
Analisis
Di Balik Angka Pertumbuhan 5,44 Persen
Ekonomi kita tumbuh sebesar 5,44 persen secara tahunan.
OLEH SUNARSIP
Pada Jumat (5/8), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022 (periode April-Juni). Hasilnya, pada periode tersebut, ekonomi kita tumbuh sebesar 5,44 persen secara tahunan (year on year/yoy) atau 3,72 persen dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter to quarter atau q-t-q).
Berdasarkan perhitungan saya, dengan capaian pada kuartal II-2022 tersebut, pertumbuhan ekonomi kita pada semester I-2022 telah mencapai 5,23 persen.
Angka pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan capaian yang dinilai melebihi ekspektasi, termasuk dari pemerintah. Kementerian Keuangan, misalnya, pada konferensi pers realisasi APBN per Juni 2022 lalu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022 berada pada kisaran 4,8-5,3 persen. Itu berarti, dengan capaian sebesar 5,44 persen, kinerja ekonomi pada kuartal II-2022 tersebut melampaui batas atas perkiraan pemerintah.
Beberapa analisis menyatakan, tingginya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022, antara lain dipengaruhi dari aktivitas mudik Lebaran pada Mei lalu. Pandangan ini betul karena euforia mudik tahun ini memang besar setelah selama dua tahun sebelumnya tidak dapat melakukan mudik. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari selisih antara angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2022 dan kuartal I-2022 (tanpa mudik).
Pada kuartal II-2022, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,51 persen (yoy), lebih tinggi sebesar 1,16 persen dibandingkan kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2022 (tanpa mudik) yang mencapai 4,34 persen (yoy). Sebagai perbandingan, saya melakukan perhitungan yang sama untuk melihat pengaruh ekonomi mudik sebelum pandemi terjadi (2019).
Hasilnya, selisih pertumbuhan konsumsi rumah tangga antara kuartal II-2019 (dengan mudik) dan kuartal I-2019 (tanpa mudik) hanya sebesar 0,16 persen, jauh di bawah periode yang sama 2022.
Beberapa analisis menyatakan, tingginya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022, antara lain dipengaruhi dari aktivitas mudik Lebaran pada Mei lalu.
Meskipun pengaruh mudik dalam membentuk kinerja pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022 cukup besar, perbaikan ekonomi yang terjadi selama 2022, telah menyentuh aspek-aspek yang fundamental tidak sekadar perbaikan tentatif (tentative recovery).
Berdasarkan perhitungan saya, PDB semester I-2022 tumbuh sebesar 7,12 persen dibanding pada periode yang sama tahun 2019. Bahkan, kalau memasukkan faktor harga dalam pembentukan PDB (tecermin pada PDB harga berlaku), angka pertumbuhannya lebih besar, yaitu sebesar 21,77 persen. Dari seluruh komponen PDB, hanya sektor pemerintah (pengeluaran pemerintah), yang masih mengalami pertumbuhan negatif (terkonstraksi) sebesar -3,40 persen (harga konstan) dan sebesar -0,37 persen (harga berlaku).
Pencapaian kinerja ini memperlihatkan bahwa kondisi ekonomi kita setidaknya hingga semester I-2022 ini telah kembali pada level sebelum pandemi (2019). Kecuali sektor pemerintah, seluruh komponen pengeluaran PDB mengalami pertumbuhan positif.
Kinerja sektoral juga merata hampir terjadi pada seluruh sektor ekonomi. Meskipun ekspor masih menjadi motor utama pertumbuhan, didukung pula oleh komponen lainnya seperti konsumsi rumah tangga. Sedangkan investasi, konsisten tumbuh positif di level yang moderat (di level 3-4 persen).
Sementara itu, dari sisi sektoral, selain sektor-sektor dengan pangsa tertinggi terhadap PDB (industri, perdagangan, pertanian, dan konstruksi), yang melanjutkan pertumbuhan solidnya sejak kuartal II-2021.
Kini juga muncul “bintang baru”, yaitu sektor pariwisata sebagaimana terlihat dari kinerja pertumbuhan di sektor (i) transportasi dan pergudangan serta (ii) akomodasi dan makan minum. Pada kuartal II-2022 lalu, kedua sektor tersebut mencatatkan pertumbuhan tertinggi masing-masing sebesar 21,27 persen dan 9,76 persen.
Dengan melihat angka pertumbuhan ekonomi saat ini, pelaku ekonomi (termasuk dunia usaha) telah mengalami perbaikan pada aspek fundamentalnya.
Dengan melihat angka pertumbuhan ekonomi saat ini, pelaku ekonomi (termasuk dunia usaha) telah mengalami perbaikan pada aspek fundamentalnya. Harus diakui bahwa perbaikan yang dialami dunia usaha tersebut antara lain karena ditopang oleh windfall komoditas.
