Sejumlah jurnalis meletakkan kartu persnya beralaskan spanduk saat mengelar unjuk rasa damai di depan kantor Polda NTT, Kupang, NTT, Rabu (27/4/2022). | ANTARA FOTO/Kornelis Kaha

Nasional

Dewan Pers Segera Temui DPR-Pemerintah

Jika pasal ini lolos, akan mencederai semangat kemerdekaan pers dan demokrasi.

JAKARTA — Dewan Pers akan menindaklanjuti penolakan terhadap sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai mengancam kebebasan pers. Dewan Pers segera beraudiensi dengan DPR dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebagai pihak penyusun RKUHP.

"Dewan Pers bersama konstituen dan elemen masyarakat sipil akan mencoba bertemu dengan DPR dan Kemenkumham untuk mendialogkan RKUHP secepatnya," kata anggota Dewan Pers Asmono Wikan saat dikonfirmasi, Ahad (17/7).

Asmono yang juga ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers ini mengatakan, audiensi penting agar jangan sampai pasal-pasal tersebut lolos di RKUHP. Meskipun DPR sedang reses, pembahasan RKUHP akan berlanjut saat masa persidangan DPR kembali dimulai Agustus mendatang.

Menurut dia, jika pasal ini lolos, akan mencederai semangat kemerdekaan pers dan demokrasi. "Dewan Pers ingin pasal diubah dengan memperhatikan semangat dan prinsip-prinsip demokrasi serta kemerdekaan pers maupun kebebasan berpendapat," kata Asmono.

photo
Jurnalis mengambil gambar saat sidang tuntutan terkait dugaan unlawful killing atau pembunuhan diluar proses hukum kepada laskar FPI yang digelar secara daring di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (22/2/2022). - (Republika/Thoudy Badai)

Dia mengatakan, Dewan Pers juga sedang menyiapkan upaya kajian-kajian dan dialog publik yang intensif tentang RKUHP berkelanjutan. Tujuannya untuk meliterasi publik tentang pasal RKUHP yang berpotensi membelenggu kemerdekaan pers.

"Untuk meliterasi publik tentang RKUHP yang perlu diperbaiki pada sejumlah pasal yang berpotensi membelenggu kemerdekaan pers. Setidaknya saat ini ada dua agenda yang sedang kami siapkan," kata dia.

Sebelumnya, Dewan Pers mencermati sejumlah ketentuan hukum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam kebebasan pers di Indonesia. Dewan Pers mendesak DPR dan pemerintah untuk mengganti atau menghapus pasal tersebut.

Pasal-pasal tersebut, antara lain, Pasal 188 tentang tindak pidana terhadap ideologi negara, pasal 218-220 tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Kemudian, pasal 240 dan 241 tentang tindak pidana penghinaan pemerintah yang sah, pasal 246 dan 248 tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum.

Selanjutnya,  Pasal 263 dan 264 tentang tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong, pasal 280 tentang tindak pidana gangguan dan penyesatan proses peradilan, dan pasal 302-304 tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan. Lalu, pasal 351-352 tentang tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, pasal 440 tentang tindak pidana penghinaan pencemaran nama baik, dan pasal 437, 443 tentang tindak pidana pencemaran.

Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mengatakan, terdapat 10-12 pasal di RKUHP yang memuat bagian-bagian atau isu-isu membelenggu kebebasan pers. Dia mencontohkan, pasal yang tidak membolehkan pers/media melakukan kritik-kritik tanpa adanya solusi. 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Dewan Pers (@officialdewanpers)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Rihlah dan Pemikiran Ibnu Khaldun

Usia Ibnu Khladun belum genap 20 tahun, tetapi reputasinya sudah dikenal di mana-mana.

SELENGKAPNYA

'RKUHP Sekarang Lebih Berbahaya Bagi Kebebasan Pers'

Azyumardi berharap Dewan Pers dan konstituen media dilibatkan dalam pembahasan RKUHP.

SELENGKAPNYA

Komisi III Bantah tak Libatkan Masyarakat Susun RKUHP

Pemerintah maupun DPR dianggap tidak mendengarkan suara publik.

SELENGKAPNYA