo
Monumen Tilongolo Nani Wartabone, Kota Gorontalo, Gorontalo. Bangunan ini didirikan untuk mengenang Hari Patriotik 23 Januari 1942 - (DOK ANTARA Adiwinata Solihin)

Keteguhan Hati Sang Patriot

 

Para tokoh nasionalis dari Gorontalo yang dipimpin Nani Wartabone tidak hanya mewujudkan pembacaan teks Proklamasi RI pada 23 Januari 1942. Sesudah itu, mereka pun berupaya membentuk pemerintahan baru, yang dimaksudkan untuk mengisi kevakuman kekuasaan.

Nani tidak hanya mengundang para tokoh lokal yang sejak awal menentang keras kuasa kolonial. Ia pun mempersilakan para mantan wedana untuk hadir dalam pertemuan yang akan merumuskan bentuk pemerintahan RI di Gorontalo. Sesudah rapat itu, disepakatilah Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG).

Hamzah Harun al-Rasyid dan Saprillah dalam artikel “The Nationality Movement in Gorontalo” mengatakan, hadirin pertemuan tersebut setuju menunjuk Nani sebagai pemimpin Pemerintahan Gorontalo. Koesno Danoepojo sebagai kepala perwakilan rakyat. MH Boeloeati dan AR Oientoe masing-masing selaku sekretaris dan wakil sekretaris.

Tugas utama PPPG adalah menjaga keamanan dan melindungi segenap rakyat Indonesia di Gorontalo. Namun, kekuasaan de facto-nya hanya bertahan satu bulan. Jepang kemudian datang ke daerah tersebut. Mulanya, mereka tidak menunjukkan maksud untuk merebut kendali pemerintahan.

Akan tetapi, sekira enam bulan berikutnya Jepang mulai memaksakan kehendaknya kepada rakyat Gorontalo. Yang melawan, akan dihukum. Ini terjadi di banyak daerah lainnya di Indonesia kala itu.

 
Nani segera menjadi target buruan pemerintahan pendudukan Nippon. Pada 30 Desember 1943, ia ditangkap polisi-rahasia Jepang.
 
 

Nani segera menjadi target buruan pemerintahan pendudukan Nippon. Pada 30 Desember 1943, ia ditangkap polisi-rahasia Jepang. Dirinya langsung dibawa ke Manado sebagai tahanan.

Di dalam penjara, Nani dan rekan-rekannya mengalami banyak siksaan. Salah satunya adalah, ia pernah dibawa ke tepian pantai. Di sana, opsir Jepang mengubur seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala. Sehari semalam, kepalanya dipukul-pukul ombak dan hempasan pasir.

Barulah pada 6 Juni 1945, Nani dan kawan-kawannya dibebaskan dari tahanan. Hal itu seiring dengan melemahnya posisi Nippon dalam kancah Perang Dunia II. Pada 15 Agustus 1945, secara de facto kendali pemerintahan atas Gorontalo kembali ke pucuk pimpinan PPPG.

Sekira dua pekan kemudian, para tokoh Gorontalo akhirnya mengetahui kabar Proklamasi RI 17 Agustus 1945 di Jakarta. Seketika, Nani menyatakan daerahnya sebagai bagian dari wilayah RI, yang pemerintahannya dipimpin Dwi Tunggal, Sukarno-Hatta.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Proklamasi Tanpa Gejolak?

Benarkah proklamasi berlangsung tanpa gejolak?

SELENGKAPNYA

Haji Kodrin dan Kebaikannya

Haji Kodrin menatap haru pria berkulit hitam yang berdiri di depan mimbar Mushala At-Taqwa.

SELENGKAPNYA

Ki Bagoes Hadikoesoemo, Penggagas Tegaknya Syariat Islam

Ki Bagoes merumuskan pokok-pokok pikiran KH Ahmad Dahlan hingga menjadi Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.

SELENGKAPNYA