Namun dalam perjalanannya, dunia usaha cukup berhasil memulihkan kondisi akibat luka memar (scarring effect), yang ditimbulkan oleh krisis pandemi lalu. Salah satu yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan windfall komoditas untuk memulihkan kondisi keuangannya, seperti dengan mengurangi utang perusahaan.
Windfall komoditas juga menjadi pendorong bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, seperti sektor industri pengolahan berikut sektor lainnya yang berada pada backward dan forward linked-nya.
Dengan kinerja pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tersebut, kini kita memiliki modal yang cukup kuat ketika perlu melakukan kebijakan normalisasi. Kebijakan normalisasi tersebut, antara lain dalam rangka merespons perkembangan makro ekonomi yang terjadi saat ini.
Saat ini, kita menghadapi tekanan inflasi yang cukup tinggi, terutama inflasi yang berasal dari volatilitas harga pangan (volatile food inflation) dan harga-harga barang yang ditetapkan pemerintah (administered price). Inflasi inti (core inflation) yang mencerminkan dorongan permintaan (demand), meskipun angkanya relatif terkendali juga telah bergerak naik.
Di sisi lain, kita juga perlu menjaga daya saing (competitiveness) nilai tukar rupiah agar tidak terlalu melemah dan tetap terjangkau (affordable), khususnya bagi dunia usaha yang membutuhkan impor.
Pada 27 Juni lalu, di harian ini, saya membuat analisis “Bunga Acuan BI Memang Belum Perlu Naik”. Saya memang berpendapat bahwa kebijakan Bank Indonesia (BI) yang hingga kini belum menaikkan suku bunga acuannya adalah tepat.
Hal tersebut dilandasi bahwa kita memang perlu memberikan ruang bagi dunia usaha untuk meneruskan momentum pertumbuhannya. Terlebih, suku bunga riil (real interest rate), khususnya pada surat berharga (obligasi negara) masih relatif lebih baik.
Nilai tukar rupiah, sekalipun dalam melemah juga relatif terjangkau di mata dunia usaha, tecermin dari tingginya pertumbuhan impor.
Nilai tukar rupiah, sekalipun dalam melemah juga relatif terjangkau di mata dunia usaha, tecermin dari tingginya pertumbuhan impor. Biaya impor memang menjadi lebih tinggi akibat pelemahan nilai tukar, tetapi hal itu tidak mengendurkan dunia usaha untuk melakukan impor karena demand atas produknya masih tinggi, terutama ekspor.
Dengan mengacu perkembangan makro ekonomi saat ini, sebagaimana terlihat dari angka inflasi dan nilai tukar, kenaikan suku bunga acuan BI sebenarnya adalah suatu keniscayaan. BI juga tidak dapat seterusnya mengandalkan operasi moneter untuk mengendalikan nilai tukar rupiah.
Namun, BI perlu memastikan waktu (timing) sekaligus menentukan besaran kenaikan yang tepat untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan mengantisipasi inflasi dan nilai tukar dan upaya menjaga pertumbuhan.
Dikhawatirkan, bila BI mengambil langkah kenaikan suku bunga acuan mengikuti tren global, justru menjadi bumerang bagi dunia usaha. BI perlu memiliki keyakinan bahwa ekonomi kita telah siap menanggung biaya (cost) dari kenaikan suku bunga acuan tersebut.
Dengan melihat kinerja perekonomian selama semester I-2022, peluang bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuannya menjadi lebih besar. Kinerja ekonomi yang kuat meningkatkan keyakinan BI bahwa ekonomi kita kuat menanggung kenaikan suku bunga acuan, yang biasanya akan diikuti oleh suku bunga perbankan (terutama kredit).
Namun, ketika pengetatan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan diambil, tentunya perlu diikuti dengan langkah pelonggaran pada sisi lainnya sebagai penyeimbang (balancing). Salah satunya adalah dengan mendorong pertumbuhan pengeluaran pemerintah.
Saya berpendapat, agak ironis bahwa di tengah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah justru menjadi faktor yang kontraktif bagi pertumbuhan. Konsekuensinya, APBN surplus besar dan simpanan pemerintah pusat pada sistem moneter naik signifikan. Akhirnya, uang pemerintah menganggur.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Masjid Sultan Ismail Petra, Nuansa Beijing di Kelantan
Bangunan legasi sultan Kelantan ini menyerupai masjid tertua di ibu kota Negeri Tirai Bambu.
SELENGKAPNYAPerjalanan Galuh Andika Sari Menuju Hidayah
Galuh tetap istikqamah. Baginya, Islam memberikan kedamaian batin.
SELENGKAPNYAKH Muhammadun, Syekh Nahwu dari Pati
KH Muhammadun, pengasuh Ponpes Darul Ulum ini dikenal sebagai ahli tata bahasa Arab.
SELENGKAPNYA