Petugas Satpol PP mengimbau warga untuk mundur ke trotoar di Taman Dukuh Atas, Jakarta, Senin (25/7/2022). | Republika/Putra M. Akbar

Tajuk

Menjaga Kreativitas Gerakan SCBD

Yang kemudian berubah dari gerakan awal muda mudi Kabupaten Bogor itu pun banyak. Bila tadinya hanya mereka yang melakukannya, kini pesohor dan pejabat publik pun ikut- ikutan icip-icip zebra crossing itu.

'Sudirman Citayam Bojonggede dan Depok' (SCBD) atau Citayam Fashion Week kini menjadi fenomena. Ada yang menilainya sudah cukup pas untuk menyandang gelar gerakan sosial atau malah counter culture. Karena dampaknya sudah menguar dan mengular ke mana-mana.

Tidak lagi terbatas bagi para remaja yang datang dari sekitar Citayam, Bojonggede, dan Depok. Citayam Fashion Week kini menjadi sebuah semacam pernyataan publik oleh individu yang melakukannya. "Saya pernah di sana dan melakukannya."

Gubernur Anies Baswedan menyebutnya sebagai 'ruang ketiga'. Sebuah ruang ekspresi yang ditemukan setelah rumah dan sekolah. Maka itu, Gubernur Anies tampak sekali mendukung gerakan sosial remaja ini. Ia membuka pintu SCBD seluas-luasnya bagi pelaku Citayam Fashion Week.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun menyebutnya sebagai 'gerakan organik akar rumput' yang tumbuh kembangnya harus tetap natural dan organik. Kang Emil menilai gerakan fashion jalanan ini memang harus tetap di jalan, jangan diangkat lebih tinggi. "Biarkan tetap 'Slebew' bukan 'Haute Couture'," katanya berseloroh.

Yang kemudian berubah dari gerakan awal muda mudi Kabupaten Bogor itu pun banyak. Bila tadinya hanya mereka yang melakukannya, kini pesohor dan pejabat publik pun ikut- ikutan icip-icip zebra crossing itu. Pesohor apalagi. Mulai dari pesohor kelas Youtube hingga model internasional turut lenggak-lenggok. Apalagi, terendus rencana akan digelar fashion show profesional bulan depan, dengan harus mendaftarkan nama acara ke Kemenkumham.

 
Yang kemudian berubah dari gerakan awal muda mudi Kabupaten Bogor itu pun banyak. Bila tadinya hanya mereka yang melakukannya, kini pesohor dan pejabat publik pun ikut- ikutan icip-icip zebra crossing itu.
 
 

Dan lazimnya sebuah tren dadakan, ini menular. Sepanjang akhir pekan ini kita melihat di sejumlah kota mencoba untuk meniru gerakan Citayam Fashion Week. Di media sosial Twitter, Instagram, dan Facebook sudah muncul gerakan serupa mulai dari Aceh, Bandung, hingga Yogyakarta. Kota-kota lain mungkin tinggal menunggu waktu.

Persoalannya, Citayam Fashion Week pada akhirnya memicu beragam masalah. Masalah pertama, sudah barang tentu adalah soal marka lalu lintas. Di situ adalah sebuah penyeberangan, bukan catwalk. Karena itu, ada aturan yang mengikat sebuah marka penyeberangan. Berlenggak-lenggok di zebra crossing jelas menyalahi aturan. Apalagi, sampai menimbulkan kemacetan.

Harus ada jalan keluarnya. Opsi yang memungkinkan adalah memodifikasi zebra crossing saat ini sehingga tidak lagi menjadi sebuah marka lalu lintas, agar tidak menyalahi aturan. Kemudian memindahkan zebra crossing tersebut ke lokasi lain. Atau bisa juga memperlebar zebra crossing saat ini, dengan memasukkan zebra crossing yang lama di dalamnya. Dengan begitu, bisa tetap dimanfaatkan sebagai sarana menyeberang sesuai aturan, tapi juga bisa dijadikan ajang lenggak-lenggok.

Persoalan kedua adalah soal parkir liar. Karena SCBD dan Citayam Fashion Week makin gempar, banyak warga memarkir motor (terutama) dan mobil sembarangan di trotoar di sekitarnya. Ini harus diantisipasi dengan tegas oleh Satpol PP, dengan menyediakan lahan parkir resmi di sekitarnya yang bebas pungutan liar.

 
Harus ada jalan keluarnya. Opsi yang memungkinkan adalah memodifikasi zebra crossing saat ini sehingga tidak lagi menjadi sebuah marka lalu lintas, agar tidak menyalahi aturan.
 
 

Persoalan ketiga adalah sampah. Memperbanyak tempat sampah tentu bukan solusi utama. Yang harusnya dilakukan adalah menggugah warga untuk tidak buang sampah sembarangan.

Sampai saat ini, persoalan sampah plastik bekas makanan dan minuman, rokok, masih berserakan di trotoar. Harus ada gerakan soal kebersihan dari para pelaku SCBD tersebut, agar diikuti oleh warga yang datang ke situ.

Persoalan keempat adalah kehadiran anak-anak di sana. Citayam Fashion Week adalah sebuah ruang publik maka ini bebas dimanfaatkan oleh berbagai kelompok lapisan masyarakat. Kita mulai melihat penampilan remaja-remaja pria berbusana perempuan, meniru transpuan, memakai riasan dan dandanan tebal, yang ikut beraksi di sana. Kehadiran mereka juga memicu keriuhan tersendiri.

Apakah itu dilarang dilihat anak-anak? Tentu tidak bisa. Tapi tanpa penjelasan yang memadai dari pendamping atau orang tua, kehadiran kelompok tersebut bisa dianggap 'kewajaran' oleh anak-anak. Pemprov DKI tidak bisa lepas tangan soal dampak SCBD ini ke anak-anak di bawah umur.

Apakah harus ada larangan bagi anak-anak untuk hadir atau kepada para pelaku Citayam Fashion Week untuk lebih memperhatikan norma sosial agama masyarakat ini sudah layak untuk dibicarakan lebih mendalam.

Kreativitas tentu harus kita dukung dan dikembangkan. Citayam Fashion Week memang layak untuk dibesarkan. Namun, kreativitas tidak bisa tanpa batasan norma. Ini yang harus ditegakkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Melepas Rindu di Kamar Ghurfatul Barakah

Berkah bagi jamaah, berkah juga bagi kita.

SELENGKAPNYA

Taktik Berisiko Barca

Dengan uang pinjaman yang melimpah, Barcelona kembali bisa bernafas.

SELENGKAPNYA